Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Agama Bukanlah Sumber Konflik!

21 Juni 2017   11:19 Diperbarui: 30 Oktober 2019   12:33 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)

Agama semestinya menjadi perekat bukan pemecah solidaritas sosial. Pendapat Max Weber (1966) misalnya, menyebut agama sebagai fenomena dasariah manusia yang berfungsi sebagai kontrol sosial. 

Weber kemudian lebih jauh melihat, bahwa agama mampu menjadi perekat bagi potensi-potensi antagonistik antarindividu dan penekan konflik kepentingan antarkelompok yang cenderung antagonistik. 

Dalam hal ini, saya pun mengamini JK yang dengan lugas menyatakan bahwa agama bukanlah sumber konflik, tetapi agama tetap akan menjadi perekat sosial yang mewujud dalam semangat kebhinekaan dan kebersamaan. 

Secara tidak langsung, JK tampaknya berupaya melakukan counter atas persepsi Barat yang memotret Indonesia berdasarkan framing atas kenyataan munculnya kelompok Islam "garis keras". Gambaran ini jelas tidak objektif, terlebih ketika menghubungkan agama dengan berbagai peristiwa konflik belakangan di negeri ini.

JK dengan cukup cerdas membantah berbagai anggapan yang berkembang soal Islam Indonesia---terutama pascakonflik penistaan agama---yang seringkali disudutkan media asing sebagai Islam "garis keras" yang tanpa kompromi. JK terus meyakinkan dunia Barat bahwa seluruh umat beragama dapat berdampingan secara harmonis di Indonesia bahkan nyaris tanpa konflik. 

Setiap agama di Indonesia dapat saling menghargai dan menghormati antarsesama pemeluknya. Saya kira, inilah realitas keberagamaan yang sesungguhnya di Indonesia, tidak ada satu agama pun yang diklaim sebagai pemicu konflik, yang ada hanyalah konflik yang tumbuh atas rasa ketidakadilan masyarakat yang terkadang dimanipulasi pihak lain menjadi rangkaian framing di media menjadi konflik agama.

Melihat lebih jauh soal polarisasi masyarakat belakangan ini, jelas lahir bukan karena faktor agama, tetapi kebanyakan akibat upaya kesengajaan beberapa pihak "memanipulasi" dan "memanfaatkan" agama secara terus-menerus untuk digiring masuk ke arena konflik. Agama yang seharusnya memiliki fungsi pertahanan atas kohesi sosial justru "dipaksa" agar bisa merusak atau memecah solidaritas dengan membuat skenario konflik sosial demi tujuan-tujuan tertentu. 

Saya kira, realitas keagamaan di Indonesia sangatlah inklusif dan toleran walaupun simbolisasi dari mayoritas agama yang ada tampil lebih kuat. Fenomena ini jangan lantas cepat membawa kepada simpulan bahwa Indonesia sedang mengalami konflik agama akibatnya menguatnya simbolisasi mayoritas. Reaksi yang muncul bukan mengatasnamakan agama tertentu, tetapi lebih menuntut soal keadilan sosial.

Di tengah derasnya framing media soal Islam "garis keras", lahir iklim Islamophobia yang semakin mengental karena dipicu oleh sinisme media-media Barat terhadap Islam, termasuk Islam Indonesia yang dipersepsikan sama: pemicu konflik. 

Perlu dipahami, bahwa Islam bukanlah agama penyebar konflik, tetapi justru penebar damai. Mengingat, tak pernah ada sebuah kejahatan kemanusiaan ketika di sebuah negara terdapat mayoritas muslim kepada nonmuslim. 

Memiliki pemahaman yang utuh tentang Indonesia sebagai negara mayoritas muslim tetapi minim konflik sangatlah dibutuhkan, terutama untuk membaca secara utuh soal peta toleransi keberagamaan di negeri multietnik ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun