Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ormas Radikal, Benarkah Ada?

24 Januari 2017   15:19 Diperbarui: 24 Januari 2017   15:25 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini pemberitaan perihal organisasi masyarakat (ormas) yang disebut-sebut menganut ideologi “radikal” seakan dialamatkan kepada kelompok tertentu yang sering muncul dalam ulasan pemberitaan di berbagai media, baik konvensional atau sosial. Ormas ini dianggap sebagai mereka yang tidak suka kebhinekaan dan tidak sejalan dengan ideologi negara, Pancasila. Padahal, sedemikian banyak ormas di Indonesia yang mungkin tidak semuanya kita tahu bisa jadi lebih berpaham “radikal” dan bahkan menolak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. 

Para netizen-pun beramai-ramai melontarkan kritik tajam kepada ormas radikal, bahkan banyak yang tanpa tedeng aling-aling meminta agar pemerintah segera membubarkan ormas radikal yang seringkali meresahkan masyarakat. Saya juga tidak begitu paham, apa dan bagaimana sebuah ormas yang dikategorikan sebagai berideologi “radikal” yang dimaksud, walaupun kita semua tahu, bahwa ormas “radikal” yang selama ini dimaksud kemungkinan adalah FPI, pimpinan Rizieq Shihab.

Seakan menjadi sebuah “hajatan besar” di ranah media sosial (medsos) bahwa banyak pihak yang mengklaim atas kebenaran kelompoknya dan menuding kelompok lain sebagai ormas yang anti-pancasila dan anti-kebhinekaan. Tema besar dengan mengatasnamakan “menjaga NKRI”, “Pancasilais”, “Merawat Kebhinekaan” nampaknya bercampur aduk dengan pembelaan terhadap agama, ulama dan fanatisme terhadap pemimpin-pemimpin mereka sendiri. 

Nampaknya, Pancasila sudah menjadi “rebutan” banyak pihak, sehingga justru aneh bahwa Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang sudah puluhan tahun tidak pernah dipersoalkan malah belakangan menjadi klaim kebenaran yang diperebutkan banyak pihak. Pemerintah yang seharusnya pemegang sah atas “tafsir” Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika juga tampak ambigu dan kurang bersikap tegas terhadap banyak penyimpangan atau penafsiran yang serampangan terhadap konsep ideologi negara ini.

Istilah “radikal” sendiri mungkin saja mengacu kepada paham atau gerakan yang dilakukan untuk mengubah secara fundamental tatanan sosial ataupun politik, sehingga semangat perubahan yang dibawa terkadang tampak ekstrem, tidak terukur dan seringkali berdampak pada kekerasan sosial. Keinginan yang kuat untuk “merubah” sesuatu walaupun harus melawan mainstream, seringkali dianggap sebagai implementasi kekuatan radikal. 

Saya kira, istilah “radikal” tidak kemudian dianggap sebagai fenomena yang selalu negatif, karena dalam beberapa hal, radikal justru bisa merubah sesuatu menjadi lebih positif dan berkemajuan. Misalnya ketika seseorang yang merubah cara hidupnya atau mindset-nya ke arah yang lebih baik dan berkemajuan, upaya radikal akan lebih mempercepat proses-proses ke arah perubahannya tersebut. Sehingga, bagi saya, istilah “radikal” dapat menjadi sesuatu yang lebih positif tergantung dimana dan kapan metode ini dijalankan.

Hanya saja, bahwa solidaritas yang begitu kuat terbangun dalam sebuah kelompok sosial (ormas) bisa berdampak kepada integrasi atau disintegrasi nasional secara menyeluruh. Jika sebuah kelompok terbangun berdasarkan solidaritas secara primordial—baik secara agama, suku atau budaya—yang kemudian memperbesar segala macam “perbedaan” atau bahkan mempertajam setiap perbedaan yang ada dengan kelompok sosial lainnya, maka yang terjadi adalah disintegrasi sosial, masyarakat akan mudah terkotak-kotakan karena fanatisme kelompok yang sedemikian besar. 

Namun, jika solidaritas kelompok hanya tumbuh dan berkembang berdasarkan kesamaan nilai, keyakinan atau budaya tanpa mempertajam perbedaan dengan kelompok lain diluar dirinya, maka dia bisa berpengaruh secara positif terhadap proses integrasi sosial-politik (nasional) tanpa harus membedakan antara “kita” dan “mereka”.

Sejauh ini, persoalan ormas yang dianggap “radikal” oleh sebagian masyarakat masih didasarkan oleh opini-opini yang berkembang yang seakan-akan bentuk arogansi, pemaksaan kehendak atau perbedaan pendapat yang dibawa oleh sebuah kelompok sosial atau ormas tertentu sudah cukup dijadikan alasan bahwa mereka bagian dari ormas radikal. Padahal, persoalan lebih banyak terletak pada perbedaan cara pandang atau pendapat terhadap persoalan yang menyangkut hal-hal yang terkait dengan situasi sosial dan politik yang ada. Kekerasan-kekerasan yang terjadi—jikapun ada—bukan pada perbedaan tajam antara “kita” dan “mereka” tetapi lebih banyak karena “gesekan kepentingan” yang digulirkan sebagian oknum, bukan ekstrimisme yang dibangun secara sengaja oleh ormas itu sendiri. Jadi bagi saya, cap “radikal” yang kemudian disematkan kepada ormas tertentu sehingga muncul keinginan sebagian masyarakat untuk membubarkan mereka dinilai masih kurang tepat, baik dilihat dari substansi undang-undang keormasan atau aturan berdemokrasi.

Masyarakat lebih banyak dimainkan opininya oleh informasi-informasi yang kurang seimbang yang berasal dari media. Membanjirnya informasi yang begitu banyak seringkali mengandung banyak hal yang kontradiktif sehingga masyarakat kesulitan memilah dan memilih mana informasi yang mengandung kebenaran pada akhirnya. Informasi yang berlebihan (overload) membuat masyarakat pada akhirnya kurang kritis karena mereka akan secara langsung menelan setiap informasi yang ada. 

Celakanya, bahwa masyarakat tidak dibekali kemampuan yang kritis dalam mengolah beragam informasi dan bahkan cenderung hanya menjadi korban pemberitaan yang bias dari media massa. Inilah mengapa kemudian, seakan-akan bahwa masing-masing kelompok masyarakat saling dibenturkan satu dengan lainnya hanya karena informasi yang gagal menyampaikan realitas sosial-politik yang sesungguhnya. Informasi-informasi palsu (hoax) dan berita-berita bernada provokatif dan mengumbar kebencian pada akhirnya membelah opini masyarakat dan dengan mudahnya kemudian memberikan label “radikal” kepada kelompok yang dibencinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun