Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sebuah Ironi di Negeri Demokrasi

14 Oktober 2016   21:48 Diperbarui: 15 Oktober 2016   16:30 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon katanya negeri kita ini sudah berdemokrasi karena reformasi sudah hadir menjadi tatanan baru menggantikan kekuasaan rezim yang dianggap korup dan otoriter. Berbagai hal yang menyangkut atau “berbau” rezim lama dihancurkan, dihapus dari ingatan, bahkan bila perlu dicerabut hingga akar-akarnya, karena jika masih tersisa dikhawatirkan akan menghadirkan kembali narasi rezim lama yang penuh keburukan, ketidakadilan atau kekerasan. 

Bangsa ini seakan dibuat trauma oleh rezim lama yang dianggap kontra demokrasi, terlalu mengekang kebebasan berpolitik atau segala hal apapun yang senantiasa dicitrakan negatif oleh publik.

Namun anehnya, setelah bergulirnya reformasi, kita tiba-tiba menjadi bangsa penghujat, saling tuduh, saling serang walaupun kita tidak terlalu mengerti sebenarnya apa yang sedang kita perjuangkan saat itu, karena semata-mata kita hanya ikut-ikutan terbawa arus opini yang juga belum jelas kebenarannya. 

Euforia reformasi seakan tidak linier dengan proses demokratisasi ke arah yang lebih baik, tetapi yang ada justru perebutan kekuasaan yang berujung pada maraknya budaya politik uang. Para elit di negeri kita pun nampaknya ikut-ikutan semakin mempertontonkan kerakusan akan kekuasaan, meninggalkan rakyatnya yang semakin terpuruk hanya dijadikan “alat” kepentingan bagi kelompok dan afiliasi politiknya pada saat-saat meminta dukungan suara.

Demokrasi sejauh ini hanya dipandang sebatas kontestasi yang dijalankan melalui iklim lima tahunan, dimaknai secara formal-prosedural dalam rangka memenangkan sebuah kontestasi dengan cara bagaimana memperoleh suara terbanyak. Tak peduli dengan cara apapun, walaupun dilakukan dengan kecurangan atau akal-akalan,  yang jelas para elit politik di negeri ini berlomba-lomba mendulang suara rakyat dengan mengatasnamakan demokrasi. 

Rakyat serasa dibutuhkan saat-saat kontestasi berlangsung saja sehingga pada tahap ini demokrasi justru semakin kehilangan nilai-nilai penting substansialnya. Pertarungan memperebutkan kekuasaan tak ubahnya demokrasi yang praktiknya oligarki (perkongsian antarpenguasa) atau plutotkrasi (perkongsian antarpengusaha) yang justru semakin melebarkan gap antara elit dan rakyat. Demokrasi malah seakan-akan dikebiri nilai-nilainya oleh bangsa yang katanya menganut demokrasi.

Kita seringkali dihadapkan oleh peristiwa yang serba paradoks: orang-orang gigih menyuarakan demokrasi, tetapi justru membungkam demokrasi itu sendiri. Jika berbeda kepentingan dengan kelompok lain, demokrasi justru diinjak-injak, dianggap tak berguna dan hanya menjadi narasi kosong tanpa makna. 

Yang dibela adalah kelompoknya sendiri, afiliasi politiknya atau para pendukungnya. Jika lawan politiknya bersalah, maka ramai-ramai dihujat, dicaci maki, dituduh sebagai antek-antek korup, bahkan semua hal yang berhubungan dengannya baik organisasi, partai, agama, bahkan keluarganya yang tidak tahu menahu malah menanggung seluruh risikonya. 

Tetapi jika yang bersalah adalah mitra politiknya, bagian kelompoknya, atau afiliasi politiknya, maka mereka bergegas menyuarakan bahwa semua ini adalah rekayasa. Realitas politik di negeri kita tak ubahnya seperti “sampah” yang justru hanya bisa bermanfaat bagi rakyat ketika “sampah” itu kemudian di daur ulang. Elit akan bermanfaat ketika dia menjadi rakyat atau tidak merasa sebagai elit lagi.

Hampir setiap hari kita disuguhkan oleh drama dukungan sekaligus kebencian yang bertebaran, baik dalam wahana media sosial atau konvensional. Mendukung atau membenci hanya didasari oleh perbedaan kelompok kepentingan, afiliasi politik atau bahkan perbedaan agama. Seakan-akan mereka ini sedang “bertarung” dalam sebuah arena yang tanpa aturan main, saling hujat, caci-maki dan menyebar kebencian dengan begitu dahsyat kepada lawan-lawan politik mereka yang tak sepaham, tak seperjuangan atau tak sealiran. 

Bangsa ini sepertinya berada dalam kungkungan pragmatisme dengan menonjolkan masing-masing semangat kepentingan, semangat primordialisme atau semangat agama. Beginilah rasanya fakta dialektika publik di negeri ini yang konon katanya sedang menata dirinya berbangsa dan bernegara dengan prinsip-prinsip demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun