Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Budaya "Hoax" dan Peningkatan Kebodohan Kita

4 Januari 2017   12:28 Diperbarui: 4 Januari 2017   14:02 3275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Tentu kita pun akan terheran-heran dengan sebagian orang yang memiliki keinginan yang sangat kuat agar berita-berita palsu ini justru bisa tersebar secara luas dan membentuk opini dalam masyarakat. Menerima sebuah informasi tanpa filter dan kemudian menyebarkannya ke pihak lain tanpa didahului oleh check and recheck justru adalah sebuah kebodohan dan kita terjebak dalam praktek menanamkan pembodohan kepada masyarakat. 

Walaupun, sebenarnya yang lebih berbahaya adalah si penerima konten yang tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu terhadap informasi yang diterimanya kemudian langsung disebarkan. 

Dalam tradisi Islam, pembuat dan penyebar berita palsu (hoax) di sebut sebagai generasi “qiila wa qoola” yaitu generasi yang gemar turut campur terhadap kabar orang lain, menyampaikan informasi yang tak diketahui sendiri dan menceritakan semua yang ia dengar tanpa proses peninjauan akurasi data dan fakta.

Memang kita harus akui, bahwa para “muhibbin” (pencinta) berita palsu ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh iklim literasi pendidikan tetapi juga oleh latar belakang lain, seperti ekonomi atau sekedar bersenang-senang. Dalam dunia internet, kita mengenal sistem pembayaran dengan mengandalkan klik, dimana perklik kita dihargai sekian rupiah. Dalam sebuah informasi yang saya dapat dari salah satu media konvensional, harga 100 ribu klik adalah setara dengan Rp 1,3 juta. 

Ini tentu menggiurkan, ketika misalnya si pengunggah berita palsu membuat judul berita dengan nada provokatif agar para pengguna internet tertarik untuk sekedar mengklik laman tersebut. Perihal berita hoax tidak hanya menyebar di Tanah Air saja, bahkan telah mendunia. 

Negara yang literasi pendidikannya tinggi seperti Amerika sekalipun, menurut informasi dari sebuah lembaga survey Ipsos Public Affairs ternyata 75 persen warganya justru percaya terhadap berita hoax yang tersebar secara viral. Belum lagi para penyebar berita hoax yang memang dibayar secara profesional dengan bayaran yang tinggi hanya untuk kepentingan kelompok atau afiliasi politik tertentu.

Saya kira, penyebaran berita palsu atau hoax sudah sangat mengkhawatirkan di negeri ini, bahkan seakan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Itu sebabnya, Presiden Joko Widodo pada 29 Desember tahun lalu menggelar rapat terbatas secara khusus guna membahas dan menangkal bahaya informasi palsu alias hoax yang banyak beredar terutama di media sosial. 

Saya kira memang perlu ketegasan soal hukuman yang harus diterima oleh para penyebar hoax tersebut, karena bagaimanapun mudahnya penyebaran informasi palsu semakin banyak merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bukannya mencerdaskan atau membangun. 

Perbedaan yang tajam dalam masyarakat sehingga membelah dan mengkotak-kotakan masyarakat justru umumnya dibangun oleh maraknya informasi palsu yang beredar yang justru dianggap “kebenaran” oleh sebagian masyarakat. Padahal, hanya dengan mengabaikan informasi palsu saja, sebenarnya kita telah menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan masyarakat apalagi kita mampu melakukan counter terhadap maraknya penyebaran infomasi palsu tersebut dengan membuat konten yang edukatif, memiliki nilai kebaikan dan jauh dari ujaran-ujaran kebencian atau provokatif.

Para penyebar berita palsu ibarat “nabi-nabi” yang sengaja menyebarkan berita kebohongan untuk menutupi kebenaran dari ajaran para nabi yang sesungguhnya. Istilah “nabi” dalam terminologi Bahasa Arab adalah “pembawa berita” dan umumnya berita yang mereka bawa adalah kebenaran dan kebaikan yang justru akan membawa umat manusia dari “kebodohan” ke alam pemikiran yang mencerdaskan. 

Para penyebar hoax bisa saja dikategorikan sebagi “nabi palsu” di abad modern yang kegemarannya adalah menyebar berita-berita bohong dengan tujuan “membodohi” masyarakat dan yang lebih parah mengadu domba masyarakat agar mereka kemudian berpaling dari kebenaran yang sesungguhnya. Sebarkanlah kedamaian dan kebenaran walaupun itu terasa pahit, karena obat yang dirasa getir justru lambat laun dapat menyembuhkan!

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun