Celakanya, Pancasila pun sebagai dasar negara justru tersandera oleh setiap perbedaan kepentingan kelompok yang ada. Prinsip-prisip keadilan yang seharusnya diperjuangkan malah semakin membuka lebar kesenjangan dalam masyarakat, orang kaya bertambah kaya dan orang miskin semakin terhimpit ditengah realitas negeri ini yang katanya berjuang demi kesejahteraan rakyat.
World Bank pernah mencatat, bahwa Indonesia merupakan negara ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand soal ketimpangan sosial. Ironi memang. Lalu dimana Pancasila? Yang katanya memiliki nilai-nilai luhur kebangsaam dan keadilan untuk rakyatnya? Ah, rasanya Pancasila hanya “sakti” dalam kata-kata tetapi ditelikung oleh para elit bangsa kita sendiri agar nilai-nilainya tidak dijalankan apalagi diaplikasikan dalam suasana kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan rasanya lebih condong kepada kepentingan pengusaha yang memiliki banyak uang tanpa seri. Mereka diberi kesempatan, privilege dan segala macam fasilitas tetapi rakyat ditindas, digusur, dihimpit oleh berbagai persoalan hidup mereka yang tak kunjung mendapatkan solusinya. Jangankan solusi, terkadang untuk mendapat keadilan-pun dirasa susah.
Rakyat tetap menjadi korban yang semakin tertindih oleh pongahnya kekuasaan, dibela dan diangkat hanya pada saat pemilihan setelah terpilih justru rakyat disingkirkan. Pada akhirnya, hanya sumpah serapah, caci maki dan saling hujat yang justru yang menjadi solusinya. Seperti puisi Gus Mus, “…hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri…yuk main hujan-hujanan caci maki..”. Inilah realitasnya, ironi di negeri demokrasi.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H