Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akhir Perburuan WTP di Lingkungan Lembaga "Pelat Merah"

30 Mei 2017   10:37 Diperbarui: 30 Mei 2017   16:55 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terkuaknya perdagangan status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan oknum aparatur Kemendes, nampaknya akan menjadi pintu masuk bagi KPK dalam menelisik lebih jauh, lembaga “plat merah” mana saja sebenarnya yang pernah diopinikan WTP oleh BPK. Jangan-jangan banyak lembaga lain yang mendapatkan status opini WTP atas laporan keuangannya dari BPK tapi dari hasil kecurangan sebagaimana yang prakteknya secara gamblang di lakukan oleh Kemendes. Padahal sejauh ini, dari 87 jumlah lembaga negara yang telah diperiksa laporan keuangannya oleh BPK, ada 74 lembaga yang memperoleh opini WTP, berarti hampir 90 persen seluruh lembaga negara berstatus WTP. Lalu, fair-kah seluruh opini WTP atas pelaporan keuangan yang telah di lakukan audit oleh BPK ini? Setelah terkuaknya praktek suap yang dilakukan oknum Kemendes kepada BPK, publik nampaknya semakin tidak mempercayai seluruh prosedur yang dilakukan lembaga “plat merah”, karena lebih banyak rekayasa dari pada realitanya.

Perdagangan WTP seakan menjadi “perburuan rewards” antarlembaga negara yang bisa saja telah menjadi “penyakit”, menulari hampir seluruh lembaga pemerintahan untuk melakukan hal yang sama, menyoal opini WTP yang harus didapatkan dari BPK atas hasil laporan keuangannya. Sebuah opini WTP yang disematkan tentu menjadi indikator keberhasilan kerja birokrasi sebuah lembaga sehingga sangat berpengaruh terhadap prestise lembaga tersebut atau bisa saja menjadi ajang promosi kenaikan jabatan bagi para aparatur terkait yang berhasil mengejar dan mendapatkan status opini WTP dari BPK. Maka tak heran, banyak lembaga berplat merah justru memburu status WTP walaupun kadang tidak seluruhnya dijalankan secara fair dan transparan.

Sepertinya kata “WTP” menjadi semacam klausa umum, dimana kualitas pelaporan keuangan sebuah lembaga dirasa akan turun “derajatnya” ketika BPK tidak menyematkan opini WTP terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) keuangan lembaganya. Padahal, lembaga negara seperti Kementrian Agama (Kemenag) juga pernah 12 tahun tidak pernah mendapatkan predikat WTP dari BPK dan baru pada tahun 2016, Kemenag mendapatkannya. Saya kira, 12 tahun tanpa predikat WTP dari BPK, sebuah lembaga tidak lantas dicap sebagai lembaga “bermasalah”, namun bisa saja karena kurang profesional para pengatur lalu-lintas keuangannya, sehingga perlu mendapat bantuan khusus dari pihak BPK untuk saling bersimbiosis-mutualisma meningkatkan sisi profesionalitas pelaporan keuangan sebuah lembaga secara transparan dan bertanggung jawab.

Bagi saya yang awam soal laporan keuangan, nampaknya sebuah predikat keopinian berjenjang yang disematkan untuk setiap LHP keuangan lembaga pemerintahan, tentunya dengan sederet rewards lainnya yang dijanjikan, akan menjadi celah bagi para oknum “nakal” birokrat dalam mencari keuntungan secara pribadi. Bagaimana tidak, jenjang opini dengan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) serasa memalukan pihak birokrat dan mereka pasti akan mengejar jenjang opini WTP dengan berbagai macam cara, termasuk seperti yang dilakukan para oknum di Kemendes. Proses opini berjenjang yang ditetapkan oleh BPK bagi hasil audit terhadap lembaga lain justru merupakan celah-celah yang paling mudah disusupi praktik kolusi dan korupsi. Meskipun Menteri Keuangan meyakinkan publik bahwa pemberian opini WTP terhadap lembaga/kementrian merupakan proses sistemik yang di evaluasi secara ketat, namun pada kenyataannya kasus Kemendes tetap menjadi bukti bahwa seketat apapun upaya yang dijalankan, celah kolusi itu tetap masih terkuak lebar.   

Saya kira sudah bukan rahasia umum, publik tahu soal pelaporan keuangan lembaga negara yang di-“utak-atik” agar terkesan merepresentasikan “angka-angka” yang faktual dan dapat di pertanggungjawabkan. Budaya utak-atik laporan ini saya kira sudah menjadi kebiasaan sejak lama dan menjadi “budaya struktural” di hampir seluruh lembaga pemerintahan. Entah sejak kapan hal ini dimulai, namun yang jelas, budaya pungli, kolusi dan korupsi seakan terus menjadi godaan prestise bagi banyak lembaga yang justru semakin sulit untuk dihilangkan. Dorongan dan hasrat yang kuat terhadap bentuk apresiasi kehormatan, jabatan, peningkatan status sosial karena kekayaan nampaknya menjadi satu-satunya alasan mengapa praktek korupsi dan kolusi menjadi sangat sulit hengkang dari negeri ini.

Tentu menjadi sebuah tandatanya besar, disaat BPK yang dipercaya publik menjadi garda terdepan menekan kecurangan atas berbagai pelaporan keuangan negara, justru malah ikut berbagi dan menikmati berbagai “fasilitas kecurangan” tersebut melalui serangkaian praktik perdagangan opini. Jika BPK saja dengan mudahnya melakukan hal-hal koruptif seperti ini, lalu lembaga mana lagi yang bisa menjadi harapan kepercayaan publik? Nampaknya keberadaan BPK sejauh ini tidak lagi mewujud menjadi “hantu auditor” yang menakutkan bagi sebagian besar lembaga berplat merah, tetapi justru dengan mudah bisa menjadi “mitra bisnis” yang saling menguntungkan terutama untuk kepentingan mendongkrak kehormatan lembaganya melalui perolehan gelar opini WTP yang diincarnya.

Kasus tertangkapnya oknum pegawai BPK dan oknum pejabat Kemendes nampaknya merupakan fenomena gunung es yang sejauh ini sangat sulit membuktikan soal benar tidaknya ada pelaporan keuangan lembaga negara/kementrian yang mendapatkan gelar WTP secara curang. Terbongkarnya perdagangan WTP antarlembaga negara ini justru semakin menunjukkan alangkah mengguritanya praktik-praktik curang di negeri ini yang hampir-hampir saja luput dari penilaian publik. Padahal,  sungguh terdapat “kejahatan” yang selama ini terorganisir, sangat rapih, di bungkus oleh aturan-aturan legal-formal yang justru dilanggar oleh mereka sendiri. Realitas saat ini tak jauh dari fenomena pelanggaran-pelanggaran yang “tak nampak”, dilakukan dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, hukum dan bahkan agama.

Semoga terungkapnya perdagangan opini WTP ini tidak juga karena adanya pelanggaran-pelanggaran “politis” yang dilakukan BPK, sehingga perlu mempertontonkan “borok” lembaga auditor keuangan negara ini kepada publik. OTT yang seringkali dilakukan KPK tidak juga sekadar aksi “kejut” yang bersifat fenomenal dan sementara hanya untuk memberikan semacam “shock therapy” pada lembaga-lembaga negara yang dianggap “ngeyel” terhadap KPK. Asumsi saya, kewenangan yang sangat besar yang dimiliki KPK akan dengan mudah mengungkap berbagai kasus kejahatan korupsi, walaupun persoalannya adalah siapa yang akan lebih dahulu dibidik dan dijatuhkan kredibilitasnya oleh lembaga anti rasuah ini. Ini dibuktikan dari beberapa hasil OTT KPK terhadap beberapa kasus korupsi, tidak ditindak di transaksi pertama, tetapi pada saat transaksi terakhir praktek suap-menyuap itu sedang dijalankan.

Saya beranggapan bahwa terkuaknya kasus perdagangan opini WTP ini akan berpengaruh signifikan terhadap banyak lembaga negara/pemerintahan lain yang saling curiga soal keabsahan hasil audit laporan keuangannya oleh BPK. Hal ini pada akhirnya jelas akan menurunkan kepercayaan publik terhadap seluruh lembaga negara, terutama mereka yang laporan keuangannya telah diaudit dan mendapatkan opini WTP dari BPK. Wajar, ketika Menkeu Sri Mulyani sangat menyesalkan kejadian ini, walaupun dia berkeyakinan bahwa penilaian yang dilakukan BPK jelas telah memenuhi standar. Jangan sampai istilah perdagangan opini WTP justru menjadi isu yang bisa lebih menjual dan memiliki efek lebih besar sehingga inilah yang diungkap ke publik. Padahal, bisa saja bahwa ada hal-hal lain diluar soal predikat WTP yang menjerat oknum BPK dan Kemendes yang mungkin memang tidak banyak diketahui publik. Memberantas korupsi memang harus seadil-adilnya, dan jika perlu tidak perlu pandang bulu dan tebang-pilih siapa yang akan lebih dahulu layak di “koruptor” kan oleh KPK.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun