Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Swing Voters" di Pilkada Jakarta, ke Mana Berlabuh?

16 Desember 2016   14:35 Diperbarui: 16 Desember 2016   19:11 3108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik untuk mengikuti beragam hasil riset yang dilakukan beberapa lembaga survei mengenai persentase kelompok swing voters (suara mengambang) di Pilkada Jakarta yang senantiasa mengalami perubahan secara cukup signifikan. Untuk dua bulan terakhir (November-Desember), beberapa lembaga survei memberikan angka beragam dan cenderung menurun untuk kalangan swing voters di Pilkada Jakarta.

Sebut saja misalnya, Indikator Politik menyebut swing voters pada angka 24%; Poltracking Indonesia 29,6%; Lingkaran Survei Indonesia 34,4% memperlihatkan bahwa bulan November kategori swing voters masih diatas 20 persen. Sedangkan hasil rilis lembaga survei lain di bulan berikutnya menyebutkan bahwa tren swing voters malah cenderung menurun, jauh dibawah rata-rata angka sebelumnya, yaitu hanya berada pada kisaran 15-17 persen.

Swing voters diketahui merupakan jenis tipologi pemilih yang belum secara pasti menentukan pilihan politiknya kepada salah satu kandidat yang ada di Pilkada DKI Jakarta. Dalam istilah ilmu politik, mereka ini disebut sebagai kelompok non-partisan atau jenis massa mengambang (floating mass) yang biasanya tidak mengidentifikasikan dirinya dengan parpol manapun, tidak berafiliasi dengan kekuatan politik apapun, sehingga keberadaan jenis ini hanya bisa diukur pada waktu pencoblosan nanti di bilik suara.

Bahkan kelompok massa mengambang ini bisa jadi tidak memilih kandidat manapun alias “golput” karena mereka tidak melihat satupun diantara para kandidat yang ada sesuai dengan pilihan mereka. Namun, dari indikasi menurunnya kecenderungan swing voters yang dirilis berbagai lembaga survei paling tidak menunjukkan bahwa angka “golput” justru bukanlah tren di ajang Pilkada Jakarta 2017 mendatang.

Keberadaan kelompok non-partisan ini tidaklah harus dianggap enteng, karena justru karena kegagalan atau kelemahan strategi yang dilakukan seorang kontestan atau parpol pengusungnya akan merubah kelompok non-partisan justru menjadi partisan atau konstituen kekuatan pendukung  pesaing. Seorang kontestan politik harus pandai dan cerdas menjalankan strategi politiknya, bagaimana menghadapi konstituen dan sekaligus mereka yang non-partisan.

Jika misalnya konstituen lebih mengedepankan aspek rasionalitas politik, maka kontestan dan parpol pendukung harus lebih banyak mengedepankan model problem-solving untuk masyarakat melalui kinerja dan program-program riil yang jelas. Begitupun sebaliknya, jika konstituen cenderung mengedepankan aspek non-rasional dalam menentukan pilihannya, maka kandidat harus mampu memperkuat aspek ideologi, baik nilai, keyakinan, norma atau aspek terkait yang diharapkan konstituennya. Kegagalan membaca terhadap aspek rasional dan non-rasional konstituen yang dilakukan kandidat atau parpol pengusung, justru akan semakin menambah angka non-partisan atau bisa jadi justru menjadi partisan kelompok pesaing lainnya. 

Memang, jika melihat kepada jenis kelompok pemilih dalam sebuah kontestasi politik, paling tidak terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan masing-masing terhadap para kontestan yang ada. Mereka adalah para konstituen dan kelompok non-partisan. Konstituen umumnya diwakili oleh masyarakat yang memiliki kedekatan dan keterikatan dengan kontestan atau parpol tertentu. Kelompok ini akan menjadi basis terkuat sebagai pendukung kontestan yang telah diperkuat sebelumnya oleh parpol pengusung.

Konstituen jelas memiliki loyalitas tertinggi diantara kelompok dari jenis pemilih lainnya, baik itu non-partisan atau kelompok “pendukung” pesaing. Umumnya, para konstituen dari masing-masing kontestan saling menguatkan soliditas dan dukungannya kepada setiap calon kandidat yang ada yang diukur berdasarkan strategi masing-masing kandidat dalam menjaga stabilitas konstituennya masing-masing. Konstituen biasanya digerakkan oleh mesin parpol masing-masing pendukung kandidat, sehingga kemungkinan beralih untuk berpindah pilihan ke pihak lain dinilai kecil kemungkinannya.

Sudah menjadi hal biasa, ketika secara demografi politik dipetakan, diketahui terdapat sekelompok non-partisan (swing voters), maka kelompok ini akan menjadi primadona ajang rebutan para kandidat yang bersaing. Dalam Pilkada Jakarta, keberadaan swing voters terlihat masih akan terbagi secara proporsional kepada masing-masing kandidat yang ada. Jika memang keberadaanya cukup signifikan, maka suara-suara yang berasal dari swing voters justru dapat menentukan kemenangan seorang kandidat dalam sebuah kontestasi politik.

Mengingat beragam hasil survei mengenai elektabilitas masing-masing kandidat di Pilgub DKI Jakarta semakin ketat, maka diperlukan strategi politik yang terukur dalam berupaya meraih simpati pemilih. Saya kira, baik kontestan maupun partai pengusung perlu melakukan penguatan dengan membangun komunikasi politik yang baik dengan pihak pesaing, terutama untuk menciptakan suasan kondusif, aman dan tertib dalam suatu masa kampanye.

Dari ketiga pasangan kandidat yang ada di Pilkada Jakarta, pasangan Ahok-Djarot nampaknya cukup memiliki konstituen yang solid dan kuat, karena selain didukung oleh kekuatan parpol penguasa, mereka cukup memiliki keterikatan baik secara rasional maupun “emosional”. Walaupun tren elektabilitas pasangan nomor urut dua ini ada penurunan, namun tingkat soliditas antarkonstituen yang digerakkan oleh mesin parpol tetap terjaga, hal ini dikarenakan oleh strategi penyebaran informasi yang cenderung seragam diterima oleh para konstituennya.

Disamping itu, kesan positif selalu dimunculkan sebagai kandidat yang memiliki pengalaman lebih, terutama dalam soal perbaikan dan pengelolaan Ibu Kota. Walaupun salah satu pasangannya terjerat kasus hukum, namun mereka masih memiliki mesin politik yang kuat sehingga mampu menjaga soliditas konstituen pendukungnya.

Adapun pasangan lain, Agus-Sylvi dan Anis-Sandi nampaknya masih berjibaku untuk menarik simpati sebanyak-banyaknya pemilih di DKI Jakarta. Walaupun keduanya sudah didukung kekuatan konstituen yang terbentuk dari parpol, namun soliditas dan menjaga penguatan iklim konstituen yang sudah terbentuk bukanlah perkara mudah. Hasil beberapa lembaga survei soal elektabilitas masing-masing kontestan di Pilkada Jakarta terlihat menunjukkan pergeseran dimana Agus-Sylvi justru menempati urutan pertama antara 29-30 persen peluang keterpilihannya melalui survei selama November 2016 yang dilakukan 3 lembaga survei, Median, Carta Politika dan Indikator Politik Indonesia.

Perubahan ini jelas menunjukkan ada beberapa kelompok pemilih yang kemudian mengubah pilihannya kepada kandidat lain atau menjadi non-partisan karena memang tidak ada kontestan yang sesuai harapan mereka. Saya kira, hampir semua kandidat di Pilgub DKI Jakarta kali ini tidak ada yang mayoritas soal elektabilitasnya, semuanya masih harus melakukan strategi-strategi jitu guna memperoleh dukungan dari seluruh elemen masyarakat.

Kondisi ini justru ditambah oleh peluang swing voters yang bisa saja semakin menguat, melihat dari tipologi pemilih Jakarta yang mendasarkan pilihannya secara rasional atau non-rasional. Karena para swing voters-pun bisa terdiri dari pemilih yang rasional dan non-rasional. Para kandidat harus mampu dengan jeli membaca kecenderungan alasan pilihan kelompok ini, sehingga strategi yang dikedepankan untuk meraih simpati pemilih non-partisan dapat lebih mudah dipetakan.

Strategi komunikasi dan penyediaan informasi perlu dilakukan untuk meyakinkan para pemilih non-partisan. Memang cukup sulit, karena masing-masing kontestan harus mampu menarik mereka keluar dari kebimbangan memilih sedangkan kelompok non-partisan sendiri memiliki beragam karakteristik. Masing-masing kandidat jangan terjebak kemudian dengan “memaksakan” persamaan karakteristik dengan pemilih non-partisan, sehingga kesan plin-plan malah dengan mudah terbaca oleh masyarakat. Bahkan kecenderungan warga Jakarta untuk dipimpin gubenur “baru” harus dilihat sebagai bagian terpenting dari alasan pemilih swing voters, sehingga masing-masing kandidat harus meyakinkan bahwa mereka adalah juga para gubernur baru di Jakarta.    

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun