Setiap muslim yang pernah berkunjung ke Mekkah atau Madinah, baik Umroh ataupun Haji, tentu kebanyakan akan mengatakan kerinduan yang cukup kuat untuk dapat berkesempatan kembali menginjakkan kaki di tempat arah Kiblat Sholat kaum muslim sedunia ini.
Masjidil Haram di Mekkah tidak hanya menjadi bagian dari sejarah pra-Islam, dimana Ka’bah yang berdiri kokoh ditengahnya merupakan “rumah pertama” yang dibangun untuk manusia oleh Nabi Ibrahim as, tetapi juga menjadi sumber kehidupan karena air Zam-zam memancar dari sekelilingnya yang masih tetap mengalir dan tak pernah habis-habis dikonsumsi jutaan umat manusia. Selain tempat kelahiran Nabi Muhammad yang berada tak jauh dari lingkungan Masjidil Haram, Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan simbol keagamaan yang disucikan dan diagungkan, karena seluruh umat muslim menghadapkan wajahnya ketika sholat ke arah Ka’bah di Mekkah.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Masjidil Haram, dua tahun yang lalu, mengingatkan akan nuansa keagamaan yang sangat kuat, dimana Ka’bah layaknya magnet yang menarik semua orang untuk datang, berdoa, berdzikir, mengelilinginya (thawaf) berlawanan dengan arah jarum jam, bahkan sesekali terlihat nampak beberapa orang “berebut” untuk berdoa di sisi kiri bangunan berbentuk kubus ini, dimana terdapat sebuah bangunan dinding putih yang menjorok keluar Ka’bah, yang disebut dengan Hijir Ismail.
Area yang dikhususkan untuk berdoa ini diyakini umat muslim sebagai tempat paling mustajabah untuk berdoa kepada Tuhan, merujuk kepada tradisi yang dahulu seringkali dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika berdoa di depan Ka’bah. Selain itu, terdapat ruang diantara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad yang juga area berdoa mustajabah, yaitu Multazam. Namun secara keseluruhan, area Ka’bah dan Masjidil Haram merupakan area dimana seluruh doa yang dipanjatkan oleh umat muslim adalah mustajabah menurut sumber-sumber dalam tradisi Islam.
Menjadi sebuah keistimewaan dalam hidup saya, karena perjalanan umroh waktu itu merupakan “hadiah” yang diberikan kepada saya dan istri saya dari seseorang yang tidak mungkin saya sebutkan namanya disini. Beliau merupakan orang yang sederhana, tetapi di tengah usianya yang mencapai senja selalu ingin menghabiskan waktu dan hartanya untuk bersedekah, mengumrohkan dan menghajikan siapa saja yang dalam pandangan dia adalah orang-orang yang berjasa dan mendedikasikan dirinya bagi perkembangan syiar Islam.
Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan, berapa biaya yang harus saya tabung untuk melaksanakan perjalanan umroh waktu itu, terlebih harus berdua, tetapi ternyata, Tuhan telah menjawab doa-doa saya, menitipkan rezeki saya melalui tangan hamba-Nya yang soleh, bukan dari tangan saya sendiri.
Gembira dan terharu, itu yang ada dalam benak saya waktu itu, bagaimana tidak, mimpi-mimpi saya untuk bisa menengadahkan tangan di depan Ka’bah dan Masjidil Haram benar-benar terwujud. Selama ini, mimpi-mimpi berada di Tanah Haram selalu datang disaat saya tertidur dan seringkali tanpa tersadar mata saya telah basah disaat terbangun. Inilah kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung, tidak ada yang tidak mungkin dalam pandangan dan skenario-Nya, sehingga siapapun ketika meyakini dengan iman bahwa Tuhan senantiasa hadir dalam setiap usaha dan kegiatan manusia, maka sungguh Tuhan akan selalu memperhatikan setiap keinginan hamba-hamba-Nya.
Sulit memang untuk diselaraskan dengan nalar, karena sejatinya nalar manusia selalu memiliki keterbatasan, hanya dapat menjangkau sesuatu yang “hadir” tanpa mampu menyentuh “realitas yang tak hadir” diluar dirinya.
Mungkin tak dapat dipungkiri, bahwa jamaah umroh asal Indonesia memang bisa jadi paling banyak, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi para penduduk lokal di Arab Saudi. Saya kira, lamanya antrian panjang dalam keberangkatan haji, telah membuat banyak muslim Indonesia beralih melaksanakan umroh.
Inilah kemudian mengapa perusahaan-perusaahn travel ibadah umroh tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menawarkan program umroh murah, diluar batas kewajaran harga umum yang ditetapkan oleh beberapa agen travel resmi, walaupun keberangkatannya memang harus menunggu waktu. Mungkin hampir tiap hari, jamaah umroh asal Indonesia berduyun-duyun mendatangi Mekkah dan Madinah, sehingga dua kota ini selalu terlihat ramai oleh jamaah asal Indonesia.
Hampir seluruh pedagang lokal di sekitar masjid, baik di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, semuanya menjajakan dagangannya dengan berbahasa Indonesia, mirip suasana pasar kaget yang digelar mingguan di Tanah Air. Para pedagang lokal di Tanah Haram nampaknya memahami, bahwa jamaah asal Indonesia, baik yang umroh maupun haji, adalah pangsa pasar yang menjanjikan karena kegemarannya dalam hal berbelanja membeli oleh-oleh untuk cinderamata sanak kerabat mereka sepulang ke Tanah Air. Inilah salah satu kesan saya ketika mengunjungi dua kota suci di Arab Saudi, Mekkah dan Madinah.
Bahkan, tak sungkan para petugas penjaga keamanan seputar masjid, terkadang menyapa saya, “Indoniziy, aw malayziy?” saya hanya senyum dan menjawab, “Indoniziy, yaa haaris”. Sesekali para petugas mengacungkan jempolnya untuk para jamaah asal Indonesia, mungkin karena mereka dinilai paling tertib diantara jamaah asal negara lainnya.
Menelusuri jejak perjalanan sejarah Nabi Muhammad di dua Kota Suci, memang memiliki kesan tersendiri bagi saya. Seakan-akan membuka memori tentang perjuangan beliau yang pernah saya baca dari berbagai buku sejarah Islam, terutama berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain, Gua Hiro atau Jabal Uhud.
Di Kota Madinah dulunya terdapat parit besar yang berada di pinggiran kota tempat peristiwa perang Khandaq berlangsung, namun karena untuk penataan kota, parit tersebut nampaknya telah ditutup oleh otoritas Pemerintah Arab Saudi. Sejenak saya tertegun, menatap Gua Hiro yang jauh diatas sebuah bukit, tempat dimana Nabi Muhammad mendapatkan wahyu Tuhan yang pertama kali dalam hidupnya. Sungguh sebuah perjuangan yang berat, dimana Nabi harus naik-turun ke Gua Hiro untuk menyampaikan dakwahnya kepada keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya waktu itu yang tingginya kurang lebih 300 meter.
Perjalanan umroh dua tahun yang lalu, sungguh masih sangat jelas terbayang dalam benak saya dan mungkin siapapun yang pernah berkunjung ke sana, memiliki kerinduan yang teramat besar untuk dapat kembali bermunajat, berdoa, beribadah di tempat-tempat paling mustajabah di dunia ini, yaitu Mekkah dan Madinah. Kerinduan ini jelas didorong oleh rasa keagamaan yang begitu kuat, melekat dalam sanubari setiap muslim, terlebih disaat berkumandangnya adzan yang memiliki ciri khas sanggup menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.
Kumandang adzan yang berasal dari Masjid Nabawi dan Masjidil Haram memang memiliki ciri khas irama tersendiri yang mungkin selama ini hanya dapat dinikmati melalui saluran internet atau media digital lainnya. Kumandang adzan sepeti inilah yang banyak membuat setiap muslim yang pernah mengunjungi kota Mekkah dan Madinah, rindu untuk mendatangi kembali “sumber” suara “panggilan Tuhan” tersebut.
Wallahu a’lam bishhawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H