Mungkin tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa sebenarnya dalam beberapa hal memang ulama terkadang selalu terlibat atau melibatkan dirinya dengan urusan-urusan politik. Walaupun diantara keduanya (ulama dan politik) merupakan dua bentuk entitas yang sama sekali berbeda. Ulama dalam terminologi Islam lebih memberikan dampak kemanfaatan dan kebaikan bagi seluruh umat, karena para ulama adalah mereka yang secara kepribadian memiliki pengetahuan yang luas serta keutamaan (fadlilah) atau kelebihan dibanding kebanyakan manusia. Ulama diistimewakan kedudukannya karena dianggap sebagai “penerus” para Nabi dalam hal agama (secara sanad) sekaligus sebagai pemimpin umat. Artinya, para ulama adalah “orang-orang istimewa” karena kedekatan dan ketaatan mereka kepada Tuhan, “Innama Yakhsyallahu min ‘ibaadihi al-‘ulamaa..” (QS. Faathir: 28).
Entah kenapa, belakangan ini istilah ulama terkesan memiliki makna yang justru paradoks bahkan umat saling berebut klaim mengenai keulamaan seseorang. Seakan terdapat dua kategori ulama dalam pandangan realitas sosial kekinian, ulama yang berkhidmat kepada perjuangan “politik” dengan mengandalkan kekuatan penggalangan massa, propaganda dan ulama yang berkhidmat untuk umat yang senantiasa memberikan pencerahan, menebar kedamaian dan cenderung menjauhi aksi-aksi politik.
Tak jarang, banyak ulama yang saat ini nyaman berada di menara gading keilmuannya, cenderung diam, hanya belajar dan mengajarkan yang bermanfaat untuk umatnya tidak ikut-ikutan terjun kedalam hiruk-pikuk praksis politik atau kekuasaan. Makna ulama sebagai pembimbing dan peneduh umat belakangan malah semakin dikaburkan oleh adanya dorongan kepentingan-kepentingan pribadi yang mengedepankan sentimen ego dan nafsu keduniaan.
Istilah “ulama” dalam tradisi Islam dikenal sebagai sosok yang ditanamkan dalam hatinya rasa kasih sayang (ruhama) karena mereka dianggap sebagai pembela dan pengayom umat. Para ulama juga merupakan umat pilihan (akhyarul ummah) karena keluasan ilmunya dan kesalehannya melebihi rata-rata manusia kebanyakan.
Jadi agak sedikit membingungkan jika saat ini ada sementara umat yang mengklaim sedang “membela ulama” karena seharusnya ulama-lah yang membela umat bukan sebaliknya. Karena kita tahu, ketika ajaran Islam memberikan posisi tinggi kepada para ulama berarti mereka merupakan “orang-orang pilihan” yang mewarisi sifat-sifat kenabian yang berjuang demi kemaslahatan umat. Dalam hal ini, tentu umat akan merasakan begitu damai dan tentramnya bersanding atau dekat dengan para ulama, bukan malah kecurigaan atau ketakutan terhadap mereka yang justru dipandang sebagai “ulama”.
Sejarah Islam awal memang tidak mengenal istilah ulama yang terlembaga dalam sebuah sistem kenegaraan, karena status para ulama memiliki derajat tinggi (superior) berdasarkan keilmuan dan kesalehan yang melekat dalam dirinya. Baru pada masa-masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah status ulama dilembagakan oleh kerajaan guna membentuk sistem yang lebih efisien dan institusi keagamaan yang kuat dalam membangun nilai-nilai masyarakat yang Islami.
Dimulai oleh pelembagaan ajaran fiqh yang diinisiasi oleh Malik bin Anas (w.795) dengan menyusun ringkasan-ringkasan yang diberi nama al-Muwattha (jalan yang paling sering ditempuh) selama ia berada di Madinah. Al-Muwattha memperlihatkan bagaimana rincian-rincian hukum adat dan praktek keagamaan yang diyakini baliau sebagai jalan yang ditempuh oleh Nabi (sunnah). Dari sinilah kemudian para murid Imam Malik mempopulerkan Madzhab Maliki yang tersebar di Madinah, Mesir dan Afrika Utara.
Namun walaupun ada sebagian ulama yang tidak yakin bahwa praktek-praktek keagamaan di Madinah menjadi panduan utama dalam Islam, maka salah seorang murid Malik, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w.820) membuat asumsi-asumsi baru dalam hukum Islam, bahwa seharusnya kerangka hukum tidak didasarkan pada praktek Nabi saw di Madinah saja tetapi harus berkesesuaian dengan mata rantai (isnad) yang ada dalam hadits Nabi yang menghubungkan muslim yang taat hingga sampai kepada Nabi.
Dari sinilah kemudian Syafi’i membuat teori “landasan” hukum Islam (ushul fiqh) yang bersumber dari al-Quran, Sunnah, Qiyas (analogi) dan ijma’ (konsensus). Landasan teori hukum Islam yang digagas Imam Syafi’i kemudian semakin berkembang dalam beragam ranah keilmuan Islam, termasuk hadits, tafsir, sejarah dan bahkan tashawwuf. Dalam dunia Islam, kemudian dikenal dengan berbagai macam madzhab (metodologi) dalam perkembangan ajaran Islam, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Mereka adalah ulama-ulama pada zamannya yang memilki dinamika kelimuan yang beragam dan memberi keteduhan dan kemanfaatan kepada umat.
Para ulama yang menginisiasi madzhab dalam praktek keagamaan Islam inilah yang dinilai sebagai para ulama yang saleh karena tujuan utama justru adalah memberi teladan dan kemanfaatan kepada umat tanpa terlibat dalam pretensi politik apapun. Walaupun mereka berbeda pandangan bahkan berbenturan satu sama lain soal praktek keagamaan, tetapi tetap menjadi pembela umat dan pemberi maslahat kepada umatnya.
Padahal, kondisi keislaman pada waktu itu benar-benar berada dalam praktek aristokrasi-absolut, dimana kebanyakan hukum tidak diberlakukan kepada para raja atau keturunannya. Kondisi keislaman pada masa-masa Umayyah dan Abbasiyah memang pasang-surut karena banyak timbul fitnah dan kekacauan akibat perebutan kekuasaan politik. Namun, sikap para ulama tetap konsisten untuk memberikan rasa teduh kepada umat tidak memprovokasi agar umat melakukan perlawanan kepada penguasa.
Saya justru beranggapan bahwa ketika mereka yang dianggap sebagai ulama oleh sebagian kalangan lalu tidak membuat teduh umat malah membuat gaduh bagi umat justru perlu dipertanyakan keulamaannya. Karena sebagaimana Nabi saw mengungkapkan, bahwa para ulama adalah mereka yang ditanamkan kedalam dirinya kebaikan-kebaikan sehingga memahami betul hakikat keberagamaan dalam diri mereka (man yuridillahu bihi khairon yufaqquhu fi al-ddiin).
Ulama seperti inilah sesungguhnya yang berhak menyandang predikat “pewaris” Nabi dalam soal keagamaan. Karena Nabi selalu ada ditengah-tengah umatnya memberikan manfaat yang begitu besar dengan keilmuan dan kepribadian dirinya yang mengagungkan. Bahkan, dalam melakukan orasi keagamaan, misalnya, Nabi saw tidak pernah mengeraskan suaranya dengan emosi yang meluap-luap, kecuali ketika beliau berbicara mengenai Hari Kiamat. Kepribadian Nabi saw seperti ini harus menjadi teladan bagi para ulama yang saat ini justru selalu dibutuhkan sebagai pengayom, pelindung, pemberi kebaikan dan kemanfaatan serta keteduhan kepada seluruh umat Islam.
Lagi pula, ulama sebagai panutan umat bukanlah sosok yang kebal terhadap kritik, karena dalam tradisi keilmuan Islam, saling kritik antarulama sudah menjadi hal yang biasa. Kita tentu bisa melihat bagaimana sejarah pemikiran Islam menggambarkan kritik tajam yang diungkapkan Ibnu Rusyd kepada al-Ghazali mengenai konsep filsafat dan tashawwuf.
Saya kira, ulama bukanlah pribadi ma’shum (terpelihara dari dosa) sebagaimana Nabi Muhammad, tetapi mereka adalah orang-orang yang diberikan “kelebihan” dalam hal kebaikan dan pengetahuan oleh Allah sehingga sebagai manusia biasa bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan. Mengkritik ulama tidak lantas kemudian dianggap sebagai anti-ulama, tetapi justru mengingatkan agar para ulama kembali kepada khittah-nya semula, sebagai pelindung, pemberi kemanfaatan dan keteduhan kepada seluruh umat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H