Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ulama dan Politik

18 Januari 2017   13:02 Diperbarui: 18 Januari 2017   13:08 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya justru beranggapan bahwa ketika mereka yang dianggap sebagai ulama oleh sebagian kalangan lalu tidak membuat teduh umat malah membuat gaduh bagi umat justru perlu dipertanyakan keulamaannya. Karena sebagaimana Nabi saw mengungkapkan, bahwa para ulama adalah mereka yang ditanamkan kedalam dirinya kebaikan-kebaikan sehingga memahami betul hakikat  keberagamaan dalam diri mereka (man yuridillahu bihi khairon yufaqquhu fi al-ddiin). 

Ulama seperti inilah sesungguhnya yang berhak menyandang predikat “pewaris” Nabi dalam soal keagamaan. Karena Nabi selalu ada ditengah-tengah umatnya memberikan manfaat yang begitu besar dengan keilmuan dan kepribadian dirinya yang mengagungkan. Bahkan, dalam melakukan orasi keagamaan, misalnya, Nabi saw tidak pernah mengeraskan suaranya dengan emosi yang meluap-luap, kecuali ketika beliau berbicara mengenai Hari Kiamat. Kepribadian Nabi saw seperti ini harus menjadi teladan bagi para ulama yang saat ini justru selalu dibutuhkan sebagai pengayom, pelindung, pemberi kebaikan dan kemanfaatan serta keteduhan kepada seluruh umat Islam.

Lagi pula, ulama sebagai panutan umat bukanlah sosok yang kebal terhadap kritik, karena dalam tradisi keilmuan Islam, saling kritik antarulama sudah menjadi hal yang biasa. Kita tentu bisa melihat bagaimana sejarah pemikiran Islam menggambarkan kritik tajam yang diungkapkan Ibnu Rusyd kepada al-Ghazali mengenai konsep filsafat dan tashawwuf. 

Saya kira, ulama bukanlah pribadi ma’shum (terpelihara dari dosa) sebagaimana Nabi Muhammad, tetapi mereka adalah orang-orang yang diberikan “kelebihan” dalam hal kebaikan dan pengetahuan oleh Allah sehingga sebagai manusia biasa bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan. Mengkritik ulama tidak lantas kemudian dianggap sebagai anti-ulama, tetapi justru mengingatkan agar para ulama kembali kepada khittah-nya semula, sebagai pelindung, pemberi kemanfaatan dan keteduhan kepada seluruh umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun