Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Demokrasi "Kebablasan" ala Jokowi

22 Februari 2017   23:03 Diperbarui: 24 Februari 2017   04:00 2648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sama halnya dengan hukum “kebablasan” misalnya, bahwa seorang pejabat negara selevel gubernur dengan status tersangka tetapi bingung untuk memberhentikannya karena memang peraturan yang ada kurang memadai atau multi tafsir. Atau keberadaan publik belakangan ini yang santer melakukan kritik terhadap pemerintah, sehingga “kebablasan” menjadi sekelompok orang pembenci dan penghujat tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka.

Sepanjang yang saya pahami sejauh ini, Indonesia baru menjalankan demokrasi secara prosedural-formal dan itupun hanya sebatas lingkup periodik soal pergantian kekuasaan yang dikawal melalui proses pemilu. Demokrasi prosedural sejauh ini hanya dijalankan melalui pesta 5 tahunan yang dikenal kemudian dengan pesta demokrasi. Pesta demokrasi berarti ada hajatan besar untuk memilih dan mengganti pemimpin-pemimpin atau elit politik dalam masyarakat dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 

Demokrasi prosedural memang memiliki keuntungan secara politik, dimana proses distribusi dan rotasi kekuasaan selalu berputar dan berganti-ganti secara adil, sehingga kekuasaan politik tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok elit saja.walaupun pada prakteknya, seketat dan sebagus apapun aturan-aturan yang mengikat demokrasi prosedural, tetap saja masih ditemukan cara-cara tidak demokratis dalam menjalankan prosedurnya.

Saya sepakat, jika memang demokrasi “kebablasan” yang dimaksud adalah tidak sebatas pada cara pandang masyarakat terhadap realitas sosial-politik, tetapi termasuk juga sisi prosedural demokrasi yang berkait erat dengan aturan-aturan, hukum, perundang-undangan dan distribusi kekuasaan yang masih saja ada yang “kebablasan” menggerus setiap aturan formal yang telah disepakati dan dijunjung tinggi. 

Lagi pula, susah negeri ini—dan juga negeri lainnya—untuk menjalankan sebuah sistem demokrasi yang ideal karena bisa jadi hanya harapan yang mengawang-awang. Jika memang susah, kita bisa menjalankan “demokrasi aktual” yang disesuaikan dengan kebutuhan berdemokrasi di negeri ini. Yang perlu dikhawatirkan adalah alih-alih kita berjuang menjadi negeri demokratis malah sebaliknya “kebablasan” juga mencetak penguasa-penguasa otoriter yang bertentangan dengan demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun