Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Demokrasi "Kebablasan" ala Jokowi

22 Februari 2017   23:03 Diperbarui: 24 Februari 2017   04:00 2648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hadir dalam acara pelantikan pengurus Partai Hanura di Bogor, Presiden Jokowi didaulat untuk berpidato menyampaikan orasinya menyangkut persoalan bangsa dan negara. Salah satu cuplikan menarik adalah soal kalimat demokrasi “kebablasan” yang disinggung Jokowi yang kemudian dihubungkan dengan meningkatnya isme yang bertentangan dengan ruh demokrasi. 

Liberalisme, fundamentalisme, radikalisme, sektarianisme merupakan beberapa kondisi isme yang disebutkan Jokowi, sebagai paham dalam masyarakat yang bertentangan dengan demokrasi. Mungkin saja, bahwa demokrasi yang dimaksud adalah sistem yang sederhana, bahwa demokrasi dianggap  merupakan kondisi dimana kebebasan politik dan berekspresi masyarakat terbuka lebar, terutama jika merujuk kepada sejarah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Sehingga istilah demokrasi dan kebebasan (politik) seakan seperti dua mata uang yang menyatu dan tak mungkin terpisahkan.

Meskipun sebenarnya, jika merujuk kepada perjalanan sejarah bangsa ini, demokrasi seakan masih belum seutuhnya menentukan bentuknya sendiri. Perjalanan bangsa ini dalam mencari sosok demokrasi seringkali mengalami benturan, pasang-surut atau mungkin berjalan ditempat. Perihal demokrasi sebagai sebuah sistem politik di Indonesia, sebenarnya sudah mengemuka sejak bangsa ini merdeka. Paling tidak, terdapat unsur-unsur penting yang kemudian diambil oleh bangsa ini dari demokrasi secara umum, yaitu persamaan, persatuan dan keadilan. 

Persamaan, berarti seluruh elemen bangsa ini akan terakomodasi secara politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar diseluruh Nusantara kemudian tertuang dalam lambang negara, Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan keadilan, berarti seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan hidupnya tanpa harus ada monopoli dari pihak penguasa.

Demokrasi memang seakan menjadi sebuah harapan sistem kemasyarakatan yang paling dekat memenuhi rasa keadilan, hanya saja bentuk seperti ini rasa-rasanya menjadikan demokrasi sebagai sebuah bentuk yang ideal yang justru dalam tataran praksis bisa jadi sulit diwujudkan. Menarik ketika Presiden Jokowi menghadapkan demokrasi dengan isme yang dianggap justru lebih bernuansa sektoral, primordial dan bahkan ekslusif. 

Keberadaan isme yang ekslusif dan berkembang dalam sebuah masyarakat, memang akan sangat mengganggu proses-proses demokrasi, terlebih jika isme ini justru lebih kuat mengakar dalam sebuah bangunan paradigma berpikir masyarakat. Hanya saja, bahwa keberadaan isme di negara manapun tetap ada sebagai sebuah bagian dari cara pandang masyarakat terhadap relitas sosial-politiknya. Namun sejauh mana isme-isme tersebut berpengaruh, tentu sangat ditentukan oleh baik-buruknya tingkat demokratisasi dalam sebuah negara-bangsa.

Demokrasi, bagi saya tidak hanya dipandang sebatas sistem sosial-politik yang membatasi dan mengatur setiap warga negara dalam menjalankan segala hak dan kewajibannya, namun demokrasi juga masuk dalam prosedur-prosedur kekuasaan politik secara formal yang mengatur bagaimana pemilihan umum terlaksana sekaligus bagaimana soal distribusi kekuasaannya. 

Disinilah saya kira, bahwa ketika Presiden Jokowi menyatakan demokrasi kita “kebablasan” berarti tidak semata dilihat dalam persepsi sistem sosial dengan menguatnya isme-isme yang berbenturan dengan semangat demokrasi, tetapi juga prosedur-prosedur politik formal yang juga “kebablasan” menabrak berbagai rambu yang ditetapkan oleh sistem demokrasi. Kita mungkin tahu, berapa banyak prosedur kepolitikan secara formal yang dilanggar dalam sebuah sistem kenegaraan, hanya untuk memenuhi kepentingan kekuasaan. Benar, bahwa dalam aktivitasnya, demokrasi yang saat ini berjalan seringkali “kebablasan” sebagaimana yang dikhawatirkan Presiden Jokowi.

Saya kira, Indonesia memiliki sejarah panjang soal demokrasi, karena berbagai istilah khas pernah digandengkan dengan demokrasi. Dulu zaman Soekarno, dikenal istilah Demokrasi Parlementer, kemudian ambruk dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin. Zaman rezim Orde Baru berkuasa, istilah demokrasi merujuk dan disesuaikan dengan Pancasila dan lahirlah Demokrasi Pancasila. Wacana demokrasi seakan sebuah ruang yang multitafsir, inkonsisten, rancu bahkan fallacies. Siapapun berhak untuk mengajukan atau membuat istilah sendiri-sendiri soal demokrasi, termasuk mungkin “demokrasi kebablasan”. 

Padahal, ketika istilah ini digulirkan oleh seorang pemimpin negara maka sama halnya dengan memberitahukan kepada publik, bahwa demokrasi di negeri ini masih berjalan pincang, tertatih-tatih, jatuh bangun menata demokrasi itu sendiri. Maka secara tidak langsung, pemerintah justru memiliki kelemahan dalam mengawal demokrasi, minimal yang berkaitan dengan soal kebebasan yang bertanggungjawab yang seharusnya terus disadarkan kepada masyarakat.

Makna “kebablasan” bisa saja dalam konteks “melewati batas” tidak lagi berada secara patuh dalam koridor sistem demokrasi yang sudah ada. Media “kebablasan” misalnya, berarti bahwa media sudah tidak lagi berimbang dalam memberikan informasi kepada masyarakat, tetapi media memberikan informasi sesuai “pesanan” karena adanya keberpihakan kepada pihak-pihak terkait. Sehingga akibat “kebablasan” seperti ini, munculah informasi-informasi “penyeimbang” seperti berita yang diikuti oleh informasi hoax didalamnya. 

Sama halnya dengan hukum “kebablasan” misalnya, bahwa seorang pejabat negara selevel gubernur dengan status tersangka tetapi bingung untuk memberhentikannya karena memang peraturan yang ada kurang memadai atau multi tafsir. Atau keberadaan publik belakangan ini yang santer melakukan kritik terhadap pemerintah, sehingga “kebablasan” menjadi sekelompok orang pembenci dan penghujat tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka.

Sepanjang yang saya pahami sejauh ini, Indonesia baru menjalankan demokrasi secara prosedural-formal dan itupun hanya sebatas lingkup periodik soal pergantian kekuasaan yang dikawal melalui proses pemilu. Demokrasi prosedural sejauh ini hanya dijalankan melalui pesta 5 tahunan yang dikenal kemudian dengan pesta demokrasi. Pesta demokrasi berarti ada hajatan besar untuk memilih dan mengganti pemimpin-pemimpin atau elit politik dalam masyarakat dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 

Demokrasi prosedural memang memiliki keuntungan secara politik, dimana proses distribusi dan rotasi kekuasaan selalu berputar dan berganti-ganti secara adil, sehingga kekuasaan politik tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok elit saja.walaupun pada prakteknya, seketat dan sebagus apapun aturan-aturan yang mengikat demokrasi prosedural, tetap saja masih ditemukan cara-cara tidak demokratis dalam menjalankan prosedurnya.

Saya sepakat, jika memang demokrasi “kebablasan” yang dimaksud adalah tidak sebatas pada cara pandang masyarakat terhadap realitas sosial-politik, tetapi termasuk juga sisi prosedural demokrasi yang berkait erat dengan aturan-aturan, hukum, perundang-undangan dan distribusi kekuasaan yang masih saja ada yang “kebablasan” menggerus setiap aturan formal yang telah disepakati dan dijunjung tinggi. 

Lagi pula, susah negeri ini—dan juga negeri lainnya—untuk menjalankan sebuah sistem demokrasi yang ideal karena bisa jadi hanya harapan yang mengawang-awang. Jika memang susah, kita bisa menjalankan “demokrasi aktual” yang disesuaikan dengan kebutuhan berdemokrasi di negeri ini. Yang perlu dikhawatirkan adalah alih-alih kita berjuang menjadi negeri demokratis malah sebaliknya “kebablasan” juga mencetak penguasa-penguasa otoriter yang bertentangan dengan demokrasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun