Sama halnya dengan hukum “kebablasan” misalnya, bahwa seorang pejabat negara selevel gubernur dengan status tersangka tetapi bingung untuk memberhentikannya karena memang peraturan yang ada kurang memadai atau multi tafsir. Atau keberadaan publik belakangan ini yang santer melakukan kritik terhadap pemerintah, sehingga “kebablasan” menjadi sekelompok orang pembenci dan penghujat tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka.
Sepanjang yang saya pahami sejauh ini, Indonesia baru menjalankan demokrasi secara prosedural-formal dan itupun hanya sebatas lingkup periodik soal pergantian kekuasaan yang dikawal melalui proses pemilu. Demokrasi prosedural sejauh ini hanya dijalankan melalui pesta 5 tahunan yang dikenal kemudian dengan pesta demokrasi. Pesta demokrasi berarti ada hajatan besar untuk memilih dan mengganti pemimpin-pemimpin atau elit politik dalam masyarakat dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Demokrasi prosedural memang memiliki keuntungan secara politik, dimana proses distribusi dan rotasi kekuasaan selalu berputar dan berganti-ganti secara adil, sehingga kekuasaan politik tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok elit saja.walaupun pada prakteknya, seketat dan sebagus apapun aturan-aturan yang mengikat demokrasi prosedural, tetap saja masih ditemukan cara-cara tidak demokratis dalam menjalankan prosedurnya.
Saya sepakat, jika memang demokrasi “kebablasan” yang dimaksud adalah tidak sebatas pada cara pandang masyarakat terhadap realitas sosial-politik, tetapi termasuk juga sisi prosedural demokrasi yang berkait erat dengan aturan-aturan, hukum, perundang-undangan dan distribusi kekuasaan yang masih saja ada yang “kebablasan” menggerus setiap aturan formal yang telah disepakati dan dijunjung tinggi.
Lagi pula, susah negeri ini—dan juga negeri lainnya—untuk menjalankan sebuah sistem demokrasi yang ideal karena bisa jadi hanya harapan yang mengawang-awang. Jika memang susah, kita bisa menjalankan “demokrasi aktual” yang disesuaikan dengan kebutuhan berdemokrasi di negeri ini. Yang perlu dikhawatirkan adalah alih-alih kita berjuang menjadi negeri demokratis malah sebaliknya “kebablasan” juga mencetak penguasa-penguasa otoriter yang bertentangan dengan demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H