Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi dalam Identitas "Kesantrian" dan Keindonesiaan

9 Januari 2017   16:47 Diperbarui: 10 Januari 2017   11:10 2202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: nasional.kompas.com

Mungkin banyak orang yang menilai, bahwa kehadiran Presiden Joko Widodo pada serangkaian kunjungan ke Jawa Tengah yang khusus menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Kanzus Sholawat, Pekalongan, Jawa Tengah adalah tak lebih sekadar sebuah pencitraan politik. Foto Presiden Jokowi yang mengenakan kain sarung “khas santri” lengkap dengan setelan jas dan kopeah hitamnya sempat menjadi viral di media sosial dengan beragam penilaian netizen terhadap dirinya. Baik pendukung dan pengkritik Jokowi memberikan statement-nya masing-masing dengan nada yang juga sama-sama 'nyinyir', padahal sebuah kunjungan adalah bentuk lain dari sebuah silaturrahim yang tidak harus dinilai secara 'berlebihan'. Tidak semua orang berkesempatan untuk melakukan silaturrahim, kecuali memang dengan dasar keinginan yang kuat tanpa ada embel-embel lain dibelakang makna silaturrahim itu sendiri.

Kehadiran Presiden Jokowi ke Jawa Tengah adalah dalam rangka kunjungan kerja ke wilayah Batang dan Pekalongan. Sebelum meresmikan proyek Pembangkit Listik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan jalan tol di Kabupaten Batang, Presiden pada 8 Januari 2017 hadir dalam perhelatan acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Gedung Kanzus Sholawat, Pekalongan, Jawa Tengah. Kanzus Sholawat tidak lain merupakan tempat berkumpulnya para jama’ah pengajian yang dipimpin langsung seorang ulama kharismatis asal Pekalongan, yaitu Habib Lutfi bin Yahya. Habib “nyentrik” penyuka musik klasik ini merupakan pimpinan tarekat se-Indonesia yang terhimpun dalam Jami’yah Ahlu Thoriqoh al-Mu’tabarah al-Nahdliyah dan sekaligus beliau adalah salah satu anggota Syuriyah (penasehat) PBNU. Saya kira, kedatangan Presiden Jokowi ke Pekalongan tak bisa dilepaskan dari keberadaan Habib Lutfi bin Yahya yang dikenal sebagai tokoh agama yang kharismatik.

Adalah hampir menjadi sebuah keraguan banyak pihak, bahwa Presiden Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya ke Jawa Tengah, mau menyempatkan diri menghadiri Maulid di Pekalongan yang justru bersifat lokal, bukan nasional. Keberadaan Habib Lutfi yang diakui sebagai “pemimpin” para habaib se-Indonesia yang saat itu dikunjungi Jokowi paling tidak memberikan sinyal positif tentang hubungan baik antara pemerintah dan para habaib di Indonesia. Ketika pemimpin habaib-nya saja dengan tangan terbuka menerima kunjungan Presiden, berarti bahwa anggapan selama ini tentang  adanya perseteruan antara kelompok habaib yang konon bernaung di salah satu ormas Islam dengan pemerintah justru mudah sekali ditepis. Saya kira, kunjungan Jokowi pada kegiatan Maulid di Kanzus Sholawat, Pekalongan, tidak harus juga dinilai sebagai kunjungan biasa, tetapi dalam rangka menjalin silaturrahim dan mempererat ukhuwah Islamiyah dan tentu saja membawa pesan-pesan perdamaian.

Di tengah merebaknya isu berita palsu (hoax) dan fitnah yang mudah didapatkan di berbagai situs jejaring sosial, justru menjadi semakin mudah menjadi alat bagi pemecah bagi seluruh elemen bangsa ini. Di sinilah saya kira, pentingnya sebuah silaturrahim itu dijaga dan dilestarikan, karena dengan silaturrahim, elemen-elemen bangsa yang terpecah akan lebih mudah dipersatukan dan dikuatkan kembali. Islam sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dan melarang perpecahan dan permusuhan. Hal ini sebagaimana disinggung dalam sebuah ayat al-Quran, surat ali-Imron ayat 103, “Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada agama Allah dan janganlah kalian terpecah-belah…” (wa’tashimuu bi hablillahi jami’an wala tafarraqu). Silaturrahim adalah bagian dari perintah agama yang jika selalu dijalankan maka niscaya akan terhindar dari perpecahan dan permusuhan.

Menarik memang melihat kunjungan Presiden Jokowi ke Pekalongan kali ini, karena setelah 3 tahun menjabat sebagai Presiden, Jokowi baru kali ini menyempatkan diri ditengah kesibukannya menghadiri acara Maulid Nabi yang memang selalu digelar setiap tahun di Kanzus Sholawat yang juga selalu dihadiri oleh Habib Lutfi bin Yahya. Tokoh agama Islam ini cukup dikenal di Indonesia karena memang sebagai pemimpin Jama’ah tarekat. Ketokohannya yang kharismatik tidak saja dihormati oleh kalangan habaib di Indonesia, tetapi oleh mereka yang terikat dengan jalinan tarekat yang tersebar cukup banyak di seluruh wilayah Nusantara. Jama’ah tarekat diketahui sebagai kelompok tashawwuf yang gandrung akan dzikir, sholawat dan senantiasa melakukan riyadlah sebagai jalan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Kelompok tarekat pada umumnya memiliki keterikatan yang kuat antara mursyid (guru spiritual) dan para pengikutnya.

Presiden Jokowi juga membawa pesan-pesan khusus mengenai perdamaian dan keindonesiaan, sebagaimana ketika ia mengunjungi Pesantren at-Taufiqy di Pekalongan. Sejak turun dari pesawat kepresidenan, Presiden Jokowi sudah mempersiapkan dirinya menjadi bagian dari identitas kesantrian dengan busana yang khas dipakai para santri dan kyai. Saya kira, sebuah identitas itu perlu diperlihatkan, terlebih ketika berada di lingkungan pesantren, karena identitas merupakan sebuah “pengakuan” akan sebuah budaya yang dijunjung tinggi di daerah tersebut. Saya kira menjadi momen yang sangat jarang kita lihat, bahwa seorang kepala negara yang sedang dalam tugas kenegaraan tanpa sungkan memberikan “pengakuan” akan identitas kesantrian dan keindonesiaan. Sarung dan kopiah merupakan bagian dari budaya khas “Islam Indonesia” yang umumnya dipakai oleh mereka yang hidup di lingkungan pesantren.

Saya kira penting untuk mempertegas identitas keindonesiaan dan sekaligus “keislaman” yang menunjukkan suasana kenusantaraan daripada menonjolkan budaya bangsa lain seperti “kearab-araban”. Penting kiranya untuk memahami bahwa Islam bukanlah Arab dan Arab bukanlah Islam, tetapi Islam selalu memiliki keterkaitan dengan budaya yang hidup dalam masyarakatnya. Nabi Muhammad-pun sebagai pembawa ajaran Islam tidak hanya hadir untuk bangsa Arab, tetapi hadir dan menjadi bagian dari alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Islam bersifat kosmopolitan, ia bisa berada dalam masyarakat yang berbeda-beda, baik dari sisi budaya, nilai dan adat-istiadat yang berlaku dalam sebuah komunitas masyarakat dan bangsanya masing-masing. Disinilah pentingnya membangun persamaan, persatuan dan kekuatan dalam dimensi masyarakat yang berbeda-beda dan beragam.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun