Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sahur Kok "On The Road?"

19 Juni 2017   10:56 Diperbarui: 19 Juni 2017   20:36 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pontianak.tribunnews.com

Aneh-aneh saja terkadang orang-orang di negeri ini, sahur yang memiliki nilai keberkahan dan kebaikan selama bulan Ramadan, justru malah menjadi petaka bahkan bencana yang justru seringkali timbul dari rangkaian kegiatan sahur tapi dilakukan di jalan (on the road). Padahal, sahur dalam rangkaian ibadah puasa merupakan sunnah yang sangat dianjurkan (muakkad), bukan bertujuan agar orang berpuasa bisa lebih tahan dari lapar hingga waktunya berbuka, tetapi terdapat keberkahan yang tak mungkin dapat kita lihat. Nabi Muhammad, sampai-sampai menyarankan, "Sahurlah walaupun dengan sebutir kurma atau seteguk air", mengingat nilai sahur dalam puasa Ramadan yang sedikit sekali diketahui oleh manusia.

Pernyataan Nabi Muhammad di atas mengenai pentingnya sahur, tidak lantas dipahami agar makan sebanyak-banyaknya yang mengenyangkan, atau terlebih membagi-bagikan makanan sahur di jalanan. Sahur yang paling mendekati nilai keberkahan, justru adalah sahur di antara keluarga, bukan sahur di tempat lain, apalagi sahur di jalanan (on the road). Sesat pikir soal sahur on the road (SOTR) ini telah berlangsung sekian lama, menjadi kebiasaan sebagian masyarakat urban yang mendadak bangga menjadi "pasukan nasi bungkus", membagi-bagikan makanan entah kepada orang yang tepat ataukah tidak. Ukuran berpuasa, sangat disederhanakan oleh sahur, padahal melihat seseorang berpuasa atau tidak dapat dilihat ketika waktu berbuka, karena mereka yang di jalanan, justru berkumpul di masjid untuk sekadar membatalkan puasa mereka dan dilanjutkan shalat magrib.

Selain sasaran "pasukan nasi bungkus" di kegiatan SOTR ini tidak ada yang tepat, kebanyakan kegiatan semacam ini hanya dijadikan ajang hura-hura, gagah-gagahan atau sok dermawan yang justru sangat bertentangan dengan nilai ibadah sahur itu sendiri. SOTR jelas merusak keberkahan sahur dan itu sama artinya merusak kesucian nilai ibadah puasa itu sendiri. Ibadah puasa yang rangkaiannya dimulai sejak sahur dan diakhiri pada waktu magrib, justru mempunyai nilai sakral yang seharusnya disucikan, dihormati dan dijunjung tinggi, bukan malah diabaikan atau dirusak. Saya kira, banyak peristiwa yang lebih banyak membawa mudarat dan bencana di setiap kegiatan SOTR, dan sama sekali tak pernah meninggalkan bekas kebaikan dari kegiatannya.

Peristiwa Sabtu malam di Kemayoran, Jakarta Pusat, SOTR jelas merusak karena aktivitas ini telah merenggut satu korban tewas dan beberapa orang terluka. Saya kira, kejadian seperti ini tidak hanya kali ini saja, tetapi sudah seringkali setiap tahunnya jatuh korban sia-sia dari sebuah aktivitas SOTR. Kegiatan ini jelas menyalahi aturan keagamaan, karena tak pernah ada perintah agama yang menyarankan membagi-bagikan sahur. Perintah agama jelas, mendorong setiap muslim yang menjalankan puasa untuk menyediakan berbuka bagi mereka yang berpuasa, karena nilai pahalanya menjadi lebih banyak, bukan menyediakan sahur. 

Kejadian-kejadian seperti ini yang sudah seringkali dilakukan oleh serangkaian aktivitas SOTR yang tak pernah menimbulkan manfaat, seharusnya secara tegas dilarang oleh pemerintah. Pihak berwenang soal keagamaan Islam---bisa MUI atau lembaga lainnya---dan aparat dapat juga membuat aturan untuk melarang kegiatan SOTR.

Waktu sahur, sejatinya adalah waktu yang memiliki keutamaan dan kelebihan yang diberikan Tuhan di mana seluruh permintaan ataupun doa setiap manusia akan dikabulkan. Seandainya tidak dalam bulan Ramadan yang diwajibkan atas umat muslim berpuasa, maka sangat jarang sekali kita menikmati waktu sahur, yang ada kebanyakan di antara kita masih dalam kondisi tertidur. Oleh karena itu, bangun di waktu sahur sesungguhnya memberikan kesempatan kepada mereka yang mempersiapkan ibadah puasanya untuk berdzikir, berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan yang sebelumnya dapat diselingi oleh makan dan minum sekadarnya dan tidak berlebih-lebihan.

Makan di waktu sahur juga yang membedakan puasanya umat muslim dengan puasa umat-umat sebelum mereka. Karena boleh jadi, puasa umat lain sebelum diwajibkannya berpuasa kepada umat muslim selama bulan Ramadan, tak pernah mengenal istilah "makan sahur", karena esensi berpuasa-pun tidak harus identik dengan menahan makan dan minum saja, tetapi menahan segala apapun yang diperintahkan Tuhan kepada manusia. 

Sebut saja misalnya, Nabi Adam "berpuasa" untuk tidak mendekati "pohon keabadian" atau Siti Maryam (Bunda Maria) "berpuasa" untuk tidak berbicara kepada siapapun dalam kurun waktu tertentu setelah melahirkan Nabi Isa. Nilai filosofi sahur dalam berpuasa tidak hanya berimplikasi pada nilai-nilai moral kemanusiaan, tetapi juga meneledani sejarah dan juga puasa umat lain yang telah lebih dulu menjalankannya.

Makan di waktu sahur untuk berpuasa di bulan Ramadan jelas sarat dengan nilai-nilai sejarah dan kebaikan agama, sehingga kedudukan sahur bukan semata aktivitas makan tetapi juga berdoa karena waktu sahur jelas paling mustajabah dikabulkannya seluruh permintaan kepada Tuhan. Waktu sahur seharusnya tidak sesederhana yang dipikirkan oleh kelompok penebar nasi bungkus yang memandang bahwa membagikan makanan kepada orang-orang di pinggir jalan adalah sikap dermawan yang dibenarkan agama. Padahal, bagi orang yang memang berpuasa, mereka sudah tentu tak akan nongkrong di jalanan, tetapi berada di rumah-rumah mereka bersama keluarga atau berada di masjid-masjid sekitar mereka untuk melampiaskan seluruh doa dan keinginan mereka kepada Tuhannya.

Bagi saya, sahur adalah rangkaian ibadah puasa yang tidak semestinya dikotori atau dirusak oleh hal-hal negatif termasuk aktivitas SOTR yang sama sekali tak ada perintahnya dalam agama. Bahkan, SOTR bukanlah sebuah kegiatan sosial yang memberikan dampak positif terhadap kebaikan masyarakat. Aktivitasnya lebih mengarah pada praktik hura-hura, ugal-ugalan, yang seringkali membahayakan orang lain. 

Tidak pernah ada dampak kebaikan apapun, termasuk peningkatan jumlah orang yang berpuasa akibat serangkaian aktivitas SOTR yang digagas anak-anak remaja. Saya kira, sudah seharusnya aktivitas ini tidak terus dibiarkan dan semakin banyak menimbulkan korban dan gesekan-gesekan lain di tengah masyarakat. Mereka harus benar-benar dipahamkan soal nilai-nilai kebaikan makan sahur dan keutamaan waktu sahur, agar tidak salah kaprah dalam menjalankan aktivitas sosial mereka di bulan Ramadan. Cerdaslah memahami Ramadan, karena banyak nilai-nilai kebaikan di dalamnya. Merusak atau mengotorinya, jelas akan mengurangi seluruh pahala dan kebaikan yang seharusnya dapat kita raih di bulan suci ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun