Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Musibah Kita Perlu "Muhasabah"

9 Desember 2016   15:15 Diperbarui: 9 Desember 2016   15:26 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagipula kita tahu, bahwa siapapun tidak ada yang mengharapkan musibah, terlebih musibah yang diakibatkan bencana alam. Musibah demi musibah saya kira, memang sedang menggejala di negeri ini yang justru tak bisa kita prediksi kapan dan dimana musibah itu terjadi. Sebagai seorang muslim, saya selalu meyakini, bahwa dibalik musibah pasti ada sesuatu pergerakan yang semakin baik yang menjadi hikmah yang ada dibalik setiap musibah. Mungkin kita berpikir, bahwa musibah justru akan menghancurkan ekonomi atau tatanan sosial, bagi saya justru tidak demikian. 

Selama kita meyakini bahwa bencana merupakan peningkatan dimensi spiritualitas yang ada dalam diri kita sebagai bagian dari introspeksi, maka akan terwujud sebuah Kekuatan Maha Besar (Unseen World) yang justru tanpa terlihat berada dibalik sebuah peristiwa. Sebagai buktinya, siapa yang menggerakkan kita untuk mengumpulkan dana bagi Aceh, siapa yang peduli akan bencana dan mengeluarkan sedemikian banyak harta bendanya untuk mereka yang tertimpa bencana? Yang sangat disayangkan adalah ketika kemudian justru upaya berlebihan dalam mengejar material dana-dana bantuan yang bisa jadi diselewengkan justru dikedepankan dibanding kepercayaan pada dimensi spiritual yang justru seharusnya diapresiasi.

Kita ini cenderung menafikan The Unseen World dan lebih mengejar dunia nyata, padahal bencana alam merupakan bagian skenario dari kehendak-Nya, agar kita lebih mengingat dan sadar betapa kering nilai-nilai spiritualitas kita berganti dengan nilai-nilai materi yang kapitalistik. Lalu, bagaimana sebaiknya? Inilah kemudian yang selalu didengungkan al-Quran agar kita selalu bersabar dengan mencoba bangkit kembali sebagai sebuah usaha dan juga introspeksi diri kita melalui doa agar kita tak juga melupakan bahwa proses dialog dengan-Nya justru sangat dibutuhkan. “Jadikanlah sabar dan doa sebagai penolong bagi kalian”, (QS. al-Baqarah: 45). Nilai spiritualitas yang terbangun pada akhirnya akan selalu menyadarkan kita, bahwa kita ini hanyalah milik-Nya dan semua apa yang kita punya akan kembali kepada-Nya. Semoga keselamatan dan kedamaian senantiasa tercipta di Tanah Rencong dan menjadi Nanggroe Aceh Darussalam yang sesungguhnya!

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun