Ibarat membeli barang, masyarakat akan cenderung menyeleksi sesuatu “yang kuat” dengan tingkat usability-nya bisa berjangka panjang dan juga tahan lama dibanding memilih “yang lemah” dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Pilhan masyarakat terhadap “yang kuat” justru seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi “yang lemah” agar selalu meningkatkan kualitas barangnya agar dapat “dipilih” secara selektif kedepan oleh masyarakat. Disinilah saya kira, sebuah proses demokratisasi yang sehat, dimana masyarakat diberi keluasan sebebas-bebasnya untuk memilih sesuai kriteria yang mereka inginkan.
Dalam kajian demokrasi politik, baik pihak “yang menang” maupun “yang kalah” tetap bersinergi membangun kekuatan politik dalam tema besar kerakyatan. “Yang kalah” bisa menjadi bagian dari oposisi yang akan menjadi pihak “penyeimbang” agar “yang menang” tidak selalu mendominasi. Sistem demokrasi memandang akan pentingnya pihak oposisi yang dapat terus mengkritisi setiap kebijakan publik yang digulirkan pihak “yang menang” setelah menjadi penguasa.
Tanpa oposisi, negara justru akan jatuh dalam gaya otoritarianisme yang seringkali membuat tekanan-tekanan terhadap kebebasan berpolitik masyarakat. Disinilah saya kira, perlunya secara intensif melakukan komunikasi baik pihak “yang menang” dan “yang kalah” sehingga tidak ada yang terlampau mendominasi tetapi justru bersinergi memperjuangkan hak-hak rakyat agar selalu terpenuhi.
Saya beranggapan, walaupun media-media internasional melansir bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah memberi panggung bagi muslim konservatif “garis keras” yang dinilai pihak Barat sebagai kemenangan kelompok radikalisme agama, bagi saya tidak seluruhnya benar. Muslim Indonesia tidak bisa disamakan dengan realitas muslim di Timur Tengah yang penguatan konservatisme-nya justru melahirkan gerakan-gerakan radikalisme agama tanpa kompromi dan dikenal intoleran.
Membaca Indonesia dari sisi komunitas beragamanya harus didasarkan pada fakta sejarah bahwa republik ini berdiri justru karena menolak menjadikan “agama” sebagai dasar negara dengan beragam perluasannya. Disamping itu, keberadaan beragam ormas Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, haruslah dibaca sebagai mayoritas muslim Indonesia yang tidak akan berpihak pada kelompok formalisme agama, terlebih kaum puritan yang radikal. Tetaplah menjadi Indonesia yang damai, walaupun beragam kelompok kepentingan terwujud di dalamnya.
Wallahu a'lam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H