Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Keislaman, Kearaban dan Keindonesiaan

15 Januari 2017   10:10 Diperbarui: 15 Januari 2017   13:13 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Islam.ru

Pidato politik Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri pada acara HUT Partai berlambang banteng beberapa waktu lalu sedikit menyinggung soal Islam yang disebutnya secara eksplisit sebagai bukan Arab. 

Banyak pihak menilai, bahwa ungkapan pidato Megawati tersebut sebenarnya ditujukan kepada kelompok muslim tertentu di Indonesia yang cenderung “kearab-araban” yang sering menonjolkan identitasnya melalui beragam simbol dan budaya Arab, baik dari sisi penampilan, berpakaian dan mungkin juga  “cara berpikir” mereka. 

Kelompok ini bahkan sering dikaitkan dengan kalangan Islam “garis keras” karena dikenal “tanpa kompromi” dalam memaknai banyak hal yang “berbeda” diluar dirinya. Walaupun Megawati menyebut agama lain juga sebagai “sindiran”, namun tujuan utama jelas mengarah kepada kalangan Islam.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa terkadang stigmatisasi sebagian orang terhadap “Islam Arab” atau “Islam bukan Arab” telah menimbulkan banyak asumsi negatif. Istilah yang pertama selalu dihubungkan dengan “kearaban” yang ditunjukkan melalui identitas dan simbol bahkan budaya Arab yang dibawa sebagai bagian dari prilaku keagamaannya. 

Pandangan terhadap Islam yang “kearaban” melalui identitas “imamah” (serban yang menutupi kepala) dan jubah atau gamis, berjenggot—terkadang celana cingkrang—selalu diidentikkan dengan kalangan Islam “garis keras”. Terlebih bahwa kelompok ini disebut sebagai “penentang” keras kelompok sekuler dan tidak dapat berkompromi dengan kelompok muslim moderat kebanyakan lainnya.

Untuk istilah kedua, nampaknya diwakili oleh kelompok muslim moderat yang cenderung luwes dan akomodatif terhadap penerimaan terhadap beragam “perbedaan” yang ada di luar dirinya. Saking moderatnya, kalangan Islam ini kemudian dianggap sebagai bagian dari Islam berwajah Nusantara yang jelas ditunjukkan oleh simbol-simbol keindonesiaan tanpa secara ketat mengadopsi simbol-simbol kearaban. 

Kopiah, kain sarung, baju koko atau baju putih cukup sebagai bentuk perwakilan dari identitas muslim yang bercita rasa Nusantara. Nampaknya, simbolisasi antara “keindonesiaan” dan “kearaban” dijadikan dikotomi tersendiri oleh sebagian kalangan dalam memandang kelompok Islam di Indonesia, padahal jelas ini bisa menjadi sebuah kekeliruan besar. Melakukan dikotomisasi antara Islam dan Arab yang seakan-akan ketika terwujud dalam masyarakat Indonesia menjadi dua entitas yang terpisah justru sangat ahistoris.

Ketika kita kembali membaca sejarah mengenai bagaimana Islam berkembang di Indonesia, tentu tak bisa dilepaskan dari pengaruh para penyebar Islam yang berasal dari kawasan Arab. Bahkan kita harus mengakui bahwa para pedagang Arab yang datang ke Indonesia banyak juga yang melakukan perkawinan dengan penduduk lokal sehingga budaya Arab tentu mempengaruhi budaya masayarat lokal dalam banyak hal. Bahkan, dari sisi bahasa, serapan kata-kata Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia tidaklah sedikit. 

Sebut saja dalam hal sosial-politik, “dewan”, “rakyat”, “musyawarah”, “wakil”, “siasat”, merupakan kata-kata serapan yang murni berasal dari bahasa Arab. Ini artinya, ketika kemudian dinyatakan, mislanya, “kalau mau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab” untuk kasus Indonesia merupakan ungkapan yang ahistoris bahkan terlampau naif. Hal ini karena, bahwa Keislaman, Kearaban dan Keindonesiaan justru memiliki keterkaitan jelas secara historis karena penyebar Islam-pun sebenarnya berasal dari Arab yang kemudian menjadi seorang Indonesia.

Kita tak bisa juga pungkiri bahwa banyak di antara para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia juga berasal dari keturunan Arab atau menyematkan identitas “kearaban” dalam dirinya sebagai “pembeda” dengan identitas para penjajah. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol merupakan sebagian dari pejuang kemerdekaan yang juga identik dengan simbolisasi Arab dan mereka tidak pernah mempersoalkan antara Islam dengan Arab atau Indonesia dengan Arab. 

Seorang seniman ternama, Raden Saleh juga merupakan keturunan Arab karena neneknya adalah Sayid Awadh bin Yahya yang datang dari Hadramaut ke Indonesia pada abad 18. Para keturunan Arab bahkan di Batavia sendiri sudah sejak abad 18 menempati daerah Pekojan, Krekot dan Tanah Abang.

Belum lagi para ulama Indonesia pejuang kemerdekaan yang sebagian besar merupakan tokoh-tokoh agama kharismatis yang lebih diakui legitimitas keilmuannya karena memang telah bertahun-tahun hidup dan belajar di Negeri kelahiran Rasulullah. Ini jelas menunjukkan bahwa ada keterikatan yang sangat erat antara Islam Indonesia dan Arab dan tentu saja keduanya tidak bisa dipisahkan. 

Dikotomisasi antara Islam Arab dan Islam bukan Arab hanya akan membangun kerancuan dalam memahami aspek keislaman yang dikaitkan dengan keindonesiaan. Memberikan pernyataan mengenai, “kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab” seakan-akan mengandung makna implisit bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan Arab dan Arab dipandang memiliki bangunan budaya yang tidak humanis, kasar, tak kenal kompromi atau tidak toleran terhadap beragam perbedaan. Padahal kita tahu, Islam di Kepulauan Nusantara hadir melalui jalan damai yang dirintis oleh orang-orang Arab dan juga India.

Saya kira, dalam hal perbedaan pilihan politik, seringkali kita terjebak dalam arus absolutisme atau fanatisme, sehingga tak jarang bahwa perbedaan politik selalu melahirkan dikotomisasi antara “kita” dan “mereka”. Bahkan, seringkali perbedaan yang terjadi dalam soal politik telah membentuk mereka yang “berbeda” sebagai musuh bukan menjadi “partner” dalam sebuah proses interaktif-dialogis dalam kerangka pembangunan demokrasi. 

Kita ini masih mudah menjadi kerdil dan picik dan tak jarang terkungkung dalam aura emosional yang mendalam hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik. Inilah sebabnya mengapa Indonesia masih perlu belajar banyak menerima setiap perbedaan, setiap keragaman dan berdemokrasi secara politik. Demokrasi tidak dipahami hanya sebatas pelaksanaan pemilu secara berkala, tetapi bagaima setiap kita mampu memahami dan menerimaan setiap perbedaan yang ada.

Alangkah bijaksananya ketika seorang pemimpin politik justru mampu merangkul semua pihak dalam suasana kebersamaan walaupun kenyataannya memiliki perbedaan pilihan politik. Bukan justru malah menambah suasana semakin tidak kondusif dan malah begitu mudahnya kita memandang dan menganggap seseorang atau kelompok lain yang “berbeda” justru  sebagai pihak yang harus diperlakukan sebagai “musuh” bukan “pertner”. 

Para pemimpin politik di negeri ini sama-sama masih memiliki “sumbu pendek” yang mudah sekali “terhasut” oleh berbagai masukan informasi yang justru berhembus secara “provokatif” dari internal kader mereka sendiri. Padahal, membangun suasana interaktif-dialogis secara terbuka tanpa harus memandang pihak lain sebagai penganut “ideologi tertutup” adalah sikap seorang negarawan yang justru peduli tentang keindonesiaan yang berkemajuan dan berperadaban. Jadilah pemimpin politik yang negarawan dan demokratis bukan pemimpin politik yang arogan dan otoriter!

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun