Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makna “Awliya”, antara Terjemahan dan Tafsir

24 Oktober 2016   11:51 Diperbarui: 24 Oktober 2016   15:42 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan ini ramai di media sosial (medsos) bahwa terjemahan alQuran versi Kementrian Agama telah merubah terjemahan kata “awliya” yang ada dalam surat al-Maidah 51 dari terjemahan sebelumnya, yaitu “pemimpin” dirubah menjadi “teman setia”. Informasi yang menjadi viral di medsos ini seakan mengungkit kembali polemik berkepanjangan soal al-Maidah 51 yang mengandung pengertian pelarangan mengambil “pemimpin” yang berasal dari non-muslim. 

Walaupun pihak Kemenag telah membantah hal ini, namun tetap saja, ayat ini seakan semakin “dipolitisasi” ditengah ramainya perbincangan mengenai boleh atau tidaknya mengangkat “pemimpin” yang berasal dari non-muslim, seperti yang terjadi dalam fenomena Pilkada Jakarta.

AlQuran sebagai sebuah kitab suci memang harus dipahami berdasarkan semangat keimanan, sehingga nilai dan kesucian teksnya yang memang berbahasa Arab tetap terjaga dari berbagai polusi bahasa lain yang terkadang menjadi rancu saat dialihbahasakan. Namun demikian, seringkali ketika menterjemahkan alQuran terutama kedalam bahasa Indonesia, cenderung mengalami banyak kesulitan untuk memberikan padanan kata-katanya.

Hal ini dimungkinkan, karena bahasa Indonesia tidak berdiri sendiri sebagai suatu bahasa asli yang utuh, tetapi banyak yang berasal dari serapan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Untuk menterjemahkan kata “sholat” saja yang konteksnya berbeda-beda dalam alQuran akan sulit mencari padanan katanya dalam bahasa Indonesia, karena “sholat” bisa berarti “ibadah wajib yang disyariatkan waktunya selama lima waktu” atau bisa jadi “doa” atau bermakna “shalawat”.

Memahami bahasa alQuran memang terdapat kaidah-kaidah bahasa Arab yang harus benar-benar dikuasai, selain itu terdapat beberapa kaidah lain yang berasal dari disiplin ilmu Ushul Fiqh yang akan memperkaya dan mengantarkan seseorang memahami ayat-ayat alQuran secara lebih jelas dan rinci.

Ushul Fiqh diketahui merupakan disiplin ilmu yang dapat membuka wawasan ijtihadi seseorang ketika melakukan sebuah istinbath (kesimpulan) terhadap suatu dasar hukum tertentu yang mengambil dari beragam sumber utama ajaran Islam, termasuk alQuran dan Hadits. Dalam konteks menterjemahkan alQuran memang terkadang tidak terlalu sama persis dengan makna kandungan ayatnya, bisa saja mendekati makna sebenarnya atau bahkan jauh dari makna yang sesungguhnya. Kondisi mengurai beragam arti dan makna dalam teks alQuran ini bisa dilalui dengan terjemah, tafsir atau bahkan ta’wil.

Dalam perspektif ilmu Ushul Fiqh, dijelaskan bahwa memahami kata dalam alQuran yang memang berbahasa Arab seringkali ketika mengungkap kata perkatanya dihadapkan pada dua unsur pemaknaan, yaitu bisa bermakna “murodif” dan “musytarak”. Pengertian yang pertama menjelaskan bahwa satu kata atau lebih dalam bahasa Arab bisa memiliki makna yang sama (sinonim) sedangkan yang kedua lebih kearah pengertian bahwa satu kata dalam bahasa Arab justru sebaliknya,  mengandung banyak arti bahkan bisa beragam.

Contoh kata yang mengandung makna “murodif”, misal kata “alqittu” atau “alhirru” keduanya sama artinya yaitu “kucing” atau untuk kata yang berarti guru, bisa “mudarris”, “mu’allim”, “ustadz” dan banyak lagi. Untuk contoh pengertian makna “musytarak”, dimana satu kata memiliki banyak arti, seperti kata “dzahaba” bisa berarti “hilang” atau “pergi” dan termasuk kata “awliya” bisa berarti “pemimpin”, “teman setia”, “pelindung”, dan masih banyak yang lainnya.

Saya kira, kata “awliya” yang ada dalam surat al-Maidah 51 yang sekarang ini selalu menjadi polemik dalam masyarakat merupakan kata yang jika dilihat dari pengertiannya, masuk dalam kategori “murodif” atau “mutaradif”. Kata “awliya” dengan demikian memiliki banyak arti yang tidak saja diterjemahkan secara absolut sebagai “pemimpin”, tetapi bisa juga “teman”, “pelindung” atau mungkin bisa bermakna lain tergantung dari konteks kalimatnya.

Begitu kayanya kosa kata bahasa Arab dalam alQuran sehingga ketika diterjemahkan terkadang malah mereduksi keseluruhan makna yang terkandung di dalamnya. Padahal, dalam perspektif theologis, alQuran adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku dimana dan kapan saja, sehingga ia tidak mungkin diubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dan ditafsirkan, maka ia bukan lagi alQuran, melainkan terjemahan atau tafsir alQuran.

Sebagai sebuah teks, alQuran memang tak bisa terhindar dari kajian hermenetik, sehingga memahami setiap teks-nya selalu terdapat dua dimensi yang saling bertentangan, sakral dan profan, absolut dan relatif serta historis dan metahistoris. Sehingga, penekanan yang berlebihan pada pendekatan deduktif-absolutistik yang diyakini melalui kebenaran terjemahan atau penafsiran akan berakibat pada tertutupnya dimensi hostorisitas alQuran.

Menutup dimensi historisitas pada alQuran justru akan membuat setiap teks-nya miskin dialogis dengan alam pikiran manusia yang ingin selalu berdialog dan menafsirkannya. Memang, tuntutan iman pada alQuran sebagai sebuah firman suci melahirkan sikap hormat dan taat, tetapi meragukan sebuah terjemahan alQuran atau penafsiran alQuran bukan berarti menolak keyakinan akan kewahyuan alQuran itu sendiri.

Asumsi saya, persoalan al-Maidah 51 yang menjadi polemik dalam masyarakat justru belakangan semakin “dipolitisasi” oleh pihak-pihak tertentu yang memaksakan terjemahan kata “awliya” sebagai “pemimpin” dan tidak bisa digantikan dengan terjemahan yang lainnya. Meskipun kenyataannya, makna “awliya” tergolong kata yang “murodif” (memiliki banyak arti) dalam alQuran dan tidak mengandung pemaknaan yang monolitik, tetapi tetap saja polemik kearah “politisasi” ayat justru belakangan semakin dirasakan. 

Lalu dengan demikian, bagaimana seorang muslim menyikapinya? Saya kira, alQuran sebagai sebuah firman suci yang turun 15 abad yang lalu justru harus mampu hadir menafsirkan realitas sosial, bagaimana kemudian alQuran diterjemahkan, ditafsirkan, didialogkan dalam rangka menjawab setiap persoalan dalam masyarakat, bukan justru menjadi polemik dalam masyarakat. Pengetahuan yang luas akan disiplin ilmu tafsir dan ushul fiqh tentunya akan mendukung bagaimana sebuah ayat alQuran dapat senantiasa “hidup” dan berdialog dengan realitas sosial yang ada dan memberikan petunjuk bagi jalan hidup manusia.

Sikap yang mencurigai pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenag, yang seakan-akan membuat perubahan akan makna dan terjemahan kata “awliya”dalam surat al-Maidah 51 justru semakin mempertajam polemik dalam masyarakat soal makna “murodif” kata “awliya” dalam alQuran. Lagi pula, mengubah terjemahan dalam alQuran tidaklah kemudian serta-merta merupakan sikap mengingkari Kitab Suci, tetapi justru akan lebih memberikan pemahaman yang lebih seragam kepada masyarakat awam. 

Apalagi, pekerjaan menterjemahkan bahkan menafsirkan alQuran butuh penguasaan terhadap ilmu sejarah alQuran (asbabunnuzul), grammatika serta sastra Arab yang mencakup ilmu balaghah, bayan dan ma’aniy. Belum lagi mesti diperkuat oleh pemahaman yang komprehensif mengenai disiplin ilmu Ushul Fiqh yang justru akan lebih memperkaya pemaknaan, baik menterjemahkan atau menafsirkan alQuran.

Merasa tahu kandungan firman Tuhan sepenuhnya, berarti sombong dan bohong. Sebaliknya, meragukan kitab suci jangan-jangan dianggap sebagai sebuah keangkuhan dan pengingkaran. alQuran memang penuh dengan tanda-tanda dan simbol, hanya manusia yang berfikir cerdas-lah yang dapat mengungkap bagaimana tanda dan simbol tersebut teraplikasikan dalam rangka mencari petunjuk yang baik dari alQuran.

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun