Setelah kegaduhan yang semakin terlihat membabi-buta akibat kebencian yang tak kunjung reda setalah kasus penisataan agama yang melilit Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, kini bertambah runcing saja masalahnya, dimana banyak spanduk atau ungkapan yang beredar bahwa tak hanya Ahok yang dibenci sedemikian, tetapi juga mereka sekaligus memberikan stigmatisasi negatif dan berlebihan kepada para pendukung Ahok, khususnya yang beragama Islam.
Tanpa ragu-ragu, beberapa kelompok yang meluapkan kebenciannya kemudian menuding pihak-pihak pendukung Ahok di Pilkada Jakarta, sebagai kelompok munafiq yang jika mereka meninggal, maka jenazahnya tak perlu disholatkan. Saya kira, ini sebuah anggapan yang sangat berlebihan, bahwa persoalan pilihan politik yang berbeda kemudian menjadi sangat rancu ketika dihubungkan dengan pembenaran yang diambil dari sudut pandang keagamaan.
Saya kira, soal spanduk yang bertuliskan “tidak menshalatkan jenazah bagi para pendukung penista agama” memang ada di bebarapa tempat ibadah di sekitar Jakarta, walaupun sebenarnya itu hanya bentuk “sporadis” akibat luapan emosi dan kebencian. Tidak semua pengurus sebuah tempat ibadah itu mengetahui atau menyetujui pemasangan spanduk seperti itu, hanya mereka tak sanggup berbuat apa-apa karena khawatir akan lebih besar dampaknya terhadap konflik yang timbul, jika mereka melarang pemasangan spanduk tersebut. Persoalan ini justru menambah tak berdaya para pengurus masjid atau mushola ketika mereka menyodorkan bukti pembenaran yang berasal dari kitab suci mengenai pelarangan menyolatkan jenazah orang-orang munafik dan kafir.
Bagi mereka yang mendukung upaya agar mereka yang memilih penista agama dalam Pilkada Jakarta tidak disholatkan secara Islam jika mereka meninggal, dicarikan pembenarannya melalui kitab suci al-Quran, surat at-Taubah ayat 84, Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, “Dan janganlah kamu berdirimenyolatkan (mendoakan) di kuburnyaselamanya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”. Ayat inilah yang kemudian dijadikan alasan pembenaran yang menganggap mereka yang memiliki perbedaan pilihan politik adalah fasiq dan munafiq. Namun sejauh ini, benarkan mereka itu fasiq? Terlebih munafiq? Hanya karena persoalan pilihan politik?
Al-Quran memang sebuah kitab suci yang ayat-ayatnya diyakini oleh umat muslim sebagai sebuah “kebenaran mutlak”, walaupun sesungguhnya, ketika teks-teks-nya dialih bahasakan, terlebih ditafsirkan, ia kemudian berubah menjadi wilayah bagi “kebeneran relatif”. Oleh karena itu, al-Quran sebagai kitab suci yang sampai kepada umat muslim saat ini, sebenarnya memiliki dua dimensi sekaligus, ketika ia sudah menjadi sebuah bentuk teks, yaitu sakral dan profan, absolut dan relatif, serta historis dan metahistoris.
Kitab suci al-Quran harus mencerminkan kesesuaian dengan waktu dan tempat, sehingga ayat-ayatnya selalu adaptable dalam kondisi apapun, atau dalam bahasa terminologi agama disebut “sholihun li kulli zaman wa makan”. Dengan demikian, tak jarang bahwa ketika al-Quran menjelma dalam sebuah kitab yang tersusun dalam bentuk teks-teks keagamaan, senantiasa memiliki “perbedaan” ketika ia dielaborasikan dengan kondisi kekinian. Perbedaan ini dapat dilihat dari begitu banyaknya metodologi tafsir al-Quran yang berbicara mengenai esensi ayat-ayatnya secara berbeda-beda.
Ketika saya mencoba menelusuri bagaimana sebenarnya kontekstualisasi mengenai ayat 84 surat at-Taubah perihal larangan mensholatkan jenazah orang-orang munafiq atau fasiq berasal dari sebuah kejadian (asbabunnuzul) dimana Rasulullah saw pernah menyolatkan seorang pemimpin munafiq Mekkah bernama Ibnu Ubay ketika meninggal. Anaknya, Abdullah Ibnu Ubay adalah salah satu sahabat Rasulullah dan dia merupakan orang sholeh yang muslim, berbeda dengan ayahnya.
Abdullah kemudian meminta kepada Rasulullah untuk mensholatkan jenazah ayahnya dan bahkan meminta kepadanya agar bajunya yang saat ini dipakai dijadikan sebagai pembungkus kain kafan bagi jenazah ayahnya. Rasulullah mengikuti permintaan Abdullah dan kemudian beliau menshalatkan jenazah Ibnu Ubay yang diketahui sebagai seorang pemimpin kaum munafiq. Namun disaat bersamaan, datang Umar bin Khattab dan berupaya mencegah agar tidak dilaksanakan sholat jenazah karena Ibnu Ubay adalah seoarang munafiq.
Umar beralasan bahwa kehidupan Ibnu Ubay sebagai seorang munafiq banyak yang merugikan kaum muslim karena perbuatannya yang tidak pernah konsisten dan berubah-rubah terutama seringkali melanggar perjanjian dengan kaum muslim. Dalam sejarah Islam awal, orang-orang munafiq biasanya mereka yang selalu “merobek-robek” perjanjian dan mengingkarinya, sehingga mereka dianggap tidak beriman karena diragukan.
Namun Rasulullah tetap menshalatkan Ibnu Ubay dan mengatakan bahwa manusia merupakan sebaik-baik mahluk ciptaan Tuhan, sehingga dia pasti menyukai jika hak-haknya sebagai manusia dapat terpenuhi. “Aku melakukan yang terbaik, biarlah nanti Tuhan yang menilai” (Khairani, robbi). Rasulullah kemudian mengutip sebuah ayat dalam al-Quran, surat al-Baqarah, ayat 80, “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka (sama saja)..” (istaghfir lahum aw laa tastaghfirlahum).
Para ahli tafsir kemudian menganggap bahwa perlakuan Rasulullah saw atas jenazah Ibnu Ubay dengan mensholatkan dan juga mendoakan adalah karena penghormatan anaknya Abdullah Ibnu Ubay, karena Abdullah pernah memberikan bajunya untuk menutupi jenazah paman Nabi, Abbas ketika gugur dalam peperangan Badr.