Melihat fenomena yang terjadi di tengah realitas sosial kita, meneror dengan serangkaian aksi, baik dengan kekerasan ataupun tidak, seakan telah menjadi “virus” yang dibawa dan ditularkan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang tidak mampu menerima kekalahannya dengan cara-cara bijak yang kompetitif. Merasa tidak mampu menyelesaikan pelbagai persoalan yang melilitnya, meneror adalah cara paling jitu, untuk menekan, menakut-nakuti dan mengubah keadaan yang diinginkan sesuai harapan sang pelaku teror. Bahkan tak jarang, otak pelaku teror sendiri tetap misteri dan hanya menjadi catatan sejarah atau tebak-tebakan para ahli terorisme. Mengungkap aktivitas teror memang tidak mudah dan bahkan kadang bisa menyerah, seperti “menyerah”nya kepolisian kita pada kasus teror yang menimpa Novel Baswedan.
Kita ini hampir setiap hari, dijejali beragam informasi mengenai teror, dari mulai hard terror yang menakutkan dan mencekam seperti agresi militer Filipina atas Kota Marawi, ledakan bom di beberapa negara Eropa, bom bunuh diri di negeri sendiri, atau serangkaian aksi soft terror, seperti penyiraman air keras atas Novel Baswedan, persekusi yang semakin marak mengatasnamakan kelompok pembela ulama atau teror terhadap tokoh-tokoh politik karena sikapnya yang terlampau vokal terhadap penguasa. Mungkin masih banyak serangkaian teror lainnya yang menyeruak di negeri ini, bangkit menularkan virus kepada siapa pun yang ingin melakukannya. Aktivitas teros seakan membudaya, tidak hanya berupa ancaman serius, terkadang teror juga dilakukan hanya sekadar candaan dan permainan yang dijalankan seseorang secara sadar.
Bangsa ini sepertinya sedang mengulang tragedi pada awal-awal 1950-an, di mana nuansa teror pernah menjadi fenomena yang menakutkan masyarakat. Aktivitas teror yang waktu itu lahir dari kekecewaan para tentara yang tidak terakomodasi dalam struktur kekuasaan politik, dilakukan dengan mengatasnamakan separatisme atau agama. Teroris yang lahir di Jawa Barat sebagai Gerakan DI/TII, kemudian diikuti oleh oleh gerakan separatis lainnya di Maluku. Tak mau kalah, di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beberapa tentara juga kemudian ikut ber-baiat pada gerakan DI/TII yang semakin meneguhkan aksi terornya kepada masyarakat.
Tantangan-tantangan sentrifugal ini kemudian diperkaya lagi oleh beragam aktivitas pemberontakan yang mengarah pada tindakan teror yang lebih luas, melalui gerakan-gerakan baru. Modusnya hampir sama, akibat ketidakpuasan dan tidak terakomodasinya kepentingan mereka oleh penguasa di tingkat pusat.
Saya kira, aktivitas teror yang marak belakangan ini tak bisa dilepaskan dari bukti kesejarahan masa lalu Indonesia yang masih memiliki persoalan terhadap berbagai proses integrasi politik. Terlebih, bahwa Indonesia merupakan negara yang multietnis dan multibudaya, sehingga cakupan persoalan integrasi tidak hanya lahir akibat persoalan politik, tetapi bisa lebih banyak akibat persoalan-persoalan lainnya yang bisa saja timbul.
Persoalan dan pelbagai masalah seakan tumbuh secara berantai, bahkan terkadang satu masalah yang diselesaikan malah menimbulkan persoalan baru lainnya. Inilah alasan kenapa kemudian, James J. Coleman dan Carl G. Rosberg melihat bahwa persoalan seperti ini menjadi bagian dari masalah integrasi politik. Sebuah bangsa yang memiliki gejala-gejala perpecahan, yang ditengarai oleh beragam aksi teror yang menganggu keharmonisan hubungan masyarakat adalah masalah integrasi politik yang harus segera diselesaikan.
Proses integrasi politik harus mampu menjembatani celah perbedaan yang mungkin ada antara elite dan massa agar berkembang suatu proses politik yang terpadu dan melahirkan partisipasi politik masyarakat secara terarah. Integrasi politik sejauh ini belum terjadi secara utuh dan simultan terutama apa yang kita lihat pasca Pilpres 2004 silam yang benih-benih konflik akibat masalah politik belum sepenuhnya clear teratasi. Partai politik (parpol) pemenang pemilu juga rasa-rasanya hanya sibuk mengurusi soal-soal koalisi politik di tingkat elit dan bagaimana kekuatan-kekuatan politik mereka terakomodasi dalam struktur kekuasaan.
Masalah hasrat kekuasaan para elite yang membuncah pasca Pilpres 2004 kemudian melahirkan ketimpangan yang sangat jelas di mana hubungan-hubungan politik massa-elite yang pernah terjalin secara baik sebelumnya, malah rusak dan tercabik-cabik. Meluasnya konflik vertikal antara elite-massa belakangan meluas menjadi konflik horizontal yang bersifat teritorial.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini mungkin belum pernah kita dengar ada sekelompok masyarakat adat yang menolak kedatangan tokoh elite pusat ke wilayahnya atau bahkan pengusiran salah satu tokoh agama oleh warga yang mengatasnamakan masyarakat adat. Bangsa ini benar-benar mengalami disintegrasi politik yang jika tidak diselesaikan, bisa saja mengalami ledakan hard terror seperti konflik vertikal yang pernah terjadi pada awal-awal dicetuskannya revolusi nasional pascakemerdekaan Indonesia.
Bagi saya, integrasi politik menjadi sangat penting saat ini agar unsur elite-massa dapat menghilangkan perbedaan-perbedaan yang mewujud pada kelompok berpengaruh dan yang dipengaruhi akibat beragam kepentingan elite-massa yang tak terakomodasi. Kita tahu, bahwa polarisasi yang semakin mengental di tengah masyarakat belakangan ini adalah kuatnya pengaruh yang datang dari antarkelompok kepada masayarakat yang dipengaruhinya dan mempertajam perbedaan di antara masing-masing kelompoknya. Proses integrasi politik memang tidak mudah karena manusia sebagai objek integrasi selalu saja keluar dari batas-batas ruang, waktu, dan pembatasan lainnya, dilingkupi beragam kepentingan, entah ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya.
Melihat dari sekian banyak faktor yang ada pada persoalan integrasi politik, paling tidak kita dapat mengasumsikan dua masalah agar proses integrasi ini berjalan sesuai prosedur penguatannya. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat. Masalah pertama tentu mengacu pada pengakuan akan hak-hak yang dimiliki negara dan rakyat harus mematuhinya sehingga dibutuhkan sebuah proses komunikasi yang terukur antara pemerintah dan rakyat.
Kepaduan komunikasi ini penting dibangun untuk penyadaran bersama akan hak dan kewajiban masing-masing sehingga tidak muncul “ketimpangan” akibat tak dipenuhinya hak dan kewajiban, baik oleh negara maupun rakyat. Kita mungkin menyadari bahwa terkadang masih saja ada hak-hak negara yang tidak tersalurkan kepada rakyatnya, yang semakin lama jelas akan melahirkan kondisi disintegratif.
Masalah kedua saya kira lebih ke arah pembinaan, di mana harus dibangun kesepakatan di antara sesama warga negara tentang tingkah laku politik yang diperlukan agar sistem politik dapat berjalan dengan baik. Kesepakatan yang dibangun tentunya harus didasarkan pada kesamaan politik bahwa setiap warga memiliki hak politik yang sama denga lainnya. Perbedaan-perbedaan ideologi tidaklah dibesar-besarkan sehingga bisa menjadi sekat yang menghalangi proses kesepakatan tingkah laku politik.
Kedua masalah yang menyoal integrasi politik di atas tampaknya terlalu diabaikan negara dan kadang beberapa kali dengan dalih “integrasi” menerapkan cara-cara “paksa” bukan dengan proses dialogis yang konsultatif. Negara terkadang gagal menjembatani beragam perbedaan dalam masyarakat sehingg wajar jika kemudian gap semakin terkuak lebar antara elite dan massa.
Semakin lama gap ini dibiarkan terbuka, virus-virus disintegrasi, seperti radikalisme, terorisme, anarkisme atau primordialisme semakin tumbuh berkembang menulari generasi-generasi berikutnya yang memang tak pernah dipuaskan oleh negara. Puncak ketidakpuasan rakyat atas negara kemudian mewujud dalam aksi sepihak, berupa serangkaian teror dengan latar belakang kepentingan secara beragam. Teror tidak harus dipandang dilakukan hanya oleh sekelompok orang terorganisasi atau profesional, teror bisa juga dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa iri atau dengki kepada pihak lain.
Yang jelas, teror adalah bentuk ketidakpuasan seseorang terhadap orang atau pihak lain karena ketidakpuasan dirinya atas kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang ada. Bangsa ini tentunya harus memperkuat proses integrasi politik jika ingin persatuan dan kesatuan ini tetap terjaga. Saya masih sepakat dengan Myron Weiner (1968) bahwa strategi integrasi politik bisa melalui asimilasi dan penyatuan dalam berbagai keragaman. Semoga bangsa ini mudah dalam menjalani integrasi politik dan lebih jauh berintegrasi secara nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H