Watak agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial karena nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu, agama berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan. Seorang pembawa ajaran agama (Nabi) mulanya menganggap agama adalah persoalan individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah Tuhan hanya dipahami dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk menjadi penyebar agama kepada masyarakatnya. Kemunculan sebuah “agama baru” dalam masyarakat tidak mungkin menjauhkan diri dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dianut, agama selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi yang ada dan bukan memberangusnya sama sekali. Dengan demikian, agama adalah cerminan dari tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih sederhana, agama adalah warisan tradisi bukan sebaliknya.
Islam sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama baru dibanding agama-agama kuno lainnya, seperti Nasrani atau Yahudi yang ada jauh sebelum masehi. Islam lahir dari sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah) bangsa Arab dan hampir-hampir waktu itu, bangsa Arab tidak mempunyai peradaban sama sekali. Situasi kekacauan masyarakat yang barbar, nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah ciri utama bangsa Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama Muhammad mulai peduli untuk memperbaiki “kerusakan total” lingkungan masyarakatnya.
Muhammad mengisi hari-hari kehidupannya lebih banyak ber-tahannuts atau mencari ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-pikuk masyarakat Arab, berdoa dan memohon kepada Yang Kuasa agar kondisi carut-marut bangsanya dapat terselesaikan. Muhammad seringkali menyepi di sebuah gua, beberapa kilometer dari pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi keramaian masyarakat Arab yang tidak begitu ia sukai.
Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya, senantiasa dituntun oleh warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun menganut agama Ibrahim, yakni agama ketauhidan yang hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke baitullah (Ka’bah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad sebagai ajaran “agama” yang mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya. Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah “agama” atau dalam bahasa Arab “al-diin” dan seluruh masyarakat Arab berbaur dengan perbedaan keyakinan agama yang ada dalam masing-masing individunya, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat yang membedakan agama diantara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya.
Oleh karena itu, seorang ahli sejarah bahasa dan budaya Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah “al-diin” yang berarti “agama” mengacu pada “suatu adat atau tradisi yang diikuti” (al-‘aadatu wa al-sya’n). Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan seorang pemeluknya untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik dan meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktek khitan, haji, nikah, warisan dan lainnya merpakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat bangsa Arab, termasuk tata cara keagamaan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian adalah “warisan” dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling melengkapi dan tentu saja memperbaiki.
Agama dan tradisi yang menjadi pola hidup yang “bernilai” di tengah masyarakat kemudian menjadikan hal yang mampu merekatkan kehidupan sosial secara harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak dulu, tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan yang dihadapkan dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi sekat dalam kehidupan sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat tradisi yang “berserakan”, masyarakat beragama tentu saling menghormati dan menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa ada yang mempertentangkannya. Masyarakat tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab keagamaan yang tersedia, mereka cukup mendengar dan mentaati pitutur para kiai kampung atau ulama setempat tentang bagaimana bersosialisasi secara baik dengan masyarakat.
Cermin masyarakat dahulu adalah soal ketaatan mereka terhadap tradisi dan agama, sehingga beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan yang melekat secara pribadi kedalam hati masing-masing pemeluknya, tidak diungkapkan menjadi “perbedaan” tatkala berada dalam lingkungan masyarakat. Agama memang pada awalnya adalah masalah individual, seperti Islam yang pertama kali di bawa Nabi Muhammad. Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan diaplikasikan oleh diri Nabi, sebelum kemudian menjadi bersifat sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi “tradisi” oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual yang berubah menjadi entitas sosial butuh sebuah kebijaksanaan agar agama tetap berfungsi sebagai perekat sosial.
Lalu belakangan ada yang banyak yang menggugat soal soal tulisan salah seorang anak remaja yang menyebut adanya agama warisan. Agama jelas adalah warisan secara turun temurun dari tradisi kemanusiaan yang ada, walaupun ketika menjadi sebuah agama “resmi” ia telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh pembawa dan penyebar pertama kalinya. Islam salah satunya, merupakan agama yang berasal dari tradisi masyarakat Arab yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini.
Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi, adalah jelas ahistoris terlebih merasa gagap ketika disebut agama yang saat ini kita anut tidak bukan adalah “agama turunan” yang dibawa oleh orang tua dan leluhur kita. Itulah kenyataannya, bukankah Nabi Muhammad juga sama menurunkan agama warisan dari Nabi Ibrahim dan tidak pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga ketika diajak umat lain untuk mengikuti agama mereka, Nabi menjawab, “cukuplah saya mengikuti agama leluhur kami, Ibrahim yang hanif”.
Saya muslim dan saya beragama karena warisan dari orang tua saya dan terus menerus dari keturunan yang diatasnya hingga sampai kepada Nabi Ibrahim. Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya. Memahami agama sebagai sebuah tradisi yang baik yang masing-masing kemudian meyakini kebenaran yang ada di dalam agama itu sendiri, tanpa mengklaim bahwa hanya “agama” yang diyakininyalah yang paling benar sehingga agama yang dianut oleh kelompok lain salah, jelas mengingkari eksistensi agama itu sendiri.
Kebenaran agama terletak pada sisi individual terdalam melalui keyakinan seseorang yang tak bisa “dipaksakan” kepada orang lain. Tuhan-pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru perbedaan seperti kesukuan, kelompok atau bangsa diperintahkan untuk saling mengenal (ta’aruf). Agama bukan menjadi “sekat” kehidupan sosial yang keluar dari “sunnatullah”nya, sebagai perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun temurun.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H