Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Merawat Kebencian terhadap Korupsi

17 Oktober 2016   12:23 Diperbarui: 17 Oktober 2016   15:15 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya yakin dan semua diantara kita sepakat, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus dimusuhi, diperangi bersama, bila perlu dan sudah seharusnya orang yang terbukti melakukan korupsi dijatuhkan martabatnya, dipenjara, dimiskinkan dan semua upaya dan energi terbesar kita dicurahkan kepada praktek yang menindas rakyat ini. 

Namun sejauh ini, saya kira, nalar kita gagal merawat kebencian kepada koruptor, yang ada justru merawat kebencian yang begitu dalam kepada sesuatu yang justru bukanlah kejahatan dan tidak sama sekali menyengsarakan rakyat. Fenomena penguatan kebencian itu saat ini justru terjadi kepada orang-orang yang sudah berjasa kepada negeri ini, para pemimpin, tokoh agama, tokoh masyarakat yang semestinya justru kita dukung, kita hormati dan kita rawat sebagai bagian dari elemen terbaik bangsa ini.

Kita ternyata lupa akan perjuangan kita sendiri melawan budaya kedangkalan berpikir yang berakibat pada pemujaan-pemujaan semu dunia material, kekuasaan politik dan keuntungan sesaat. Perjuangan bangsa tak lebih hanya seakan mendukung seseorang seraya menjatuhkan orang lain, memuja agama disatu sisi tapi menghujat agama lain, suka terhadap satu kelompok tetapi membenci kelompok lain. Lalu katanya korupsi itu musuh bersama? Tapi kok malah gak dimusuhi? 

Kita sejauh ini malah membangun toleransi kepada korupsi tapi intoleran terhadap banyak perbedaan kepentingan di negeri ini. Rasanya kita ini dirasuki etos aji mumpung yang mentalitasnya suka menerabas dan pada akhirnya, korupsi, kolusi dan nepotisme malah jadi trenbukannya sesuatu yang semestinya kita benci dan layak dijadikan common enemy.

Tapi memang, walau bagaimanapun kita tidak boleh mencela bangsa sendiri walaupun kenyataannya secara tatanan sudah ambruk atau secara moral sudah rusak. Kita tetap memiliki secercah harapan dan optimisme mungkin bangsa ini mulai belajar bangkit dari keterpurukan akibat kuatnya hegemoni dari pergantian rezim-rezim sebelumnya. Kita memang belajar berdemokrasi minimal lima tahun sekali, kita juga belajar bertoleransi terhadap segala perbedaan pendapat walaupun masih nabrak-nabrak, atau belajar menghargai pendapat walaupun terkadang saling hujat. Tapi saya kira, membenci koruptor tidak perlu belajar, tidak perlu menggunakan logika-logika tingkat tinggi yang susah dimengerti. 

Cukup kita bangun dalam kesadaran bersama bahwa korupsi patut kita benci tak perlu memandang budaya, agama dan keyakinan, kelompok politik, atau segmentasi sosial apapun.

Jangan-jangan kita ini justru berada pada suatu era yang gelap dalam upaya pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) pada 2015 saja, Indonesia hanya mampu naik 2 poin sehingga menjadi negara pada urutan ke 88 dari 168 negara yang diukur berdasarkan persepsi kepercayaan publik terhadap praktik korupsinya. 

Skor yang diperoleh Indonesia tersebut justru belum mampu menandingi skor negeri tetangganya, seperti Malaysia, Singapura dan bahkan Thailand. Padahal, 15 tahun sudah Indonesia bertekad memberantas korupsi yang seluruh harapan publik dipercayakan kepada KPK. Lembaga yang dibentuk oleh negara ini malah lambat laun semakin menurun kredibiltasnya didepan publik, sejak rentetan peristiwa kriminalisasi terhadap para petingginya yang justru dirasakan disaat efek pengungkapan kasus-kasus megakorupsi ini diungkap.

Tentunya kita dulu pernah punya harapan yang sangat besar, bahwa praktik korupsi bisa hilang dari bumi Indonesia ini, atau minimal dapat memberikan efek jera sehingga para koruptor tak lagi berniat kotor untuk mengeruk uang rakyat. Tapi kenyataannya, dari hari ke hari kita selalu dihebohkan oleh penangkapan-penangkapan aparatur negara yang justru giat melakukan korupsi. 

Operasi Tangkap Tangan (OTT) belakangan ini menjadi tren dalam publikasi soal korupsi yang tidak sedikitpun meninggalkan efek kebencian kepada masyarakat. Adakah sekelompok masyarakat yang kemudian ramai-ramai menghujat? Atau sekelompok lainnya yang ramai-ramai menganggap sebagai penistaan agama? Atau paling tidak menyuarakan stigmatisasi kebencian terhadap korupsi? Ah, rasanya korupsi tidak menarik dibanding urusan agama dan politik padahal korupsi dilarang oleh agama sekaligus merusak citra politik bahkan korupsi merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Membangun kebencian terhadap korupsi ternyata lebih sulit daripada membangun kebencian antarkelompok kepentingan, baik agama maupun politik. Hal ini dimungkinkan oleh adanya aparatur pemberantasan korupsi yang juga sering dikritik publik. Kritikpun nampaknya bisa menjadi konstruktif ataupun hanya sekedar ungkapan nyinyir dan juga kebencian yang dibangun oleh masyarakat. Kita tahu, bahwa harapan terbesar masyarakat justru terhadap keseriusan negara dalam memberantas praktik korupsi, baik yang bersifat sendiri (munfarid) atau bersama-sama (jama’ah). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun