Kita tentu tahu, bahwa dalam tradisi masyarakat muslim di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, masih sangat kental dengan tradisi pengajian yang dilakukan secara massif. Unsur-unsur budaya masih melekat di dalamnya sebagai alat pendekatan sekaligus pemersatu terhadap komunitas yang dibangun berdasarkan kelompok-kelompok pengajian ini. Salah satu ciri khas yang masih mengadopsi budaya Jawa yang suka akan kendurian yang juga diselingi musik-musik shalawatan atau marhabanan adalah komunitas pengajian yang dimotori oleh Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun bersama kelompok musik religi-kultur-nya Kyai Kanjeng. Komunitas yang diberi nama Ma’iyah ini semakin menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat muslim Jawa sebagai sebuah model gejala keagamaan di tengah menguatnya arus modernisasi yang cenderung mengabaikan aspek-aspek spiritualitas dan religiusitas.
Komunitas kelompok pengajian yang dibangun oleh Cak Nun dan Kyai Kanjeng terbukti mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama tentang bagaimana memahami dan tentunya mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat tanpa harus melawan atau berhadap-hadapan dengan budaya yang telah lama terbangun dalam sebuah realitas sosial. Komunitas Kyai Kanjeng dan Ma’iyah kelihatannya mencoba membuat akulturasi antara budaya dan agama sehingga seakan-akan agama bukanlah penghalang bagi budaya dan sekaligus budaya bukanlah hal yang tidak bisa dimasuki oleh nilai-nilai keagamaan.Â
Kenyataannya, model pengajian yang dibangun oleh Cak Nun ini cukup mendapat respon dalam masyarakat, terutama ketika pengajian-pengajian ini digelar di berbagai daerah. Hanya saja, keberadaan komunitas Mai’iyah yang terbangun ini tidaklah mengikat seperti ikatan murid dan guru, sehingga tidak terdapat tempat tertentu seperti padepokan atau pesantren, Ma’iyah sebagai komunitas hanya terikat secara 'kultur', karena mereka pada umumnya tidak dibentuk atas dasar kultus individu terhadap pemimpin pengajiannya, tetapi dibentuk berdasarkan kesamaan agama dan budayanya.
Dalam banyak hal, terbangunnya komunitas Ma’iyah yang dibangun Cak Nun ini juga didasarkan atas maraknya kegiatan keagamaan (dakwah) yang menyasar kalangan masyarakat untuk tidak akomodatif terhadap unsur-unsur budaya atau kearifan lokal sehingga model kegiatan dakwah keagamaannya justru sangat bertentangan atau melawan keberadaan adat dan budaya itu sendiri. Nuansa politik tampak terlihat dari model dakwah seperti ini, yaitu memberangus kearifan lokal sembari mengokohkan kekuasaan kelompoknya sebagai bentuk klaim universal pengemban misi kenabian dan pemegang otoritas kebenaran agama.Â
Hal inilah kemudian yang dianggap sebagai bentuk penodaan atas Islam yang dalam misi kenabian disebut sebagai 'rahmat bagi semesta alam' bukan sebuah pengakuan atas otritas keagamaan suatu kelompok tertentu atau kultus terhadap kebenaran yang dibawa oleh sebuah kelompok tertentu. Keberadaan komunitas Ma’iyah dan Kyai Kanjeng justru merupakan jawaban atas klaim keagamaan yang dimonopoli oleh kalangan yang tidak bisa bersatu dengan fenomena kearifan lokal masyarakat.
Komunitas Ma’iyah yang saat ini terbentuk, mungkin bisa ratusan ribu atau jutaan jumlahnya dan mereka tersebar di berbagai wilayah, baik Jawa atau luar Jawa. Uniknya, komunitas ini tidak mengikatkan dirinya baik kepada kelompok atau pemimpinnya, juga tidak dibatasi oleh keberadaan tempat, semisal padepokan atau semacamnya sehingga tidak terjadi kultus individu terhadap pemimpinnya. Komunitas ini memberikan semacam pengakuan atas dirinya yang kering akan  pengetahuan keagamaan sehingga perlu mencari sandaran keagamaan yang tepat. Maka berdasarkan kedekatan kultural keagamaan, komunitas ini justru saling terhubung dan berbagi pengetahuan keagamaan dari setiap pengajian komunitas Ma’iyah. Tanpa harus datang atau berkumpul, komunitas ini bisa berbagi di media sosial tentang setiap informasi pengetahuan yang didapatnya di setiap selesainya perhelatan pengajian Ma’iyah.
Namun demikian, terdapat suatu fenomena keagamaan yang justru dibangun berdasarkan sentimen pengultusan terhadap individu pemimpinnya (cult of personality), sebagaimana yang masyarakat saksikan belakangan ini, yaitu komunitas yang dibangun oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Komunitas yang sudah terbangun sejak 2009 ini juga memperlihatkan bangunan sebuah komunitas yang terikat atau mengikatkan diri secara personal kepada pemimpinnya (kultus). Bahkan tak sedikit, di antara para pengikutnya yang begitu percaya dengan kemampuan Dimas Kanjeng dalam menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti misalnya dapat memberikan kekayaan, jabatan atau diposisikan sebagai guru spiritual yang dipercaya mampu menyelesaikan beragam persoalan hidup masyarakat. Saya kira, fenomena keberadaan Dimas Kanjeng yang kemudian dikultuskan sebagian masyarakat akan rentan dimanfaatkan sebagai sarana menangguk keuntungan secara pribadi oleh siapapun yang mengultuskannya.
Kultus merupakan bentuk mitologi kemanusiaan, di mana seseorang yang dikultuskan dianggap memiliki kekuatan atau keistimewaan yang melebihi manusia pada umumnya. Padahal, manusia sebagai entitas ciptaan Tuhan, diposisikan sama dan sejajar sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Dimensi kemanusiaan sebagai mahluk tetap melekat secara fithrah-nya dan sama antara satu manusia dengan manusia lainnya diseluruh jagat raya ini. Dalam banyak sejarah kemanusiaan, pengultusan terhadap individu justru telah melanggar fithrah dan jelas akan mengalami kehancuran.Â
Mitologi kemanusiaan masa lampau yang kemudian mengalami kehancuran sudah dibuktikan oleh keberadaan Fir’aun yang kekuasaannya runtuh dan hancur terkubur bersama mitologi kekuasaannya. Saya kira, masih banyak fenomena kultus individu yang kemudian dipersepsikan oleh masyarakat tetapi justru lambat laun akan mengalami kehancuran pada akhirnya. Â
Terbongkarnya kasus pembunuhan yang melibatkan pengikut Dimas Kanjeng justru merupakan pintu masuk untuk menelusuri lebih jauh soal bagaimana fenomena pengkultusan terhadap pimpinan sebuah padepokan yang berada di Probolinggo itu. Diakui atau tidak, kasus pembunuhan ini justru kemudian membuka lebih luas soal adanya praktek pengultusan yang dilakukan para pengikut Dimas Kanjeng yang saat ini tersangkut kasus pidana. Dimas Kanjeng diyakini oleh para pengikutnya sebagai wujud dari mitologi kemanusiaan dengan seperangkat 'kesaktian' yang dimilikinya dan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, termasuk kebutuhan manusia dalam hal  memperoleh banyak uang.
Kultus ini dimanfaatkan oleh Dimas Kanjeng secara sadar dengan memperlihatkan 'kesaktiannya' bahwa dia mampu menggandakan uang dalam jumlah banyak. Di sinilah ketika kultus sudah tidak lagi berjalan pada realitas kultur, dia bisa menjelma sebagai mitos yang diyakini kebenarannya secara buta. Kultus individu dengan demikian dapat mengantarkan seseorang yang dikultuskan secara sadar untuk membuat anomali-anomali dalam masyarakat dalam rangka memperkokoh eksistensi dirinya. Komunitas yang dibangun berdasarkan kultur dan kultus seakan menjadi entitas yang saling paradoks: yang satu berdasarkan pendekatan kultural sehingga lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan yang lainnya keluar dari dimensi kultur dengan menyuguhkan persepsi mitos yang jauh keluar dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H