Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Jakarta, Demokrasi dan Runtuhnya "Premanisme Politik"

20 April 2017   12:49 Diperbarui: 14 Oktober 2017   05:38 3703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingar-bingar Pilkada Jakarta yang begitu membahana bahkan jauh sebelum kontestasi politik ini digelar di Ibu Kota, kali ini terasa sepi, tidak ada lagi hujatan, cacian atau ungkapan-ungkapan sarkastik yang mengundang “SARA”. Hampir di sebagian besar lini media—terutama media sosial—jutaan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dari seluruh warga Jakarta, bahkan seluruh rakyat Indonesia mengalir deras seakan tak henti-hentinya para pemilih di Jakarta mengungkapkan kegembiraannya atas kemenangan pasangan Anies-Sandi versi hitung cepat yang dilansir oleh beragam lembaga survey. 

Pilihan “bersyukur” adalah ungkapan kesederhanaan yang sarat nilai-nilai humanistik, karena bagaimanapun, proses-proses politik yang dibangun sekuat dan sehebat apapun oleh daya manusia, tentu sangat memiliki keterbatasan. Bersyukur berarti melibatkan Tuhan dalam setiap proses apapun yang dijalankan manusia dengan kesadaran bahwa nalar jelas memiliki keterbatasan dan daya jelajah fisik pasti selalu ada kelemahan.

Sujud syukur mungkin salah satu ekspresi terdalam seorang muslim atas kebahagiaan yang baru saja diperolehnya sebagaimana yang diekspresikan secara spontan oleh salah satu cagub DKI Jakarta, Anies Baswedan bersama umat muslim lainnya di Masjid Istiqlal, Jakarta. Ritual sujud syukur ini jelas, sebagai conter atas kesombongan, kemasygulan dan ketamakan yang selama proses-proses politik secara artfisial justru dipenuhi ambisi, emosi serta energi kepongahan yang sangat besar dan mungkin tak terkendali. 

Ritualitas yang dijalankan melalui sujud sekaligus juga penolakan terhadap luapan kegembiraan yang berlebihan melalui hura-hura atau pesta pora yang jauh dari makna  kesederhanaan dan kebersahajaan. Saya kira, ekspresi ini tidak sekedar ungkapan akan “kemenangan” atas seluruh potensi dan energi politik yang disemaikan dalam sebuah kontestasi, tetapi menunjukkan kerendahan hati sekaligus yakin atas skenario sang Maha Agung yang tak mungkin pernah luput.

Proses demokrasi yang semakin menunjukkan kelasnya dalam setiap perhelatan kontestasi politik, khususnya pada gelaran Pilkada Jakarta, semakin memperlihatkan bahwa publik lebih menginginkan proses-proses kontestasi yang dijalankan secara damai, jujur, adil dan tanpa paksaan. Kekuatan apapun yang berupaya mendobrak palang demokrasi, baik itu intimidasi, kecurangan, pemaksaan, rekayasa dengan sokongan “premanisme politik” akan sulit ditembus. 

Demarkasi antara demokrasi dan “premanisme politik” justru terletak pada peningkatan aspirasi politik publik yang mendukung keterbukaan, kejujuran, kedamaian dan juga harapan terhadap seluruh proses kontestasi politik yang harus kompetitif. Semua pada akhirnya akan disadarkan, bahwa inilah proses pembentukan masyarakat madani yang lebih bermartabat, mengacu pada nilai-nilai demokrasi politik dan kemanusiaan, tanpa harus ada yang merasa “menang” dan merasa “kalah”.

Bagi saya, kemenangan yang merujuk pada hasil quick count atas pasangan Anies-Sandi di Pilkada Jakarta tidaklah harus dipandang sebagai euforia bagi kelompok atau afiliasi politik tertentu, sehingga muncul kekhawatiran beberapa pihak yang berlebihan, bahwa “premanisme politik” dengan “baju agama” justru akan semakin dilegalkan. 

Proses demokratisasi politik yang tercermin dalam perhelatan Pilkada Jakarta yang baru saja selesai digelar secara damai justru menguatkan indikasi bahwa publik Jakarta menginginkan perubahan yang lebih baik dengan melawan balik kekuatan-kekuatan devil’s forceyang bersekutu, anti-demokrasi, anti-kebhinekaan dan seluruh wujud premanisme yang merongrong demokrasi itu sendiri. Kita tentu berharap, bahwa apapun pilihan publik Jakarta adalah harapan kepada Ibu Kota yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Ekspektasi yang begitu besar publik Jakarta terhadap pemimpin baru yang lebih baik, justru tercermin dari proses pemungutan suara yang dijalankan secara demokratis. Dukungan kepada pasangan Anies-Sandi oleh publik Jakarta bukanlah semata-mata karena adanya hubungan ideologis yang dinilai menguat belakangan tetapi karena keberpihakan mereka kepada kejujuran dan keadilan. 

Terlalu gegabah rasanya jika menilai bahwa demokrasi yang sedang berjalan ini hanyalah sekedar bentuk pseudo-demokrasi yang didasari oleh mengentalnya nuansa SARA, keberpihakan penguasa atau bentuk rekayasa-rekayasa politik yang kurang jujur. Isu SARA yang lerlihat mengental di masa  Pilkada Jakarta terlebih dengan tuduhan menyakitkan soal “premanisme agama” semestinya mudah sekali ditepis melalui seluruh proses politik yang dinilai berbagai pihak sebagai bentuk nyata dari sebuah gambaran demokratisasi. Lagi pula, publik Jakarta nampaknya ingin sekali mewujudkan kedamaian dan ketentraman ditengah gempuran isu SARA yang mengganggu stabilitas nasional.

Demokrasi yang mengiringi proses Pilkada Jakarta seakan menunjukkan sebuah “seleksi alam” dimana “yang kuat” dalam banyak hal, baik itu modal sosial-politik dan pengaruh akan terpilih secara selektif dan mengalahkan “yang lemah” karena dinilai mempunyai banyak kekurangan. Masyarakat akan menimbang setiap untung-rugi dalam menyeleksi calon pemimpinnya, bahkan dituntut secara cepat dan singkat untuk memutuskannya dalam  bilik-bilik suara. 

Ibarat membeli barang, masyarakat akan cenderung menyeleksi sesuatu “yang kuat” dengan tingkat usability-nya bisa berjangka panjang dan juga tahan lama dibanding memilih “yang lemah” dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Pilhan masyarakat terhadap “yang kuat” justru seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi “yang lemah” agar selalu meningkatkan kualitas barangnya agar dapat “dipilih” secara selektif kedepan oleh masyarakat. Disinilah saya kira, sebuah proses demokratisasi yang sehat, dimana masyarakat diberi keluasan sebebas-bebasnya untuk memilih sesuai kriteria yang mereka inginkan.

Dalam kajian demokrasi politik, baik pihak “yang menang” maupun “yang kalah” tetap bersinergi membangun kekuatan politik dalam tema besar kerakyatan. “Yang kalah” bisa menjadi bagian dari oposisi yang akan menjadi pihak “penyeimbang” agar “yang menang” tidak selalu mendominasi. Sistem demokrasi memandang akan pentingnya pihak oposisi yang dapat terus mengkritisi setiap kebijakan publik yang digulirkan pihak “yang menang” setelah menjadi penguasa. 

Tanpa oposisi, negara justru akan jatuh dalam gaya otoritarianisme yang seringkali membuat tekanan-tekanan terhadap kebebasan berpolitik masyarakat. Disinilah saya kira, perlunya secara intensif melakukan komunikasi baik pihak “yang menang” dan “yang kalah” sehingga tidak ada yang terlampau mendominasi tetapi justru bersinergi memperjuangkan hak-hak rakyat agar selalu terpenuhi.

Saya beranggapan, walaupun media-media internasional melansir bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah memberi panggung bagi muslim konservatif “garis keras” yang dinilai pihak Barat sebagai kemenangan kelompok radikalisme agama, bagi saya tidak seluruhnya benar. Muslim Indonesia tidak bisa disamakan dengan realitas muslim di Timur Tengah yang penguatan konservatisme-nya justru melahirkan gerakan-gerakan radikalisme agama tanpa kompromi dan dikenal intoleran. 

Membaca Indonesia dari sisi komunitas beragamanya harus didasarkan pada fakta sejarah bahwa republik ini berdiri justru karena menolak menjadikan “agama” sebagai dasar negara dengan beragam perluasannya. Disamping itu, keberadaan beragam ormas Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, haruslah dibaca sebagai mayoritas muslim Indonesia yang tidak akan berpihak pada kelompok formalisme agama, terlebih kaum puritan yang radikal. Tetaplah menjadi Indonesia yang damai, walaupun beragam kelompok kepentingan terwujud di dalamnya.

Wallahu a'lam bisshowab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun