Kepergian Kiai Hasyim Muzadi beberapa waktu yang lalu tidak hanya menjadi duka mendalam tetapi juga banyak diantara kita yang merasa kehilangan sosok Guru Bangsa yang penuh talenta, kesabaran, keteduhan yang senantiasa mengayomi dan melindungi umat. Pengasuh Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini, meninggalkan jejak yang baik yang selalu dirindukan umat Islam, lintas golongan, lintas organisasi bahkan lintas agama. Sosok teduh dan bersahaja yang ditunjukkan selama hidupnya, mungkin terasa sulit tergantikan, sehingga wajar jika kemudian banyak yang merasa kehilangan sosok pemersatu umat ini ditengah berbagai hiruk-pikuk kondisi kebangsaan yang hampir-hampir memecah belah persatuan dan kesatuan. Semakin banyak saja ulama pengayom umat satu-persatu dipanggil menghadap sang Maha Agung, mungkinkah Tuhan sedang berencana dalam kuasa-Nya “memanggil” orang-orang baik, sehingga yang tersisa kemudian hanyalah mereka yang dalam keadaan “buruk”?
Nalar manusia sejatinya memang tidak sanggup untuk memahami, apa dan bagaimana sebenarnya rencana dan skenario Tuhan terhadap umat manusia. Namun, terkadang Tuhan memperlihatkan “tanda-tandanya” yang bisa ditangkap oleh nalar manusia yang mau berfikir. Bagi setiap orang beriman dan mau berfikir, kematian mereka orang-orang soleh dan baik yang sedemikian teratur bisa saja menjadi pertanda bahwa alam ini semakin kehilangan keseimbangan dengan ketiadaan manusia-manusia yang baik di muka bumi ini. Bahkan tanpa sadar-pun kita serasa sulit mendapatkan orang baik, namun sepertinya gampang sekali menemukan orang jahat. Orang soleh dan baik ibarat barang langka yang sukar ditemukan sehingga, mau tidak mau yang kita temui dan hadapi justru kebanyakan mereka yang “terlihat baik” walaupun dalam kenyataannya mereka justru lebih jahat dari apa yang kita duga.
KH A Hasyim Muzadi adalah diantara sekian banyak orang-orang baik di negeri ini yang dipanggil keharibaan-Nya, menghadap Yang Maha Agung dan menempati suatu “tempat” yang mustahil nalar kita menjangkaunya. Begitu banyak orang mengantarkannya sampai ke peristirahatan beliau yang terakhir, hingga setiap orang hampir-hampir berebut mengusung jenazahnya yang siap dikebumikan. Beginilah tanda-tanda “orang baik” yang dapat dibaca oleh nalar manusia, bahkan setelah tiada-pun, hampir setiap hari semua orang mendoakannya, mengenang kebaikan dan kemanfaatannya selama ia menjalani hidup. Bagi orang-orang yang berfikir dan beriman, dunia hanyalah tempat bermain-main dan setiap orang berhak menikmati seluruh fasilitas yang telah disediakan meskipun bersifat sementara. Raihlah kenikmatan dunia dengan perjuangan yang benar, walaupun gagal, kemenangan di akhirat pasti sudah menunggu. Ada sebuah adagium Arab yang menyatakan, “segala sesuatu yang akan terjadi, berarti dekat”. Kematian adalah kepastian, maka mati adalah dekat, bahkan lebih dekat dari kemungkinan kita menjadi orang kaya atau orang pandai.
Bagi orang yang percaya dan yakin terhadap agama, maka kehidupan setelah di dunia fana ini pasti adanya. Ini artinya, bahwa Tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia, karena sesungguhnya seluruh perbuatan, prilaku baik yang tersirat maupun tersurat semuanya akan “dihitung” menjadi reward atau punishment yang akan dikembalikan kepada manusia itu sendiri. Oleh karenanya, betapa sangat ruginya kita ketika hanya memanfaatkan dunia sebagai lahan permainan dan kesenangan belaka, memanfaatkan segala macam fasilitas kenikmatan yang disediakannya, tetapi lupa mendatangkan dan memberikan kemanfaatan kepada lingkungan sekitarnya. Inilah kemudian yang disindir oleh Nabi Muhammad, bahwa “orang yang cerdas diantara kita adalah orang yang selalu mengingat kematian”.
Mungkin tak jauh berbeda dengan KH Aburrahman Wahid (Gus Dur) yang telah terlebih dahulu meninggalkan Kiai Hasyim dan juga kita. Sosok baik selalu meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi setiap orang, kehilangan, kesedihan dan yang jelas kekhawatiran karena banyak mereka yang baik justru lebih dahulu meninggalkan kita dan tentu saja sulit tergantikan oleh siapapun. Otak kita mungkin tak akan sanggup memikirkan, kenapa setiap hari pusara Gus Dur selalu diziarahi oleh banyak orang. Mereka datang untuk berdoa, mengenang perjuangan cucu pendiri NU ini yang dirasa selalu membawa banyak manfaat, bagi mereka dan lingkungan sekitarnya. Rasa-rasanya orang yang selalu mengukur segala sesuatu berdasarkan nalar, sungguh tak akan sanggup membedahnya, mengapa hal ini bisa terjadi. Meskipun Nietzsche memproklamirkan “kematian Tuhan”, namun nampaknya tidak juga menggusur kehidupan beragama dan kepercayaan manusia kepada Tuhan, agama bahkan tetap hidup dan bertahan mungkin sampai akhir zaman.
Gus Dur dan Kiai Hasyim merupakan dua tokoh NU yang populer, bukan karena keduanya merupakan pimpinan puncak di organisasi Islam terbesar di dunia ini yang memiliki jutaan pengikut secara kultural, tetapi karena sedemikian besar kemanfaatan dan keberadaan mereka di tengah-tengah umat. Kedua tokoh yang sama-sama pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU ini juga memiliki keinginan yang sama, selalu menjadi perekat dan pemersatu umat disaat umat hampir-hampir diambang perpecahan. Terlepas dari adanya cerita yang berhembus soal perseteruan mereka “secara politis” dalam tubuh NU, namun mereka berdua tetap menjadi panutan umat dan mampu membawa umat Islam Indonesia justru lebih memiliki daya tawar yang cukup menjanjikan dimata dunia internasional. Mereka membawa pesan Islam rahmatan lil alamin yang jauh dari permusuhan, pertentangan dan kepicikan, digantikan oleh Islam berwajah damai, arif dan moderat.
Disisi lain, keduanya pernah menempati posisi puncak dalam lingkaran kekuasaan politik, karena masing-masing dianggap mampu menjadi perwujudan kehendak rakyat. Gus Dur bahkan pernah menjabat sebagai Presiden RI ke 4 walaupun hanya seumur jagung, sedangkan Kiai Hasyim pernah disandingkan denga Megawati sebagai cawapres pada pilpres 2004 yang lalu walaupun terpaksa harus kandas karena dikalahkan pasangan SBY-Kalla. Namun disaat-saat terakhir menjelang kepergiannya, Kiai Hasyim masih menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) di era pemerintahan Jokowi-JK. Disinilah barangkali bahwa skenario sang Maha Agung seakan menjadi blue print ketika Gus Dur dan Kiai Hasyim memang telah berhasil menduduki posisi puncak dalam kehidupannya di dunia. Kedua orang baik ini justru dianggap telah menyelesaikan tugasnya sebagai “agen-agen Tuhan” di muka bumi lalu dipanggil menghadap pemilik-Nya sang Maha Kuasa.
Bagi saya, mereka adalah tauladan umat, ulama yang mumpuni dan mampu menjaga keseimbangan kosmik melalui pembacaan-pembacaan mereka terhadap “hamparan” tanda-tanda kebesaran Tuhan, baik yang tertulis maupun tak tertulis. Hanya mereka yang memiliki daya fikir yang jernih dan batin yang hening yang sanggup menembus pelbagai tanda dan ayat-ayat Tuhan dan diterjemahkan kedalam realitas kehidupan sehari-hari. Inilah barangkali yang menjadikan seorang ahli Matematika, Ian Stewart berpendapat bahwa jagat raya memang harus dijaga keseimbangan eksistensinya dengan tidak mengingkari atau melawan sabda Tuhan, karena jika melawan yang terjadi adalah keseimbangan kosmik akan terganggu. Mereka yang telah berjuang menjaga keseimbangan kosmologis, kini telah tiada, kita hanya dapat mengambil teladan dan manfaat dari mereka.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H