Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Partai Ka'bah" dan Hasrat Politik yang Membuncah

30 Maret 2017   14:06 Diperbarui: 31 Maret 2017   06:00 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai politik (parpol) yang dikenal sebagai partai yang masih menempatkan Islam sebagai asas partainya lengkap dengan lambang partai berupa “Ka’bah” belakangan banyak dikritisi berbagai pihak. Dari mulai kepengurusannya yang “double” antara kubu Muktamar Surabaya yang dikomandoi Romahurmuziy dan kubu Muktamar Jakarta yang dinahkodai Djan Farid, sampai kemudian perseteruannya di ranah hukum soal klaim legalitas partai dan belakangan perbedaan dukungan secara resmi ketika Pilkada Jakarta putaran pertama. 

Rangkaian konflik seakan dirundung partai berlambang Ka’bah ini tanpa pernah mendapatkan titik-temunya. Mungkin “titik-temu” kedua kubu partai berasaskan Islam ini dapat kita lihat di Pilkada Jakarta putaran ke dua, dimana kubu Romahurmuziy maupun Djan Farid, bersatu mendukung calon gubernur pejawat pasangan Ahok-Djarot yang didukung empat parpol koalisi pemerintah, Golkar, PDI-P, Nasdem dan Hanura. Dukungan resmi “partai Ka’bah” ini justru melengkapi unsur parpol koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK yang terus mengawal pemerintahan hingga tahun 2019 mendatang.

Tidak ada yang aneh sebenarnya dengan PPP yang walaupun selalu dirundung konflik internal, tetapi masing-masing kubu berkonflik tetap berada pada barisan parpol yang setia terhadap koalisi pendukung pemerintah. Dengan bergabung dan mendukung koalisi, PPP justru diuntungkan secara politik, karena mendapatkan jatah satu kursi kementrian di pemerintahan Jokowi-JK. Mendapatkan kepercayaan yang besar dari koalisi pemerintahan justru akan lebih banyak menguntungkan terutama kemudahan dalam hal akses politik sekaligus mempertahankannya adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga 

jika tak ingin hubungan koalisi antarparpol pendukung justru tercederai dan mengganggu kesinambungan kedudukan politiknya di pemerintahan pada akhirnya. Namun yang pasti, hasrat politik untuk berada dalam pemerintahan dengan tetap mengincar kursi kementrian agama, nampaknya menjadi kuasi-abadi yang harus diperjuangkan sepanjang karir politik PPP karena “kursi” inilah nampaknya yang paling “sreg” untuk parpol berlambang Ka’bah ini.

Seakan galau ditinggalkan para anggota koalisinya di Pilkada DKI Jakarta, PPP kubu Romahurmuziy yang pada putaran pertama berseberangan dengan teman-temannya di koalisi, maka pada putaran kedua Pilkada Jakarta ini, partai yang masih menyandarkan asas Islam sebagai kredo ideologi politiknya bergabung kembali dengan parpol koalisi pendukung pemerintah. 

Dukungan resmi PPP kemudian dilabuhkan kepada pasangan calon pejawat Ahok-Djarot meski sempat diurungkan beberapa waktu karena keputusan mendukung Ahok-Djarot tampaknya dilakukan dengan berat hati. Langkah politik PPP dalam Pilkada Jakarta putaran kedua dengan mendukung Ahok-Djarot seakan menunjukkan hasrat politik partai berlambang Ka’bah ini membuncah, menggeser seluruh atribusi ideologi partai dan mengalahkan suara arus bawah yang masih setia memegang teguh ideologi politiknya. Saya khawatir, bahwa langkah politik PPP ini akan menjadi blunder karena lebih mementingkan suara elite partai daripada memelihara suara akar rumput.

Walaupun demikian, saya kira dalam berpolitik adalah hal yang sangat wajar ketika pertimbangan mempertahankan kekuasaan justru lebih didahulukan ketimbang menyerap aspirasi rakyat. Hal ini bisa terjadi di hampir seluruh kehidupan partai politik. Partai politik hanya sebatas dijadikan “kendaraan” untuk mencapai kekuasaan dan suara rakyat sepertinya dimanfaatkan sebatas  keuntungan-keuntungan politik yang akan diraih jajaran elit ditingkat atasnya.

 Inilah saya kira, yang kebanyakan menjadi logika yang seringkali keliru ketika parpol hanya dimanfaatkan sebagai alat politik, bukan sebagai tujuan politik jangka panjang, menampung aspirasi dan menyelesaikan seluruh persoalan yang dikeluhkan oleh masyarakat. Tujuan utama dan termulya dari didirikannya partai politik adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan ikut terlibat secara langsung dalam setiap pengambilan kebijakan bersama-sama dengan pemerintahan.

Mengikuti sepak terjang PPP saya kira selalu menarik dibicarakan, karena paling tidak, PPP merupakan parpol yang masih mengusung politik aliran yang berbeda dengan parpol-parpol lainnya yang sudah lebih dahulu memodernisasi lingkungan internal politiknya. Sejak didirikannya pada tahun 1973, parpol ini kerap kali mengalami pasang surut terutama soal konflik internal yang menderanya. 

Krisis kepemimpinan PPP bahkan beberapa kali terjadi, sejak parpol ini dipaksa berfusi oleh rezim Orde Baru pada tahun 1973. Bagaimana tidak, seluruh parpol yang berafiliasi Islam dan berbasis masa muslim “dipaksa” bergabung dalam satu wadah politik, sehingga warna “aliran” politik Islam sangat tampak sekali di permukaan. Unsur-unsur politik “aliran” yang tergabung didalamnya, seperti NU, Parmusi, Perti dan PSII tak jarang mengalami “benturan” ideologis yang kemudian memicu konflik internal diantara para elitnya.

Namun yang sangat disayangkan kemudian adalah bahwa realitas para elitnya di tubuh partai Ka’bah ini terkesan saling berebut pengaruh dalam hal kekuasaan politik. Perseteruan kubu Romahurmuziy dan Djan Farid yang saling klaim atas otoritas partai seolah tak pernah menemukan titik temu. PPP justru terlihat “pincang” karena sejatinya tidak berdiri kokoh pada dua kaki, terlebih kemudian pihak penguasa ikut mendulang keuntungan politik dari perseteruan kedua kubu ini. 

Pengesahan kepengurusan hasil Muktamar Surabaya oleh Kemenkumham justru sangat politis dan terkesan terburu-buru dengan memperlihatkan keberpihakan penguasa kepada salah satu kubu. Hal inilah yang kemudian menjadi berlarut-larut konflik internal di tubuh PPP sehingga membentuk partai dengan slogan “Rumah Besar Umat Islam” ini berada pada dualisme kepemimpinan.

Saya kira, titik-temu dua kubu—baik Romahurmuziy dan Djan—saat ini dapat dilihat ketika keduanya sepakat untuk mendukung pasangan Ahok-Djarot di Pilkada Jakarta putaran kedua nanti. Titik-temu ini saya kira, bisa saja menjadi ajang “islah politik” antara keduanya untuk kembali bersama-sama dalam satu kepengurusan, toh keduanya berada secara politik dalam koalisi parpol pendukung pemerintahan. 

Walaupun banyak pihak menilai, bahwa dukungan PPP kepada paslon nomor urut dua ini hanyalah sebagai pemenuhan ambisi politiknya terutama dalam mempertahankan para elit-nya dalam lingkaran kekuasaan politik walaupun harus mengorbankan aspirasi kelompok akar rumput yang berbeda soal pilihan politik dengan para elit-nya. Tak salah jika salah satu pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago berujar, “keputusan PPP mendukung Ahok-Djarot hanya untuk mengakomodasi kepentingan elit partai, bukan keinginan para pemilih tradisional PPP”.

Asumsi saya juga tidak jauh dari itu, bahwa ternyata ideologi sebuah partai politik bukanlah penentu bagi segalanya, sebab yang lebih dibutuhkan saat ini adalah bagaimana parpol berhitung secara cermat soal keuntungan-keuntungan politik yang bersifat ekonomis walaupun sesungguhnya hanya bersifat jangka pendek. 

Pengabaian akan ideologi partai terlebih secara tegas mengatasnamakan agama, justru berdampak negatif terhadap kondisi jangka panjang dan ekses-nya justru akan semakin ditinggalkan oleh pemilihnya yang masih memegang teguh ideologi partai yang berasaskan agama. Para pemilih tradisional yang tersebar di akar rumput yang merasa telah “dipermainkan” oleh para elit parpolnya justru akan semakin kehilangan kepercayaan dan dukungan terhadap parpol yang justru dirasa memiliki kesamaan soal ideologi. Inilah barangkali efek jangkan panjang ketika parpol tidak lagi mementingkan sebuah ideologi politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun