Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Agama Bukanlah Sumber Konflik!

21 Juni 2017   11:19 Diperbarui: 30 Oktober 2019   12:33 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wakil Presiden RI, M Jusuf Kalla (JK) ketika memberikan kuliah umum di Universitas Oxford, Inggris, menyebutkan bahwa agama bukanlah merupakan sumber konflik. "Religion is not the source of conflict. In many cases it was just manipulated or misused to spread solidarity". 

Agama hanya dijadikan "alat" yang kemudian digunakan untuk memecah solidaritas masyarakat sehingga muncul polarisasi yang tajam di tengah masyarakat di mana masing-masing seakan membawa persepsi soal kebenarannya sendiri-sendiri. 

Di tengah berbagai pandangan negatif soal Islam, JK sepertinya sedang mempersepsikan Islam Indonesia yang ramah dan moderat, bukan Islam yang dipersepsikan dunia Barat atau pihak lain yang lekat dengan "kekerasan" dan mewujud dalam bentuk paling modern, seperti radikalisme-terorisme.

Keyakinan JK dengan menepis anggapan bahwa agama bukanlah sumber konflik didasarkan pada situasi di mana konflik umumnya selalu timbul akibat rasa ketidakadilan yang diterima sebagian masyarakat terhadap kondisi sosial-politik yang sedang dihadapi. 

"The prima causa of more conflicts are injustice". JK menganggap agama sering kali dimanipulasi untuk membenturkan beragam kepentingan, termasuk sosial-politik, ekonomi atau budaya sehingga agama menjadi "kambing hitam" dituduh sebagai penyebab utama konflik. 

Padahal, sesungguhnya, ketidakadilanlah yang sering kali menyebabkan konflik. Dalam hal ini, Islam kemudian disalahpersepsikan (falsely understood) oleh sebagian orang sebagai agama yang tidak ramah, cenderung ekstrem dan kasar. 

Pidato JK di Oxford paling tidak memersepsikan secara bahwa Islam---khususnya di Indonesia---selalu ramah, menjauhi konflik dan tidak suka kekerasan. Kalaupun timbul konflik di tengah komunitas beragama, itu tidak bersumber dari agama itu sendiri, tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan sebagian masyarakat.

JK menyebut beberapa contoh konflik di Indonesia yang dipicu oleh ketidakadilan tetapi kemudian dimanipulasi seakan-akan merupakan konflik agama. Konflik Rasialisme di Jawa Barat (1962), pembunuhan massal (1965), Konflik Poso (1998), dan terakhir Peristiwa Mei 1998. 

Serentetan peristiwa konflik yang pernah terjadi ini bukan dipicu oleh agama, terbukti Indonesia sampai detik ini tetap teguh menjadi NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negaranya. 

Agama tetap berfungsi secara baik dalam hal perekat solidaritas sosial yang tidak alergi terhadap keragaman, toleransi, dan termasuk prinsip-prinsip kebinekaan. Indonesia tidak mudah diintervensi pihak lain yang akan memanfaatkan agama sebagai alat manipulasi politik dalam berkonflik. 

Kegagalan Islam di Timur Tengah, jelas karena adanya intervensi asing atas berbagai kepentingan yang mereka bawa, bukan karena agama sebagai pemicu konfliknya.

Agama semestinya menjadi perekat bukan pemecah solidaritas sosial. Pendapat Max Weber (1966) misalnya, menyebut agama sebagai fenomena dasariah manusia yang berfungsi sebagai kontrol sosial. 

Weber kemudian lebih jauh melihat, bahwa agama mampu menjadi perekat bagi potensi-potensi antagonistik antarindividu dan penekan konflik kepentingan antarkelompok yang cenderung antagonistik. 

Dalam hal ini, saya pun mengamini JK yang dengan lugas menyatakan bahwa agama bukanlah sumber konflik, tetapi agama tetap akan menjadi perekat sosial yang mewujud dalam semangat kebhinekaan dan kebersamaan. 

Secara tidak langsung, JK tampaknya berupaya melakukan counter atas persepsi Barat yang memotret Indonesia berdasarkan framing atas kenyataan munculnya kelompok Islam "garis keras". Gambaran ini jelas tidak objektif, terlebih ketika menghubungkan agama dengan berbagai peristiwa konflik belakangan di negeri ini.

JK dengan cukup cerdas membantah berbagai anggapan yang berkembang soal Islam Indonesia---terutama pascakonflik penistaan agama---yang seringkali disudutkan media asing sebagai Islam "garis keras" yang tanpa kompromi. JK terus meyakinkan dunia Barat bahwa seluruh umat beragama dapat berdampingan secara harmonis di Indonesia bahkan nyaris tanpa konflik. 

Setiap agama di Indonesia dapat saling menghargai dan menghormati antarsesama pemeluknya. Saya kira, inilah realitas keberagamaan yang sesungguhnya di Indonesia, tidak ada satu agama pun yang diklaim sebagai pemicu konflik, yang ada hanyalah konflik yang tumbuh atas rasa ketidakadilan masyarakat yang terkadang dimanipulasi pihak lain menjadi rangkaian framing di media menjadi konflik agama.

Melihat lebih jauh soal polarisasi masyarakat belakangan ini, jelas lahir bukan karena faktor agama, tetapi kebanyakan akibat upaya kesengajaan beberapa pihak "memanipulasi" dan "memanfaatkan" agama secara terus-menerus untuk digiring masuk ke arena konflik. Agama yang seharusnya memiliki fungsi pertahanan atas kohesi sosial justru "dipaksa" agar bisa merusak atau memecah solidaritas dengan membuat skenario konflik sosial demi tujuan-tujuan tertentu. 

Saya kira, realitas keagamaan di Indonesia sangatlah inklusif dan toleran walaupun simbolisasi dari mayoritas agama yang ada tampil lebih kuat. Fenomena ini jangan lantas cepat membawa kepada simpulan bahwa Indonesia sedang mengalami konflik agama akibatnya menguatnya simbolisasi mayoritas. Reaksi yang muncul bukan mengatasnamakan agama tertentu, tetapi lebih menuntut soal keadilan sosial.

Di tengah derasnya framing media soal Islam "garis keras", lahir iklim Islamophobia yang semakin mengental karena dipicu oleh sinisme media-media Barat terhadap Islam, termasuk Islam Indonesia yang dipersepsikan sama: pemicu konflik. 

Perlu dipahami, bahwa Islam bukanlah agama penyebar konflik, tetapi justru penebar damai. Mengingat, tak pernah ada sebuah kejahatan kemanusiaan ketika di sebuah negara terdapat mayoritas muslim kepada nonmuslim. 

Memiliki pemahaman yang utuh tentang Indonesia sebagai negara mayoritas muslim tetapi minim konflik sangatlah dibutuhkan, terutama untuk membaca secara utuh soal peta toleransi keberagamaan di negeri multietnik ini. 

JK tentunya tidak sedang mengingkari kenyataan yang terjadi di negeri ini, tetapi ia mencoba untuk lebih jernih memandang soal Islam Indonesia yang ramah, damai, dan berwatak moderat.

Dalam banyak hal, saya sangat apresiatif terhadap pidato JK, terutama lewat salah satu bait pidatonya, Religion is Not Source of the Conflict seakan menjadi ide pokok paling penting dari pidato dirinya di Pusat Studi Kajian Agama Islam, Universitas Oxford, Inggris. 

Di tengah menguatnya kritikan yang tajam yang dipersepsikan Barat terhadap Islam Indonesia, JK berupaya mendamaikannya melalui sikap "jalan tengah" yang dibangunnya sendiri, menepis seluruh anggapan negatif soal Islam yang dipandang Barat menjadi pemicu konflik sosial-politik. 

JK dalam hal ini, telah mempromosikan kepada dunia bahwa Islam moderat adalah ciri khas terpenting dari mayoritas muslim Indonesia yang selalu damai, sepi dari konflik dan tetap bersatu dalam bingkai besar keragaman dan kebinekaan diikat oleh persatuan dan semangat keindonesiaan. Wallahu a'lam bisshawab.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun