Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Malware di Antara Hoaks dan Rekayasa Sosial

15 Mei 2017   10:03 Diperbarui: 15 Mei 2017   12:15 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini publik dihebohkan oleh informasi serangan malware (perangkat lunak berupa virus komputer yang tidak diinginkan) yang dikenal dengan ransomware—karena pihak penyedia virus meminta suatu tebusan kepada pengguna komputer—yang akan menginfeksi komputer yang terhubung dalam jaringan internet seluruh dunia. Sama seperti virus-virus sebelumnya, sifat malware selalu menggunakan rekayasa sosial dalam penyebarannya, dimana virus ini akan bekerja karena ulah user sendiri yang entah karena keluguan atau ketidaktahuannya membuka suatu file yang belum diketahui itu file apa. Sejauh ini, malware adalah virus yang paling mudah penyebarannya akibat ulah ketidaktahuan user, walaupun tingkat daya rusaknya terhadap file berbeda-beda. Dulu, Indonesia pernah dihebohkan dengan virus serupa, seperti “brontok” dengan berbagai variannya atau yang masih dikenal sampai saat ini adalah “hidden file virus” yang menyebar melalui “penggandaan dirinya” (worm) lagi-lagi akibat klik yang dijalankan oleh user sendiri.

Sejauh ini beragam tipe virus, baik trojan, spyware, worm atau malware dianggap sebagai “pengganggu” bagi pengguna komputer tetapi lebih banyak menggunakan “kebodohan” user dalam berbagai cara kerjanya. Disinilah saya kira perlu pengetahuan sederhana kepada para pengguna komputer untuk tidak sembarangan melakukan klik terhadap file ataupun folder apapun yang sekiranya kita tidak pernah tau ataupun mengenalnya. Celakanya adalah justru ketika si pengguna telah terlanjur melakukan klik terhadap suatu file atau folder sehingga dipastikan virus itu akan menyebar dengan berbagai caranya sendiri. Karena sifatnya yang layaknya virus dalam dunia kesehatan, ia bisa menulari “siapa saja” baik melalui media penyimpanan data ataupun yang paling mutakhir adalah menyebar melalui jaringan Local Area Network (LAN).

Ada yang sampai saat ini menjadi ganjalan dalam pemikiran saya dan mungkin jawabannya bersifat relatif: kenapa seseorang begitu antusias membuat virus? Apa tujuannya? Apakah ada kaitannya dengan persaingan bisnis industri software? Lalu siapa yang membiayai seseorang untuk membuat virus? Dan yang selalu kita mengerenyitkan dahi, kenapa antivirus hadir setelah virus itu menyebar? Pertanyaan-pertanyaan ini saya kira akan mendapatkan jawaban yang serba relatif, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Dunia digital yang sedemikian luas—bahkan rasanya seluruh sisi kemanusiaan diwakili oleh ekses digitalisasi—merupakan “dunia baru” yang terpisah dari dunia nyata yang sesungguhnya. Oleh karenanya, seluruh perangkat komputerisasi merupakan tools-tools baru yang dipergunakan untuk menunjang pekerjaan manusia sehari-hari, sehingga sangat wajar ketika logika kemunculan virus adalah sebuah upaya rekayasa sosial dalam mendegradasi “kecerdasan” dan kreatifitas manusia, menjadi sangat tergantung kepada alam pikiran digital.

Virus komputer dengan demikian tidak sekedar merusak seluruh perangkat digital yang kita miliki tetapi pada akhirnya mendegradasi tingkat kecerdasan manusia bahkan dalam beberapa hal malah mematikan kreatifitas manusia. Bagaimana tidak, komputerisasi dan digitalisasi walaupun memiliki kemanfaatan yang luar biasa terutama dalam meringankan pekerjaan-pekerjaan manusia tetapi disisi lain, dampak negatifnya adalah membunuh kreatifitas itu sendiri dan manusia larut dalam berbagai rekayasa sosial yang dijalankan oleh permesinan digital. Informasi yang menakutkan yang disebar baik melalui media mainstream atau media sosial soal akan adanya pengaktifan atau penyebaran virus, tidak saja menyebar “ketakutan” bagi para pengguna komputer tetapi malah saling membuat asumsi sendiri-sendiri soal bagaimana menangkal penyebaran virus itu sendiri.

Saya kira, perlu membangun pemahaman yang baik soal kreatifitas dalam menangkal virus yang mudah menyebar melalui sebuah rekayasa sosial. Yang paling utama dan pertama adalah kedewasaan user yang harus dibangun agar tidak terjebak pada rasa penasaran untuk melakukan “klik kiri” pada mouse ketika menerima sebuah file atau folder yang sama sekali belum kita kenal. Bahkan, walaupun misalnya folder yang kita lihat itu kita kenali, ada kemungkinan memiliki warna yang sedikit berbeda dengan folder asli yang mungkin sudah terlebih dahulu di “hide” oleh virus. Seorang pengguna “cerdas” pasti akan lebih berhati-hati dan malah cenderung tidak akan melakukan eksekusi apapun terhadap file atau folder yang mencurigakan. Dengan tidak melakukan apapun, justru disinilah peran virus yang seharusnya mudah menyebar, dihentikan oleh aktivitas si pengguna itu sendiri. Sama halnya dengan berita hoax, akan berhenti dengan sendirinya ketika kita sendiri yang “cerdas” untuk tidak menyebarkannya kepada orang lain.

Penyebaran virus ransomware yang konon menyebar melalui eksekusi attachment file bukanlah hal yang baru, karena penularan virus melalui eksekusi ini sudah menjadi warning dari para vendor software agar pengguna lebih berhati-hati dalam membuka attachment file sekiranya itu dikirim oleh seseorang yang tidak sama sekali kita kenal. Tetapi memang kenyataannya, kebanyakan dari pengguna komputer justru selalu memiliki tingkat penasaran yang tinggi terhadap kiriman file atau attachment dengan judul-judul yang mampu meningkatkan rasa penasaran kita sendiri, seperti undian berhadiah, sex, tawaran kerjasama atau nama-nama populer yang umumnya kita kenal. Untuk menagkalnya, beberapa tips yang disebar melalui media sosial justru terkesan aneh, yaitu ajakan untuk mencabut LAN sebelum menyalakan komputer agar terhindar dari serangan virus.

Bagi saya, walaupun LAN telah di non-aktifkan, virus tetap akan bekerja ketika ada seorang pengguna dalam sebuah lokal jaringan komputer tersebut kemudian melakukan eksekusi terhadap suatu file atau attachment pada saat LAN diaktifkan kembali. Saya kira, literasi digital yang seharusnya lebih baik dalam mindset para pengguna komputer terlebih mereka hidup dalam era digitalisasi yang terpisah secara nyata dari realitas kehidupan nyata mereka, bukan sekedar terus melakukan “teror” terhadap pengguna melalui informasi-informasi yang terkadang “membodohkan” para pengguna komputer. Literasi digital lebih baik melakukan penyadaran agar para pengguna komputer dibiasakan untuk mem-back-upfile-file yang dianggap penting secara berkala ke media penyimpanan lain yang relatif lebih aman. Karena walau bagaimanapun, dunia digital yang didominasi oleh internet adalah ladang terbuka bagi siapapun yang memanfaatkan ketidaktahuan kita untuk mengakses, merusak, memanipulasi atau menghancurkan data-data yang kita miliki.

Manusia dituntut untuk kreatif dan juga cerdas dalam menghadapi berbagai isu yang ada saat ini, baik dalam lingkup dunia digital atau dunia nyata yang kita huni sejauh ini. Virus komputer, berita hoax, ataupun penyebaran informasi tertentu ditengah era keterbukaan saat ini rentan dimanipulasi melalui serangkaian kegiatan rekayasa sosial. Manusia-lah yang mampu menangkal berbagai “rekayasa negatif” secara sosial melalui cara berpikir dan mindset dirinya yang dapat mengolah segala hal yang negatif bisa menjadi positif. Jika kita tak mau kehilangan atau kerusakan data digital yang kita miliki, lakukanlah “penjagaan” secara baik dan berkala, jangan hanya menyerahkan begitu saja kepercayaan kita kepada praktek permesinan digital. Sama halnya di dunia nyata, kita bisa menangkal berbagai macam informasi negatif melalui penjagaan diri kita untuk tidak mudah menyebarkannya kepada pihak lain. Cerdaslah dalam memandang rekayasa sosial bukan takut atau malah terbawa arus “rekayasa” karena manusia dianugerahi kecerdasan dan kreatifitas yang justru harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun