Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mungkinkah Menggagas Perdamaian & Menangkal Pemaksa Kehendak di Negeri Ini?

2 Mei 2017   12:03 Diperbarui: 3 Mei 2017   19:38 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan Indonesia diramaikan oleh beragam isu yang mengangkat soal-soal agama yang secara terus menerus diartikulasikan secara bertentangan dengan negara, demokrasi dan juga toleransi. Narasi soal sosial-politik seakan tak pernah sepi dari “pertarungan” antara kelompok agamis disatu sisi dan nasionalisme-liberalis disisi lainnya. Sepertinya sulit dicarikan titik temu antara keduanya, karena masing-masing merepresentasikan sebagai kelompok “pemaksa kehendak” yang selalu berparadigma “hitam-putih” dalam memandang dan mengartikulasikan berbagai macam hal. Menjadi bagian dari kelompok yang berparadigma “tunggal” justru semakin menyulitkan terwujudnya sebuah perdamaian, bahkan gagasan perdamaian-pun serasa dianggap menjadi hal yang tidak perlu dan hanya membuang-buang waktu dan energi.

Richard Falk, salah seorang pelopor studi dan penelitian perdamaian, pernah berujar bahwa spritually engaged politics merupakan suatu keniscayaan. Falk bahkan secara tidak langsung mempromosikan gagasan tersebut karena melihat potensi fungsi dan peran spiritualitas dalam menghadirkan kehidupan dunia yang ramah, damai dan terbebaskan dari segala macam hal yang bersifat destruktif. Jika disatu sisi ada sekelompok agama yang menuntut perlunya spiritualisme yang mewujud dalam sikap moralitas politik dalam bingkai besar kebangsaan dan kenegaraan, jangan kemudian terburu-buru dituduh sebagai kelompok yang akan membangkitkan “radikalisme agama”. Pun disisi lainnya, ketika nasionalisme dan liberalisme kemudian muncul sebagai counter atas tuntutan yang tidak perlu soal spiritualisme agama yang masuk dalam lingkup sosial-politik, tidak pula dianggap sebagai kelompok “anti-agama” yang belakangan bahkan dituduh sebagai kelompok “komunis” yang alergi pada isu-isu keagamaan yang serba formalistik.

Secara garis besar, kemungkinan munculnya ketegangan diantara kelompok masyarakat belakangan ini adalah representasi dari benturan paradigma yang monolitik, dimana terdapat salah satu kelompok yang beranggapan bahwa agama (Islam) dan politik merupakan dua hal yang tak mungkin dipisahkan dan disatu sisi ada sebagian orang yang menganggap agama tidak ada sangkutpaut apapun dengan politik. Celakanya, ketika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa agama dan politik merupakan satu kesatuan, lantas kita semua melompat pada satu kesimpulan bahwa ia tengah mempromosikan gagasan mengenai teokrasi atau keharusan kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada dua sumber utama Islam—al-Quran dan sunnah. Padahal, secara substansial—bukan legal-formal—antara sesuatu hal yang spiritual dan non-spiritual keduanya jelas saling berkelindan dan mempengaruhi.

Dalam banyak hal, saya sepakat dengan argumentasi Richard Falk yang tidak menihilisasi spiritualitas keagamaan dalam memaknai kehidupan sosial-politik. Hanya saja, bahwa ketika kemudian terdapat “pemakasaan kehendak” dari kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan sebuah negara teokrasi melalui seperangkat ajaran-ajaran agama yang legal-formal sembari bertolak dari anggapan klaim kebenaran (claim af truth) haruslah kita tolak secara tegas. Penolakan tidak saja berdasar pada kondisi semakin terkoyaknya nilai persatuan dan kesatuan, akibat bentuk “klaim kebenaran” yang kadang-kadang memiliki implikasi teologis—seperti teokrasi versus sekular; santri versus abangan; dan lainnya, tetapi juga keinginan mendirikan negara teokrasi hanyalah sebuah angan-angan yang sia-sia jika tidak ingin disebut sebagai utopia. Namun demikian, terkadang kelompok nasionalis-sekular terlalu dini menyimpulkan bahwa mereka adalah “ancaman” bagi NKRI padahal disatu sisi, mereka juga sebenarnya terkungkung dalam gerakan kaum “pemaksa kehendak”.

Menggagas sebuah perdamaian memang tak bisa dilepaskan dari situasi yang multi-paradigma dalam memandang segala macam “perbedaan” yang terjadi dalam realitas sosial, terlebih dalam sebuah realitas yang multi-kultural dan majemuk, seperti di Indonesia. Perdamaian juga sulit terwujudkan dalam realitas seperti ini jika kemudian “dipaksakan” berasal “dari atas” dalam bentuk konvergensi politis seperti yang telah terjadi pada sejarah perdebatan sidang Dewan Konstituante pada era 1950-an. Kenyataan yang terjadi adalah tidak pernah ditemukan adanya “jalan tengah” dalam sebuah kompromi atau negosiasi yang dibangun oleh para elit bangsa kita dalam merumuskan NKRI secara utuh, sehingga hal ini dapat memicu kembali stigma sejarah soal keterkaitan antara agama (Islam) dan politik atau perihal agama dan negara.

Hal inilah yang kemudian, ketika pilar-pilar pendukung rezim otoriter Orde Baru kemudian diruntuhkan, semangat mendiskusikan kembali soal agama dan politik dalam kaitannya dalam sebuah bangunan negara-bangsa justru menemukan momentumnya. Gagasan-gagasan yang pernah berkembang di era 1950-an dan pernah ditabukan oleh rezim Orde Baru justru kini muncul kembali—baik pemikiran negara teokrasi ataupun negara sekular—bahkan dalam sebuah ekspresi yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya. Munculnya kalangan reformis, baik yang berlatar belakang formalisme keagamaan ataupun kalangan nasionalis yang berlatar belakang sekular saling berebut pengaruh bahkan pada tahap tertentu justru saling “berbenturan” sehingga semakin sulit mendamaikan diantara kedua kubu ekstrim tersebut. Sejauh ini, masing-masing pihak seakan mengklaim atas kebenarannya sendiri-sendiri dan tak bisa berkompromi dalam membangun kerangka negara yang demokratis.

Dalam situasi seperti ini, saya justru teringat akan tawaran jalan tengah yang pernah digagas Munawwir Syadzali soal Indonesia adalah “bukan negara teokratis dan bukan pula negara sekular” yang justru tanpa disadari memiliki pendukung yang juga semakin banyak dan berhasil mendominasi diantara kedua kutub pemikiran yang dianggap ekstrim dan bertentangan. Munculnya “riak-riak” kecil dari kelompok ekstrimisme agama yang kemudian mulai menggulirkan gagasan negara teokrasi dengan berbagai variannya sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan dalam negara yang demokratis. Tugas para pemangku kepentingan yang bersinergi dengan kalangan agamawan harus tetap mampu menjangkau mereka dalam bentuk dialog interaktif yang dinamis dan humanis tanpa harus bersikap “represif” dalam memperlakukan mereka. Selalu ada “kompromi” dalam situasi yang sesulit apapun tanpa harus menjadi bagian dari kelompok “pemaksa kehendak”.

Sejalan dengan pemikiran KH Abdurrahman Wahid, saya kira, dimana beliau selalu berharap bahwa gagasan atau pemikiran tentang agama (Islam) dan politik atau negara haruslah bersifat artikulatif bukan sekedar klaim-klaim seperti yang terjadi selama ini. Artikulasi gagasan pemikiran mengenai hal ini tidaklah harus sesuatu yang baru (novel) tetapi bagaimana gagasan-gagasan ini dapat mereinterpretasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan politik secara substansif-kritis, bukan klaim kebenaran sendiri yang melahirkan sikap “pemaksaan kehendak” yang sejauh ini dituduhkan oleh banyak kelompok nasionalis-sekuler. Saya termasuk pribadi yang menolak setiap formalisme agama yang hanya menjadi klaim-klaim tertentu apalagi dibenturkan dengan nasionalisme atau Pancasila. Namun penolakan terhadap kelompok ini tetap harus mengedepankan cara-cara demokratis yang persuasif sehingga tanpa menimbulkan gejolak sinisme dalam masyarakat. Demokrasi menuntut proses penyelesaian masalah secara humanistik, tanpa kekerasan dan paksaan jika memang semua pihak ingin menciptakan kedamaian.    

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun