Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Demo 4 November Ini Efek Diblokirnya Situs Radikal?

4 November 2016   12:57 Diperbarui: 4 November 2016   18:15 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini, situs-situs tertentu yang dinilai memiliki konten yang bernuansa SARA, provokatif atau mendatangkan aura kebencian dinilai sebagai situs radikal yang kemudian dijadikan sebagai ancaman tersendiri oleh pemerintah. Langkah yang kemudian dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kominfo, kemudian memberlakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dalam pandangan pemerintah ini “radikal”. 

Padahal, pemblokiran situs yang dianggap radikal, menurut Onno W Purbo tidak sama sekali berlandaskan hukum, bahkan dampak dari pemblokiran situs seperti ini malah “membunuh kreativitas” dan lebih jauh akan membunuh demokrasi itu sendiri. Lalu apakah dengan diblokirnya situs-situs yang dianggap radikal tersebut mampu meredam gejolak radikalisme? Saya kira tidak, karena semakin diblokirnya situs-situs tertentu, akan semakin meningkatkan traffic situs tersebut dalam jagad dunia maya.

Dulu, sejak tahun 2015 lalu, beberapa situs yang dianggap “radikal” oleh pemerintah ditutup, seperti panjimas.com, muslimdaily.net, kiblat.net, dakwahmedia.net ternyata justru malah berbalik, bahwa beberapa situs yang kemudian telah normal ini berada pada arus traffic yang semakin tinggi, karena derasnya antusiasme masyarakat untuk menggali informasi kepada situs-situs tersebut. Diberitakan oleh beberapa media, bahwa laporan mengenai situs-situs yang pernah diblokir oleh pemerintah justru mengalami kenaikan yang sangat signifikan, bahkan jumlah pembaca harian situs ini meningkat 20 persen setiap harinya. 

Hasil pemantauan laman traffic internasional, alexa.com menginformasikan bahwa situs dakwahmedia.com mengalami kenaikan peringkat tertinggi menjadi 222.292 secara global dari sebelumnya yang hanya di peringkat 784.935 (merdeka.com). Saya kira, memang efek diblokirnya situs bukanlah mengurangi tingkat radikalisme atau ekstremisme tetapi malah semakin membuka lebar, mekarnya kedua kutub pemikiran tersebut.

Belakangan ini, Kominfo justru mengulang pemblokiran terhadap 11 situs yang dianggap radikal yang disebut-sebut berkaitan dengan aksi demo besar-besaran pada tanggl 4 November 2016. Pemblokiran situs tersebut kemungkinan sebagai upaya untuk membungkam, mematikan atau meredam ekspresi masyarakat, padahal sesungguhnya ekspresi masyarakat yang kemudian tergabung dalam aksi 4 November justru semakin tak terbendung. Ternyata demokrasi di negeri ini seakan masih “tebang-pilih” belum sepenuh hati bagaimana para pemangku negeri ini menjalankannya.

Demokrasi hanya “dipilih” dari segala hal yang mendukung mereka saja, tetapi yang mempunyai perbedaan atau tidak berpandangan sama, malah diberangus dan tidak diberikan tempat untuk berekspresi. Padahal, ekspresi kebebasan berpendapat, sejatinya masih dilindungi oleh undang-undang, dalam bentuk apa pun. Kalaupun terjadi informasi-informasi yang dianggap “menyesatkan” atau “menistakan” sangat mudah untuk dideteksi dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.

Menarik untuk membaca sebuah laporan dari sebuah situs jurnal ternama, lowyininstitute.org yang ditulis oleh Indonesianis Sidney Jones, bahwa justru munculnya gerakan belakangan yang dilansir sebagai gerakan “radikal” karena memang para politikus dan pemerintah membiarkan benih-benih ekstremisme semakin berkembang, bahkan terkadang memanfaatkannya juga. Bahkan, Jones tak segan-segan menyebutkan bahwa kepolisian juga sengaja membiarkan gerakan itu membesar. 

Aksi beragam penangkapan kelompok yang disinyalir sebagi penggerak ekstremisme-radikalisme sering kali tanpa diproses sesuai hukum, termasuk “salah tangkap” atau proses penangkapan yang tidak mengedepankan aspek-aspek humanisme sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Jones, melihat bahwa terjadinya aksi massa pada 4 November 2016 adalah kesalahan Ahok yang masuk dalam jebakan kaum radikal. Buntut panjang atas kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan semakin mengukuhkan aliansi kaum radikal.

Saya kira, pemerintah harus mampu memberikan edukasi soal literasi media kepada publik, bisa melalui jalur pendidikan, jaringan pemerintahan atau aparat penegak hukum. Sejauh ini, yang dilakukan pemerintah hanya sebatas memblokir situs-situs tertentu yang dianggap “rawan” atau menangkap mereka-mereka yang terbukti sengaja menyebarkan kebencian atau penghinaan. Padahal, semakin diblokirnya sebuah situs atau diketahuinya oleh publik soal penangkapan seseorang yang terkait kasus seperti penghinaan atau penyebar kebencian, justru semakin publik penasaran dengan konten yang sengaja disebarkan tersebut. 

Saya kira, dalam kasus ini, pemerintah belum sepenuhnya mampu menjadi “penyeimbang” dari setiap persoalan perbedaan pendapat yang ada di ranah publik, yang ada hanyalah kemudian “berat sebelah” untuk lebih menerima pendapat-pendapat yang selalu sejalan dan menolak mereka yang dianggap “bertentangan”. Padahal, dalam sebuah iklim demokrasi, perbedaan pendapat, termasuk oposisi itu harus ada karena mereka akan menjadi “penyeimbang” dalam menata sistem negara yang lebih demokratis.

Mungkin tepat sekali jika disumsikan bahwa era belakangan ini disebut sebagai era “the rise of religion” setelah paham komunis dan liberalis-sekuler pernah berjaya dan runtuh. Era kebangkitan agama justru dipicu oleh liberalisme-sekularisme yang hampir tak mampu menyentuh sisi terdalam dari diri manusia. Paham liberalis-sekuler yang dibungkus oleh kapitalisme justru lebih banyak membuat kesenjangan sosial yang semakin tinggi, sehingga banyak orang yang semakin kehilangan keberpijakannya. Sehingga penyebaran paham-paham liberalis-sekuler ini justru semakin menjadi ancaman bagi keberadaan agama, sehingga sedikit saja suatu persoalan yang mengungkit persoalan agama, semakin menguat kebangkitan agama tersebut. Inilah yang kemudian menjadi fenomena di Indonesia, ketika pemahaman liberalis-sekuler ini dipaksakan apalagi dibuktikan oleh kasus penistaan agama, semakin meledak sentimen keagamaan yang ada dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun