Sikap konservatisme lainnya lebih terlihat menonjol ketika MUI memberikan paparan soal polemik Ahok. MUI secara tegas memberikan pendapatnya sesuai dengan kesepakatan hasil kajian bersama unsur-unsur yang ada didalamnya, bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Hal ini dijelaskan dengan dasar pernyataan Ahok yang seakan-akan sengaja menghina ulama sebagai penafsir al-Quran dan juga kitab suci al-Quran itu sendiri sebagai pedoman umat Islam.
Pihak MUI yang diwakili oleh KH Tengku Zulkarnain membacakan 5 sikap berupa pendapat keagamaan MUI yang salah satunya menghukumi Ahok sebagai orang yang telah melakukan penistaan terhadap ulama dan agama Islam. MUI menyisir dua kata, yaitu “dibohongi” dan “dibodohi” yang dikaitkan dengan surat al-Maidah yang secara sengaja diucapkan Ahok. Ditambah lagi bahwa ada upaya terselubung sebagai bagian dari mencuri start kampanye yang dilakukan Ahok disaat kunjungan kerja dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta ke Kepulauan Seribu.
Sikap yang lebih bijak nampaknya ditunjukkan oleh Buya Syafi’i Ma’arif, salah satu mantan ketua PP Muhammadiyah, agar umat tidak berlarut-larut dalam kubangan konflik yang justru akan memicu kebencian lebih besar yang justru dapat menghancurkan sendi-sendi keberagaman masyarakat . Buya Syafi’i beralasan bahwa Ahok bukanlah sosok yang dinilai oleh sebagian orang sebagai pribadi yang negatif yang secara sengaja memicu konflik dan akan memecah-belah persatuan bangsa ini. “Ahok bukan orang jahat” demikian penggalan kalimat Buya ketika ditanya soal polemik Ahok yang dianggap telah menistakan agama.
Bagi saya, Buya nampaknya cenderung tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam soal polemik ini, karena ketika para agamawan atau tokoh masyarakat terlibat terlalu jauh, maka permasalahan ini justru akan semakin membesar sehingga pada akhirnya sulit ditemukan solusinya. Nampak sekali bahwa ungkapan-ungkapannya dalam hal menyikapi polemik soal Ahok ini, semakin menunjukkan kematangan berpikir dan bersikap sebagai sosok guru bangsa yang cenderung menjauhi konflik dan memberikan hal-hal yang solutif kepada umat.
Asumsi saya adalah justru polemik soal penistaan agama oleh Ahok ini bercampur-baur antara semangat keagamaan dan semangat politik. Hanya saja nuansa politisnya lebih kental karena serasa berhadap-hadapan antara pendukung dan non pendukung petahana ditengah memanasnya kontestasi Pilkada Jakarta. Kuatnya arus desakan masyarakat yang resistensi terhadap Ahok justru menjadi pemicu utama dalam menyikapi soal polemik ini. Semangat keagamaan yang dimunculkan seakan-akan hanyalah salah satu bentuk pembenaran yang “legal” untuk menjegal Ahok di Pilkada Jakarta.
Walaupun demikian, semangat politik yang ditunjukkan oleh para pendukung petahana juga terlampau “subjektif” sehingga terkadang rasionalisasi pembelaan terhadap Ahok hanyalah dorongan kepentingan politik tanpa memandang objektivitas persoalannya. Saya kira, sikap objektif dalam memandang polemik ini didasarkan pada asumsi causalitas bahwa Ahok memang melakukan kesalahan dan dia harus tegar dan siap mempertanggungjawabkan seluruh konsekuensinya.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H