Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menelusuri Makna "Pemisahan Agama dan Politik" dalam Pidato Jokowi

29 Maret 2017   12:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 8352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara mengenai ungkapannya agar agama tidak dicampuradukkan dengan persoalan politik dapat saja menuai tanggapan yang menggelitik berbagai kalangan muslim. 

Terlebih, dalam beberapa media dilansir bahwa Presiden justru menginginkan ada pemisahan secara tegas antara agama dan politik, keduanya tidak boleh disatukan, sehingga bagi sebagian kalangan muslim yang menganggap bahwa agama dan politik adalah dua entitas yang tak dapat dipisahkan justru menjadi persoalan dan wacana baru. Presiden sebagai lambang negara dianggap menginginkan kehidupan yang serba sekularistik melalui penegasaannya soal pemisahan agama dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam wacana besar pemikiran Islam, terdapat dua kubu yang seringkali kontraproduktif dalam memahami secara menyeluruh bagaimana aspek-aspek agama (Islam) dapat mewarnai setiap kehidupan sosial-politik dalam masyarakat. Mereka yang berdiri dalam perspektif legal-formal, berkeyakinan bahwa Islam dan politik atau agama dan negara adalah dua entitas yang bersatu, melekat, tak mungkin dipisahkan satu dan lainnya. 

Paling tidak, dalam bahasa kalangan muslim moderat ia setidak-tidaknya “saling menguatkan” atau “saling mempengaruhi” sehingga konsep Islam sebagai agama dan politik atau negara sebagai bagian dari kehidupan sosial keduanya memiliki keterikatan secara erat dan sulit terpisahkan. Berbeda terbalik dengan sebagian muslim yang berpandangan liberalis-sekuler yang dalam kondisi apapun, agama tetap menempati ajaran yang diyakini bersifat pribadi, individual dan subjektif sehingga tidak bisa masuk secara simultan dalam kehidupan sosial-politik yang bersifat publik. Agama dan politik menurut keyakinan ini jelas terpisah karena keduanya bermain dalam dua wilayah yang berbeda.

Pernyataan Presiden Jokowi di Tapanuli beberapa waktu yang lalu, juga dikomentari oleh Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin dengan menyatakan bahwa seharusnya yang dipisahkan adalah paham-paham agama yang dapat menimbulkan masalah, salah satunya adalah radikalisme beragama. Radikalisme agama dalam pandangan Rais Aam PBNU ini justru akan membahayakan dan merongrong ideologi Pancasila sehingga eksesnya berpengaruh terhadap harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam sisi lain, Kiai Ma’ruf juga tidak mentolelir adanya paham radikalisme-sekuler yang justru melarang agama turut campur dalam persoalan-persoalan sosial-politik. Bagi tokoh NU moderat ini, agama dan politik dalam pengertian yang lebih luas seharusnya dapat saling mengisi dan menguatkan karena jika tidak, maka yang terjadi adalah justru konflik-konflik yang berkepanjangan. Kiai Ma’ruf kemungkinan berasumsi bahwa sejauh ini keberadaan organisasi sosial keagamaan dalam sebuah realitas masyarakat heterogen seperti Indonesia justru dibutuhkan sebagai bagian dari upaya resistensi konflik terhadap beragam kepentingan.

Di Indonesia, para founding fathers telah terlebih dahulu membicarakan dan mendiskusikan persoalan-persoalan terkait bagaimana hubungan agama dan politik dalam eksistensinya membangun sebuah negara Indonesia yang bersatu dalam ideologi negara Pancasila. Dulu, ada M Natsir yang mewakili kecenderungan legal-formal yang menganggap bahwa Islam dan politik atau agama dan negara merupakan kesatuan yang wajar (holistic nature) yang tak mungkin dipisahkan. Natsir senada dengan seorang orientalis ternama H.A.R Gibb yang menyatakan bahwa, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. 

Gibb menilai bahwa ajaran Islam itu holistik, mencakup seluruh dimensi kehidupan sosial-politik bahkan peradaban. Disisi lain, M.Natsir berhadapan dengan pemikir sekular-liberal, Soekarno yang justru mengadvokasi bahwa Islam sebagai agama harus terpisah dari negara atau politik. Mengacu kepada pemikiran seorang muslim liberal, Abd al-Raziq dalam karya kontrovesialnya “al-Islam wa ushul al-hukm” menganggap bahwa Islam di Indonesia seharusya tidak bercampur aduk dengan urusan-urusan negara atau politik.

Dalam hal ini, Presiden Jokowi bisa jadi mengamini pendapat Soekarno di masa lalu yang menginginkan bahwa agama dan politik benar-benar terpisah dan berjalan pada relnya masing-masing. Namun demikian, ditengah ekspektasi umat muslim di seluruh dunia mengenai ajaran-ajaran Islam yang humanis, damai dan membumi yang tertuang dalam proyeksi besar Islam rahmatan lil ‘alaminbisa jadi bahwa pemisahan secara tegas soal Islam dan politik dalam wacana pemikiran dan aksi sosial justru malah terbentur oleh semakin menguatnya the return of religion yang semakin banyak mengisi berbagai ruang publik. 

Saya kira, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tetapi justru fenomena ini menguat di hampir seluruh penjuru dunia. Islam sejatinya sedang merekonstruksi dirinya ditengah kuatnya isu-isu terorisme dan radikalisme yang memperburuk citra Islam di dunia internasional. Bahkan paham-paham sekularisme yang sempat moncer di negara Barat, sedikit demi sedikit justru mulai hilang dan tidak lagi menjadi proyek kemajuan dunia Barat.

Saya sendiri cenderung mengartikan bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang menyinggung soal pemisahan agama dan politik adalah lebih kearah pemisahan antara praksis politik dan agama sebagai nilai-nilai moral atau etika yang seharusnya tidak berada dalam sebuah ruang entitas yang sama. Politik, yang lebih menitik-beratkan pada persoalan-persoalan raihan kekuasaan yang bersifat duniawi dengan cara-cara yang seringkali keluar dari perspektif moral dan etika justru tidak dapat dibenarkan oleh pandangan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun