Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

NU "Politik" dalam Pusaran Konflik

28 April 2017   10:12 Diperbarui: 28 April 2017   10:19 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sebuah tulisan KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) di Harian Republika, Rabu (26/4) tentang Nahdlatul Ulama (NU) dalam beragam masa kepemimpinannya seakan menggambarkan sebuah kontras yang jelas bahwa NU sebagai ormas Islam tak bisa melepaskan diri dari wacana praksis politik. Ormas Islam yang sudah ada sejak 1926 ini memang tak pernah lepas dari fenomena konflik, baik secara eksternal terlebih dalam suasana internal. 

Konflik terutama akibat dari persinggungan yang terlalu dekat yang dilakukan ormas Islam tradisionalis ini dengan politik praktis, dimana para pemimpinnya justru memiliki “kepentingan” ketika mereka sukses berada pada tingkat elit di tubuh organisasi NU. Persinggungan NU dengan politik memang sudah dirasakan bahkan ketika NU melepaskan diri dari Masyumi dan membentuk partai sendiri pada tahun 1950-an walaupun keluarnya NU dari Masyumi ditentang oleh ketua umumnya sendiri, KH A. Wahid Hasyim.

Beberapa masa kepemimpinan dalam tubuh NU sejak KH Idham Chalid hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU tak pernah lepas dari nuansa konflik internal akibat hasratnya yang terlampau besar pada kekuasaan politik. Keberadaan para politisi yang menjadi elit NU secara struktural justru seringkali membawa conflict of interest sehingga sulit membayangkan bahwa NU akan benar-benar terbebas dari balutan konflik. Keinginan NU untuk kembali ke Khittah 1926 yang digagas oleh para ulama akibat tumbuh suburnya berbagai konflik kepentingan yang dibawa para elit-nya, tidak serta merta menjadikan NU terbebas dari politik praktis. Di masa awal-awal kepemimpinan Gus Dur, memang NU dalam artian yang sesungguhnya benar-benar menjalankan Khittah, walaupun di penghujung kepemimpinannya, Gus Dur malah membawa NU kembali ke dunia politik praktis dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Masa-masa NU dibawah Gus Dur mungkin bisa disebut sebagai masa dimana NU berhasil melewati batas kritisnya akibat “konflik politik” internal berkepanjangan walaupun disisi lain, NU tampak menjadikan sekumpulan anak muda progresif yang seringkali melawan arus dan melompat terlampau jauh meninggalkan sisi tradisionalismenya. Gus Dur dalam hal ini sukses membawa NU menjadi ormas Islam yang “kritis” dalam banyak hal, termasuk melakukan kritik secara terbuka melawan kekuasaan. 

Banyak kalangan muda NU yang kemudian terpengaruh oleh cara berpikir Gus Dur yang tampak “bebas” sehingga tak aneh jika kemudian muncul para pemikir liberal yang notabene berafiliasi kepada NU. Konflik baru kemudian lahir sebagai reaksi atas liberalisme pemikiran melawan tradisionalisme yang sejauh ini masih dipegang kuat oleh para ulama NU. Konflik anak muda dan kiai NU kemudian menjadi babak baru “konflik internal” NU di masa kepemimpinan Gus Dur dan bahkan masa-masa setelahnya.

“Gusdurian” justru menjelma sebagai kelompok anak muda NU yang berhaluan “liberal” mengikuti mentornya yang selalu mengangkat isu-isu utama seperti pluralisme, demokrasi atau liberalisme. Reaksi Gus Dur dan kelompok anak muda NU yang giat mengkampanyekan pluralisme, kemudian pernah membawa keinginannya untuk mengajukan “judicial review” atas UU tentang penistaan agama ke MK walaupun keinginan mereka pada akhirnya kandas karena mendapat penolakan MK. 

Padahal, sebagaian besar tokoh NU yang terdiri dari para ulama dan kiai justru menganggap masih perlu UU tersebut tetap berlaku. Mungkin ada benarnya, seandainya UU tentang penistaan agama dibatalkan oleh MK yang terjadi justru akan terjadi saling “menista” antaragama akibat perbedaan atau cara pandang yang berlainan dalam memahami realitas keberagamaan masing-masing. Mungkin sulit dibayangkan ketika UU penistaan agama ini dihilangkan, akan semakin banyak kelompok “sempalan” agama yang “dibiarkan” menistakan agamanya sendiri, bahkan secara bebas menistakan agama lain tanpa beban karena ketiadaan aturan yang membatasi soal tersebut.

Bagi saya, kepergian KH Hasyim Muzadi yang sukses membawa NU keluar dari berbagai macam krisis di tubuh internal NU, termasuk menjauhkan jarak NU dengan beragam anasir politik yang terus-menerus menggodanya, menjadikan alasan utama NU saat ini kembali dirundung konflik terutama pada tataran elit-nya. Bagaimana tidak, sosok yang diharapkan berbagai pihak dapat menjadi “penengah” antara dua kutub besar di tubuh NU—antara tradisionalis dan reformis—yang tampak berseteru, justru sangat sulit dicarikan penggantinya. 

Dibawah kepemimpinan KH Said Aqil Siradj, NU tampak memperlihatkan konflik secara terbuka, tidak hanya dengan kalangan ulama tradisionalis secara internal, bahkan konflik dengan kalangan muslim lainnya yang berlindung dibawah panji kelompok puritanisme-radikal. Dulu, KH Hasyim Muzadi sanggup membawa NU berdiri pada dua kaki sekaligus: sebagai kalangan tradisionalis yang menjaga dan merawat tradisi yang dikembangkan para ulama sekaligus mampu merangkul pihak lain meskipun dianggap sebagai kalangan “garis keras”.

Saya membaca kegelisahan Gus Solah yang teramat mendalam yang dituangkan dalam tulisannya di Republika, terutama konflik terbuka yang mendera NU akibat kontestasi politik di Jakarta. Dukungan sebagian elit NU kepada salah satu cagub di Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama justru telah mempertajam konflik di internal elitis NU. Kita tentu sadar, bagaimana KH Ma’ruf Amin sebagai Katib Aam justru menolak representasi kepemimpinan non-muslim yang berbeda terbalik dengan Rais AamPBNU yang “membolehkan” memilih pemimpin non-muslim. NU dalam hal ini, saya kira, semakin jauh masuk dalam kubangan konflik akibat aksi dukung-mendukung yang terkesan “membabi-buta” dan lupa akan keberadaan dirinya sebagai pengusung prinsip Islam Wasathiyah.

Bagi saya yang warga NU walaupun hanya secara kultural, selalu mengingat dan meneladani bagaimana dulu KH Hasyim Asy’ari sang pendiri NU selalu terdepan dalam soal ishlah yang disebabkan oleh banyak perbedaan furu’ dikalangan ulama. Pilihan politik adalah persoalan furu’iyyah yang seharusnya tidak dipertentangkan begitu tajam apalagi sampai membentuk pribadi-pribadi yang jatuh menjadi kelompok ta’asshub (fanatik) yang buta. Kiai Hasyim pernah menulis dalam sebuah majalah terbitan tahun 1959 dalam bahasa Arab yang berjudul “Al-Mawaa’izh” (ajaran yang keras): “Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashub kepada setengah madzhab atau setengah qoul! Tinggalkanlah ta’asshub-mu…dan belalah agama Islam, berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina al-Quran dan sifat-sifat Tuhan…”. Disinilah saya kira, NU nampaknya harus meneladani sikap para pendirinya yang enggan berada dalam pusaran konflik, terlebih karena perbedaan pandangan keagamaan.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun