Kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz ke Indonesia menjadi topik terhangat yang tidak saja dimaknai positif oleh banyak kalangan, tetapi ada juga yang terkesan “nyinyir” dengan kedatangan sang “Khadim al-Haramain” ini. Namun yang jelas, bahwa apapun reaksi publik Indonesia terhadap kedatangan Raja Salman, hal ini tetap menjadi bagian sejarah bagi bangsa Indonesia bahwa seorang pucuk pimpinan tertinggi Arab Saudi kembali mengunjungi Indonesia setelah 47 tahun lamanya, negeri ini luput dari “kehangatan” hubungan diplomatik antara kedua negara.
Kunjungan balasan Raja Salman berarti memiliki dua makna penting, “menghangatkan” hubungan diplomatik RI-Saudi melalui serangkaian kerjasama yang saling menguntungkan dan semangat persatuan Islam yang dilandasi oleh kekhawatiran terhadap “kekuatan” tertentu yang sejauh ini berupaya terus menerus memecah belah persaudaraan sesama muslim.
Hal ini jelas ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian dengan penuh keyakinan mengungkapkan bahwa kedatangan Raja Salman ke Indonesia menjadi titik tolak peningkatan hubungan kedua negara yang dipersatukan oleh Islam. Terlebih bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim yang pasti memiliki hubungan khusus dengan negara sesama muslim, seperti Arab Saudi.
Bahkan tanpa ragu-ragu, Menlu RI, Retno Marsudi mengklaim bahwa bentuk kerjasama dengan Arab Saudi adalah dalam rangka meningkatkan dan memajukan Islam rahmatan lil ‘alamin yang akan mendorong persatuan umat Islam demi kemaslahatan Islam dan manusia di seluruh dunia. Jika kerjasama dengan negara-negara yang tidak mayoritas muslim saja dapat dilakukan secara baik, maka seharusnya kerjasama sesama negara muslim justru akan lebih kuat dan lebih mudah, karena didasari oleh kesamaan nilai-nilai dan ideologi yang dianut.
Saya kira, inilah sesungguhnya wajah Islam yang senantiasa diproyeksikan oleh Nabi Muhammad saw, bahwa berislam berarti mempunyai kecenderungan yang memudahkan—baik dalam konteks agama dan sosial-politik—sekaligus membuang jauh-jauh dimensi keberbedaan diantara umat demi meraih kerjasama yang baik dan menguntungkan secara ekonomi bagi kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Nabi saw, bahwa “Ahabbu al-ddiina ila allahi al-hanifiyah wa al-samhah” (konsep beragama sebagaimana yang disukai Tuhan adalah mereka yang mampu membawa kebaikan dan juga memberikan kemudahan atau toleransi).
Oleh karena itu, baik Raja Salman maupun Presiden Jokowi nampaknya menyadari betul bahwa dibalik serangkaian penandatangan kerjasama bilateral antara dua negara yang saling menguntungkan secara sosial-politik, terdapat semangat kebersamaan untuk memperkuat persatuan Islam yang justru berdampak jangka panjang.
Ditengah menguatnya sentimen Islamofobia di berbagai negara akibat konflik dan perpecahan negara-negara mayoritas muslim di Timur Tengah ditambah oleh munculnya serangkaian aksi kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan agama, maka kerjasama bilateral antara RI-Arab Saudi justru membawa angin segar bagi terbentuknya poros kekuatan dunia Islam.
Kekuatan Islam yang dimaksud tentu saja bukan didasarkan pada arogansi kepentingan untuk menguasai sektor-sektor perekonomian negara-negara mayoritas muslim, tetapi menjadi pelopor bagi perdamaian dunia, menghapus stigmatisasi negatif terhadap dunia Islam, melawan terorisme dan menunjukkan wajah Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi semesta alam. Walaupun banyak pihak yang beranggapan bahwa kedatangan Raja Salman bukan semata karena emosi keagamaan, namun paling tidak bahwa isu-isu soal terorisme dan Islamofobia yang melanda dunia, perlu ditepis melalui serangkaian kerjasama yang diperkuat oleh berbagai negara mayoritas muslim.
Mungkin tidak juga berlebihan jika kemudian dinyatakan bahwa Indonesia juga menaruh harapan yang besar untuk membangkitkan laju perekonomiannya melalui serangkaian kerjasama yang menguntungkan dengan berbagai negara. Harapan tersebut bisa saja terwujud melalui serangkaian kunjungan Raja Salman ke berbagai negara Asia, termasuk ke Indonesia. Hal ini terbukti bahwa 11 Nota Kesepahaman (MoU) sudah ditandatangani oleh otoritas Arab Saudi dan RI dengan nilai lebih dari 7 miliar dolar AS.
Begitu mudahnya setiap klausul yang ditandatangan oleh kedua belah pihak, bukan semata-mata karena kepentingan bisnis dan ekonomi, tetapi lebih jauh dari itu, bahwa masing-masing negara telah memiliki “ikatan khusus”—sebagaimana ungkapan Presiden Jokowi—yang terjalin secara kultural sudah sejak lama. Disinilah letaknya kemudahan persaudaraan dan persatuan yang didasarkan atas kesamaan nilai-nilai keislaman yang dijunjung tinggi kedua belah pihak.
Ungkapan Presiden Jokowi ketika bersama-sama dengan Raja Salman paling tidak hendak menunjukkan bahwa persaudaraan Islam harus dibentuk berdasarkan kemudahan dan toleransi sehinggga nampak wujud ketulusan kerjasama tanpa diikat oleh pelbagai persyaratan yang serba sulit dan cenderung rumit.
Bahkan fondasi utama persatuan Islam dibangun oleh kemudahan (yassiru) bukan oleh kerumitan (wa laa tu’assiru) sehingga kerjasama dalam bidang apapun akan tampak menjadi kuat dan berjangka panjang tidak sekedar kerjasama sesaat. Sungguh bahwa kerjasama yang baru saja terwujud secara baik antara RI-Arab Saudi perlu mendapatkan apresiasi dari seluruh masyarakat, terlebih warga muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia. Secara tidak langsung, hal ini membuktikan bahwa kerjasama yang didasari oleh kesamaan nilai-nilai dan ideologi cenderung lebih mudah dan nihil persyaratan yang rumit dibanding kerjasama dengan negara lain yang berbeda ideologinya.
Asumsi saya, bahwa apa yang terjadi antara RI-Arab Saudi sejauh ini adalah bentuk nyata dari kerjasama menguntungkan atas dasar persaudaraan Islam. Presiden Jokowi jelas memiliki peran penting dalam membangun kerjasama bilateral ini dengan menepis berbagai anggapan bahwa muslim di Indonesia sedang mengalami konflik. Presiden Jokowi berhasil meyakinkan otoritas Arab Saudi bahwa wajah Islam Indonesia lebih moderat dan humanis sehingga akan lebih menjamin keamanan atas investasi apapun yang dijalankan kedua belah pihak.
Konflik politik yang selama ini terjadi hanyalah sebatas “riak-riak” yang muncul di permukaan, bukan pada dimensi terdalam yang dipicu oleh emosi keagamaan. Tidak menutup kemungkinan jika kemudian Indonesia justru akan menjadi perhatian dunia Islam pada umumnya, karena sikap toleransinya yang ditunjukkan ditengah heterogenitas suku, budaya, bahasa dan agama namun tetap mampu menjaga keutuhan bangsanya. Menjadi kiblat dunia bagi peradaban Islam saya kira tidak sulit bagi Indonesia, terlebih negeri ini sudah memiliki modal sosial yang kuat soal budaya dan pemikiran keislaman.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H