Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Bancakan" Duit Negara di Proyek KTP Elektronik

8 Maret 2017   10:39 Diperbarui: 9 Maret 2017   02:01 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek KTP-elektornik (KTP-el) mengindikasikan bahwa proyek ini benar-benar menjadi bancakan para elit yang terstruktur, dari mulai eksekutif dan juga legislatif. Hanya saja sangat disayangkan, bahwa kasus yang telah terjadi lama ini justru mulai terkuak belakangan sehingga mengakibatkan sulitnya menelusuri siapa saja sebenarnya pihak-pihak lain yang terlibat. Jika-pun KPK kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa akan lebih banyak para elit politik yang diindikasikan terlibat, tetapi belum akan diungkap karena khawatir terjadi kegaduhan, justru disini akan rentan terjadinya manipulasi atau bahkan intervensi dari pihak-pihak tertentu yang menginginkan agar kasus ini “dikunci” oleh para “tersangka” yang sudah ada. Saya kira, kasus korupsi proyek Hambalang beberapa tahun yang lalu juga memiliki kemiripan, karena nilai yang cukup besar dalam proyek ini, kemudian menjadi “bancakan” para elit.

Seakan menjadi sebuah siklus lima tahunan, dimana setiap pergantian elit di level kekuasaan, program bancakan dengan modus membagi-bagi uang rakyat melalui manipulasi proyek-proyek besar yang melibatkan “kesepakatan” antara para pemangku negeri ini menjadi hal biasa dan justru dilegalkan. Semakin menjadi ironi, bahwa negeri yang dulu gagal karena mengguritanya praktek korupsi malah belakangan semakin menjadi-jadi. Bukankah reformasi itu merupakan komitmen bersama memajukan bangsa dan negara agar bersih dari segala praktek korupsi? Greget pemberantasan korupsi sejauh ini hanya menyasar bagian “kulit” sebatas aturan dan undang-undang, tetapi “isinya” tetap tak jauh berbeda, mereka yang membuat aturan-aturan tetapi tetap saja bermental korup, menularkan budayanya dari generasi ke generasi.

Lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh negara pun seakan bertekuk lutut ketika menghadapi soal bancakan uang negara ini. Diakui ataupun tidak, sebagai lembaga bentukan negara, bisa saja lembaga ini kemudian mengikuti ritme dan irama kekuasaan, dalam menentukan soal siapa saja yang pada akhirnya dibidik menjadi “korban” yang harus bertanggungjawab. Kita tentu bisa menilai, bahwa terbongkarnya kasus korupsi Hambalang hanyalah bagian dari “keinginan” para penguasa untuk mengorbankan mereka-mereka yang sukses menjadi “broker” tanpa mampu menyentuh “orang-orang besar” yang bisa saja menikmati lebih besar hasil dari bancakan uang negara tersebut. Mereka terselamatkan oleh birokrasi yang juga korup dan dihalang-halangi oleh dinding kokoh kekuasaan yang tak mungkin bisa ditembus, kecuali oleh kesadaran dan sikap berbesar hati mereka yang sangat membenci korupsi.

Saat ini, kita sedang menyaksikan sebuah drama politik-kekuasaan yang mudah saja kita tebak bagaimana ending dari skenario ini. Paling banter kemudian akan dibuat skenario seakan-akan bahwa hanya partai tertentu atau kekuatan politik tertentu yang paling bertanggungjawab sebagai “korban” karena dinilai selalu berseberangan dengan penguasa. Hal ini terlihat, bahwa mereka-mereka yang terindikasi terlibat kasus korupsi KTP-el yang merugikan negara sebanyak 2 triliun lebih, mulai “bersuara sama” menyangkal semua tuduhan keterlibatan dalam kasus korupsi ini. Publik hanya bisa mereka-reka, siapa korban selanjutnya yang kemudian disasar oleh KPK sebagai orang yang disebut menerima uang bancakan tersebut, walaupun sesungguhnya sejumlah uang hasil korupsi bancakan sudah ada yang dikembalikan kepada negara. Lamanya proses pembuktian terhadap kasus ini justru membuka peluang lebih besar bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk saling “bermain mata” dengan pihak-pihak kekuasaan.

Indonesia memang sedang dilanda budaya korupsi yang sangat akut dan cenderung sulit untuk dihancurkan. Berakhirnya rezim Orde Baru dan harapan kita terhadap era reformasi ternyata masih menyisakan banyak persoalan bangsa yang sangat luar biasa (extraordinary problem). Saya kira, kita masih belum bisa keluar dari terpaan berbagai macam krisis multidimensional di segala bidang kehidupan, meskipun dari rezim ke rezim selalu diklaim sudah ada perubahan. Reformasi hanya dijalankan sebagai proses “perubahan” bukan proses “perbaikan”. Di setiap pergantian rezim, kita selalu menyaksikan banyak hal baru yang berubah, tergantung dari konsensus yang dilakukan oleh masing-masing elit berkuasa. Kita tentu tidak aneh, ketika setiap pergantian rezim, kemudian terjadi perubahan pada sisi nomenklatur yang berkait dengan kelembagaan negara. Jelas, bahwa ini merupakan soal “perubahan” bukan pada “perbaikan” dari yang sudah ada.

Kita tentu merasakan, bagaimana kemudian pendidikan Pancasila yang dianggap usang karena memiliki keterkaitan dengan rezim Orde Baru, dirubah dan disegarkan melalui nomenklatur baru, pendidikan kewarganegaraan yang mungkin saja keduanya masih berkulit sama, hanya penekanan pada sisi konten yang berbeda. Pendidikan Pancasila yang dulu lebih menekankan pada pendidikan keagamaan, justru sedikit demi sedikit tidak dianggap penting dalam sebuah silabus pendidikan. Padahal, keduanya bisa menjadi wahana bagi pembinaan kepribadian bangsa/integritas dalam rangka pembentukan character building. Sejauh ini, pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama memang hanya berada pada tataran “kulit luar” sebatas teori yang sama sekali tidak pernah dipraktekkan. Itulah sebabnya, ironi di negeri ini ketika banyak orang-orang yang memenuhi rumah-rumah ibadat dan juga belajar agama/nilai, namun bersamaan dengan itu, begitu banyak pula pelaku kemungkaran dan kejahatan ditengah masyarakat. Akar dari ironi ini menampakkan ambivalensi dan hipokrisi yang harus dijadikan dasar bagi “perbaikan” secara lebih terukur dalam membangun kepribadian bangsa yang lebih berintegritas.

Sungguh yang paling menyedihkan adalah bahwa mereka-mereka yang sengaja “merampok” uang negara adalah orang-orang yang mengerti soal hukum dan agama, bukan orang-orang yang tereliminasi dalam dunia pendidikan. Sejauh ini, hukum telah gagal memanfaatkan konsep law as tool of social engineering karena kebanyakan hukum adalah soal apa yang tertulis saja dan dilaksanakan sebagai wujud untuk mendukung pelaksanaan tugas eksekutif, tidak lebih! Padahal, bangsa kita sudah jauh-jauh hari memiliki nilai-nilai moral, hukum, norma yang berkembang dalam adat-istiadat, budaya dan juga agama yang seringkali tidak diberi ruang bagi keselarasan dalam pembentukan hukum pada ranah Civic Law System. Hukum pada akhirnya mandul, dia hanya “tajam kebawah” tetapi “tumpul keatas”, tak sanggup menyentuh “orang-orang bersalah” pada level tertinggi kekuasaan. Inilah yang kemudian, maraknya kasus korupsi di Indonesia sulit diberantas, karena bebagai kekacauan (disorder) yang saling paradoks dari banyak sisi kehidupan.

Sungguh, Tuhan telah menanamkan kedalam diri manusia dua sifat yang saling bertolak belakang secara diametral, yaitu kebaikan (hasanah) dan juga keburukan (sayyiah). Namun demikian, keduanya masih dapat diarahkan dan ditentukan oleh eksistensi hati (qolbu) sebagai potensi (al-quwwah) untuk menentukan setiap tindakan yang dipilihnya. Pendidikan agama atau nilai-nilai dalam masyarakat yang berkembang harus senantiasa diarahkan untuk memperkuat eksistensi hati agar membentuk hati yang bersih sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya. Praktek korupsi yang sejauh ini terjadi adalah karena hati mereka—para koruptor—diisi oleh kekotoran dan kejahatan sehingga mereka rakus hanya mementingkan keinginan mereka sendiri tanpa memperdulikan bahwa kejahatan mereka sesungguhnya telah merugikan banyak orang.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun