Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ormas Radikal, Benarkah Ada?

24 Januari 2017   15:19 Diperbarui: 24 Januari 2017   15:25 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk membubarkan ormas radikal justru tidak akan mampu terpenuhi, karena memang jika dilihat dari bentuk solidaritas sosial yang terbangun yang melekat dalam sebuah ormas sejauh ini belum memenuhi unsur-unsur radikalisme atau kekerasan. Pun tidak sampai mempertajam ke arah perbedaan yang ada dari setiap segmentasi sosial, yang ada hanyalah terbentuknya opini yang secara massif sehingga mereka kemudian lebih memperkuat solidaritas sosial mereka terhadap kelompoknya masing-masing sebagai bentuk “pertahanan” dan “penguatan” karena kekhawatiran lunturnya ikatan-ikatan “emosional” diantara mereka. 

Inilah kemudian yang diungkapkan Mendagri bahwa tidak mudah membubarkan ormas karena terikat dengan undang-undang yang berlaku, apalagi ormas tersebut tidak melanggar undang-undang. Kalaupun terjadi pelanggaran-pelanggaran, itu hanyalah perbuatan oknum yang secara tegas akan diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menghukum dan membubarkan adalah dua hal yang tidak bisa dikaitkan karena tidak mungkin “oknum” yang melanggar hukum dalam sebuah organisasi lalu kemudian organisasinya malah dibubarkan.

Hemat saya, suasana kondusif dapat tercipta dari political will pemerintah untuk menertibkan media-media yang tidak berimbang dalam menyampaikan informasi kepada publik tanpa berpretensi kepada media resmi atau “tidak resmi” selama membuat atau menyebarkan informasi yang tidak berimbang bahkan palsu sudah seharusnya diambil tindakan hukum. Masyarakat juga tidak membuat opini tanpa dasar sehingga sangat mudahnya memberikan label “radikal” terhadap ormas tertentu hanya karena perbedaan soal pilihan politik. Masyarakat masih belajar berdemokrasi, sehingga riak-riak kecil yang terjadi harus dianggap sebagai sebuah pembelajaran menuju masyarakat yang lebih demokratis yang sesungguhnya. 

Untuk mencapai sebuah kematangan budaya politik, perlu asimilasi dan persatuan dalam keanekaragaman (Bhineka Tunggal Ika) sehingga kesadaran masyarakat akan setiap “perbedaan” lebih mudah terintegrasikan. Pemerintah juga tidak “tebang-pilih” terhadap keragaman sosial yang ada sehingga masing-masing kelompok sosial tetap diberlakukan secara adil ketika terjadi “benturan” perbedaan.    

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun