Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hari-hari "Mesum" Rizieq Shihab

19 Mei 2017   13:26 Diperbarui: 19 Mei 2017   15:28 2079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gara-gara kasus chat mesum yang mendera Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, hari-hari Rizieq seakan berubah secara drastis: jarang terdengar suaranya yang membahana mengisi orasi-orasi keagamaan, kemeriahan pengikutnya ketika ia hadir dalam berbagai acara bahkan pernah keberadaannya belakangan ini bak ditelan bumi. Kasus chat mesum yang dituduhkan kepada dirinya sepertinya membesar menjadi semacam “magnitude” yang efek goncangannya melebihi kasus-kasus lainnya yang sempat “dipolisikan”. Saking kuatnya daya magnitude tersebut, sampai-sampai ia berasumsi telah terjadi kriminalisasi terhadap dirinya sebagai “ulama” dan perlu menyelesaikannya di tingkat hukum internasional.

Saya kira, bukan tipikal seorang Rizieq Shihab ketika ia harus menghindar dari berbagai kenyataan hukum terlebih ketika justru tidak percaya dengan proses hukum di dalam negeri sehingga harus mencari keadilan di luar negeri. Istilah “Kriminalisasi Ulama” seolah menjadi alasan hukum yang absurd ketika diajukan dirinya agar terhindar dari berbagai implikasi hukum. Saya kira, sebagai seorang anak bangsa yang taat hukum, ia sudah semestinya tetap menjalani prosedur hukum dengan mengungkapkan bukti-bukti kebenaran seandainya ia tidak melanggar hukum. Jika belum memberikan bukti apapun, tetapi malah menghindar dari upaya hukum, terlebih beropini telah terjadi kriminalisasi ulama, justru akan semakin menambah besar tandatanya publik.

Bagi saya, salah satu penyadaran soal hukum yang baik pernah diungkapkan Nabi Muhammad ketika dirinya menjadi pemimpin di Madinah. Sebuah pidato yang menarik, ketika Nabi Muhammad dihadapkan pada sebuah situasi hukum yang dilanggar oleh salah seorang elit masyarakat Arab waktu itu. “Sesungguhnya rusaknya tatanan sosial pada masyarakat sebelum kalian adalah ketika ada seseorang yang melanggar hukum karena dia orang yang terhormat, maka hukum itu tidak ditegakkan, tetapi jika yang melanggar hukum adalah orang-orang yang ‘lemah’ maka ditegakkanlah hukum atasnya. Seandainya Fatimah binti Muhammad melanggar hukum, maka saya yang akan langsung menghukumnya”. Hukum di masa Nabi Muhammad benar-benar ditegakkan ketika terdapat bukti-bukti yang nyata sehingga menjerat seseorang, tanpa harus memandang apakah dia elit, penguasa atau orang yang berpengaruh sekalipun, ketika terindikasi melanggar hukum, maka hukum wajib ditegakkan atasnya.

Proses penegakkan hukum yang baik dan tegas tanpa memandang status seseorang dalam sebuah bingkai besar kebangsaan sesungguhnya menjadi prasyarat terbentuknya sebuah tatanan sosial yang baik. Dalam riwayat di atas, Nabi Muhammad bahkan menyindir soal rusaknya tatanan sosial dari generasi sebelumnya sebagai contoh implikasi hukum yang dipermainkan bahkan tak ditegakkan sama sekali. Di negara manapun, ketika terdapat seseorang yang diduga melanggar hukum tetapi dibiarkan, maka yang terjadi jelas rusaknya seluruh tatanan sosial yang ada. Paling tidak, kerusakan akan berakibat pada masyarakat yang tidak lagi percaya terhadap hukum yang berlaku yang pada akhirnya peristiwa “main hakim sendiri” pasti tak terhindarkan. Betapa kacaunya situasi sosial jika memang penegakkan hukum justru “tebang-pilih” hanya menyasar kalangan “lemah” tetapi orang-orang yang “kuat” justru luput dari jeratan hukum.

Saya kira, tentu ada kaitannya dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan “menggebuk” siapapun para pelanggar konstitusi di negeri ini tanpa “pandang bulu”. Instruksi Jokowi memang harus dipahami secara hati-hati, bukan berarti asal “gebuk” dengan mengindahkan konstitusi. Semua proses penegakkan hukum harus adil dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Saya kira, tujuan Jokowi benar, bahwa siapapun harus “dipaksa” untuk taat kepada hukum dan undang-undang, karena alasan hukum dan perundang-undangan memiliki konotasi “persamaan” atas dasar konsensus dari wujud segala “perbedaan” yang ada dalam masyarakat. Hukum, dengan demikian berada pada level paling tinggi sebagi perwujudan bangsa dan negara yang harus ditaati oleh siapapun, tak terkecuali.

Konsensus atas dasar persamaan dalam hukum, tentu akan berakibat pada iklim kondusif kehidupan berbangsa dan bernegara dan inilah sesungguhnya cita-cita masyarakat muslim yang sudah sejak lama digaungkan oleh Nabi Muhammad. Konsekuensi penegakkan hukum secara adil juga berimplikasi pada penguatan demokrasi yang selama ini sedang ditegakkan di negeri ini. Mangkir atau malah menghindar dari persoalan hukum bahkan menganggap telah terjadi upaya kriminalisasi tidak hanya menimbulkan opini yang buruk di tengah masyarakat, tetapi lebih jauh telah bersikap sombong karena merasa ketokohan dan keulamaannya tidak dianggap sehingga berupaya “melawan” hukum. Saya berharap hari-hari “mesum” (menanti kepastian hukum) atas berbagai kasus yang menjerat Rizieq Shihab dapat secara adil pula ditegakkan dan dapat sejelas-jelasnya diungkap ke publik soal benar tidaknya tuduhan-tudahan “kriminalisasi” terhadap dirinya.

Wallahu a’lam bisshawab    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun