Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menggagas Media Berparadigma Prophet-ik, Mungkinkah?

5 Mei 2017   13:45 Diperbarui: 6 Mei 2017   13:47 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah “media prophetik” pernah diungkapkan oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo pada saat acara talkshow di sebuah acara televisi swasta, dimana ia menggagas bagaimana seharusnya sebuah media—terutama yang mainstream—dapat mengemban misi sebagaimana yang ditugaskan Tuhan kepada para nabi: membawa berita yang menggembirakan, berisi nilai-nilai kebajikan, membawa pesan damai dan tidak mengumbar kebencian dan yang lebih penting bernuansa informatif memberikan peningkatan literasi kepada seluruh masyarakat. Ditengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas dan terbuka, media-media yang ada seharusnya dapat menjadi filtering dari berbagai “kabar palsu” atau “kabar bohong” yang semakin marak beredar. Analogi yang tepat bahwa media harus membawa pesan kebaikan sebagaimana tugas kenabian, seharusnya memang menjadi paradigma media dalam menyampaikan sebuah informasi.

Kata “nabi” yang berasal dari kata “naba’a” dalam bahasa Arab mengandung arti “pembawa berita”, artinya seseorang yang memang ditugaskan untuk menyampaikan informasi dan berita kepada orang banyak. Ketika menjelma dalam terminologi agama, nabi kemudian dikhususkan sebagai utusan Tuhan yang ditugaskan untuk menyampaikan berita kegembiraan dan kebaikan kepada umat manusia. Dalam menyampaikan segala informasi kebaikan yang dibawa oleh seorang nabi, tentu saja menghadapi berbagai rintangan dan tantangan termasuk juga hujatan kebencian karena tidak semua orang mudah percaya dengan apa yang diinformasikan oleh para nabi. Salah satu yang dapat membuktikan kebenaran yang dibawa oleh nabi adalah mukjizat, berupa data-data kebenaran dari Tuhan yang mendukung seluruh informasi kebaikan yang disampaikannya. Jika media juga merupakan “pembawa berita”, maka hal ini dapat diasosiasikan kepada nabi yang terus-menerus menyampaikan kabar kebenaran di tengah arus keterbukaan informasi yang penuh tantangan.    

Saya berasumsi, bahwa timbulnya polarisasi yang sangat bertentangan ditengah masyarakat belakangan ini, justru adalah salah satu efek yang dihasilkan dari berbagai pemberitaan di media yang keluar dari aspek prophetik, membuat informasi-informasi yang tidak berimbang yang lebih condong pada unsur “keberpihakan” dengan membuat serangkain “angle-angle” yang terkadang provokatif atau tendensius sehingga mudah menimbulkan reaksi kurang bijak di tengah masyarakat. Barangkali yang paling mudah untuk bisa menjadi semacam media prophetik adalah media mainstream yang benar-benar telah menjadi sumber rujukan utama masyarakat dalam memperoleh atau mendapatkan informasi. Karena berharap pada media selain mainstream berparadigma prophetik, pada akhirnya hanyalah sebatas angan-angan jika tidak dikatakan sebuah utopia. Entah kenapa walaupun pada kenyataannya, media selain mainstream—seperti halnya media sosial, justru seringkali menjadi semacam “sumber otoritatif” bagi masyarakat karena sifatnya yang terbuka dan mudah dalam hal penyebarannya dibanding media mainstream.

Menarik rasanya untuk menggunakan istilah “prophetik” atau “kenabian” yang digandengkan pada media, karena sifatnya yang sama dan misi yang dijalankan juga tidak jauh berdeda. “Prophet” yang dalam kamus Oxford berarti “a person who is choosen by God to give his massage to people” adalah jelas berarti ada pesan-pesan Ketuhanan yang harus disampaikan oleh seorang prophet atau nabi. Jika bentuk adjectiveprophetic” yang kemudian dilekatkan kepada media, berarti ia memiliki fungsi dan sifat yang sama dengan tugas kenabian sebagai pembawa berita dalam hal kebaikan. Bahkan, ajaran Islam menjelaskan dalam kitab suci al-Quran, dimana Nabi Muhammad tidaklah diutus kepada manusia kecuali akan menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). “Rahmat” jelas berimplikasi pada nuansa kedamaian dan kebaikan bukan kekacauan dan keburukan.

Media memiliki cakupan (coverage) yang sangat luas sehingga dalam banyak hal pasti akan mudah mempengaruhi opini dan sekaligus prilaku publik. Itulah kenapa, peran media yang prophetik sebagai pembawa pesan-pesan kebaikan justru sangat dibutuhkan untuk tujuan membangun peradaban masyarakat. Jika sebuah media terlampau mengedepankan ambisi dirinya, baik demi popularitas atau hasrat mendulang berbagai nilai keekonomian jelas sangat kontraproduktif dengan aspek pembangunan masyarakat. Meski harus pula diakui, saking hebatnya peran media dalam membentuk dan mempengaruhi opini publik, banyak juga pihak-pihak tertentu justru memanfaatkan media secara tidak patut, seperti pembunuhan karakter (character assassination), menebar kebencian atau bahkan membuat kebohongan informasi publik. Akan lain halnya ketika media yang berangkat dari paradigma prophetik yang selalu menyuguhkan beragam informasi dengan muatan kebajikan atau kedamaian yang pada akhirnya justru akan berdampak secara baik terhadap opini dan prilaku masyarakat.

Namun demikian, rasa-rasanya gagasan soal media berparadigma prophetik seharusnya juga didukung oleh pelbagai elemen masyarakat yang mau mendasarkan sumber opininya pada media-media mainstream yang sejauh ini telah dikenal luas oleh publik. Masyarakat harus diyakinkan bahwa media mainstream adalah “nabi-nabi” penebar berita kebaikan yang tentunya seluruh informasi yang disuguhkan kepada publik memuat data-data kebenaran layaknya mukjizat yang dibuktikan kebenarannya oleh para nabi. Sikap untuk tidak terburu-buru mempercayai sumber informasi dari media non-mainstreamdengan melakukan crosscheck soal kebenaran data-datanya, termasuk sikap bijak masyarakat dalam menyokong media berparadigma prophetik.

Walaupun sejauh ini, kenyataan yang berkembang dalam masyarakat adalah terkadang media mainstream kurang begitu laku dibanding misalnya, akses yang begitu mudah masyarakat mendapatkan informasi dari beragam rujukan yang berasal dari media sosial. Sumber-sumber rujukan yang viral di media sosial sebagai sebuah bentuk informasi yang utuh, terkadang berasal dari rujukan yang absurd sehingga sulit dipertanggungjawabkan nilai-nilai kebenarannya. Kesadaran masyarakat terhadap  sumber informasi yang mengandung nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, terkadang telah terkontaminasi oleh maraknya pemberitaan di media sosial yang lebih luas dan lebih massif sehingga mampu  menjungkirbalikkan fakta dan keberadaan media mainstream itu sendiri. Membangun kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream dengan paradigma prophetik yang melekat didalamnya justru sangat dibutuhkan saat ini. Media mainstream memang seharusnya mampu menjadi “penjernih” ditengah euforia media sosial yang terlampau melewati batas, melalui suguhan-suguhan informasi yang berbobot dan memiliki muatan kebajikan, kedamaian dan tentu saja kegembiraan dan mampu menyadarkan banyak orang untuk lebih sadar pada literasi media.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun