Sebuah jargon populer menyebut bahwa “sebaik-baik urusan atau persoalan adalah yang berada di tengah (khair al-umur awsatuha). Prinsip “jalan tengah” ini seringkali diinisiasi oleh kalangan muslim moderat walaupun seringkali dalam kenyataan sehari-hari, mereka cenderung mencari jalan sendiri ditengah pelbagai tawaran solusi yang ada. Konsep “jalan tengah” atau dalam terminologi kaum muslim moderat disebut “tawassuth” justru dapat mendamaikan dua kutub pemikiran yang saling berseberangan, walaupun memang sangat sulit direalisasikan. Almarhum KH Abdurrahman Wahid mendeskripsikan konsep tawassuth dengan mengambil logika Arnold Jacob Toynbee dalam karya momentumnya Study of History, bahwa mekanisme sejarah dalam peradaban manusia dapat disederhanakan dalam dua hal, yaitu tantangan (challenges) dan jawaban (responses).
Jika tantangan yang dihadapi terlalu berat, maka pada umumnya manusia hanya sanggup bertahan hidup saja tanpa mampu memaknai lebih jauh atau memberikan jawaban yang memadai terhadap seluruh aspek kehidupannya. Berbeda halnya ketika tantangan justru dapat dihadapi dengan berbagai kreatifitas yang dapat memberikan respon atas pelbagai tantangan yang dihadapinya, ia bisa mencipta dan merubah sejarah sebagai bentuk respon perkembangan zaman.
Sejauh ini, konstelasi politik di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh berbagai diskursus yang mengimplementasikan sebuah tantangan yang kemudian direspon secara dinamis oleh beragam artikulasi pemikiran yang seringkali berseberangan, dimana sulit sekali kedua kutub ini dipertemukan. Munculnya gerakan “politisasi agama” atau apapun yang dilekatkan dengan “politik” seringkali dipandang sebagai sesuatu yang negatif sehingga butuh respon yang cepat dan beramai-ramai membuat semacam “kesepakatan” bahwa agama harus steril dari anasir-anasir politik keduaniaan.
Disisi lain, bahwa agama harus dapat memberikan respon atas tantangan zaman, terlebih pesan-pesan moral yang dibawa oleh ajaran agama akan mampu memberikan amunisi bagi bangunan struktur negara-bangsa yang lebih baik. Hanya saja, ketika agama hanya sebatas menjadi “barang dagangan” yang diperjualbelikan demi meraih kekuasaan inilah saya kira yang perlu diluruskan. Tanpa harus mendeligitimasi agama-pun, sesungguhnya bangsa ini sudah berpadu dalam sebuah ideologi bernuansa religius, yaitu Pancasila.
Menjadi bagian dari kelompok “tawassuth” saya kira mampu mendudukkan secara berimbang dengan sedikit lebih jernih memandang persoalan tanpa ada pretensi keberpihakan dalam memaknai lebih luas persinggungan politik dan agama. Walaupun kenyataannya ini sulit, namun saya kira, berada diantara dua kutub pemikiran yang saling bertentangan adalah solusi yang terbaik sebagaimana yang diperintahkan agama. Nalar tentunya tidak berdiri pada ruang kosong, namun selalu terkait dengan berbagai macam hal yang melingkupinya, sehingga mendorong seseorang untuk selalu bersikap adil dalam segala hal.
Seorang intelektual, saya kira, mampu berpijak dan berpihak pada nilai-nilai yang agung dan luhur sehingga mampu menghilangkan makna “keberpihakan” berdiri teguh secara ajeg menyuarakan kebenaran dan kemulyaan. Tetap kritis dalam banyak hal akan membuat dinamika pemikiran ini tetap hidup dan mewarnai proses perjalanan sejarah, selama masing-masing pihak tidak terjebak pada klaim “pemaksaan kehendak” tetapi mampu tetap menghargai setiap perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H