Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Tipologi Pemilih di Pilkada Jakarta

25 September 2016   23:10 Diperbarui: 26 September 2016   07:38 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peta politik perhelatan kontestasi di Pilkada Jakarta 2017 setelah melihat konstelasi kekinian memperlihatkan potret tipologi pemilih yang akan lebih sulit diprediksi. Paling tidak, para pemilih cenderung terbagi kedalam beberapa tipologi yang terpengaruh oleh banyak faktor, bisa kedekatan emosi, ideologi, atau ketertarikan terhadap program kerja. 

Dalam sebuah kontestasi dengan banyak kontestan yang dipilih, publik pemilih pada umumnya cenderung lebih tertarik kepada kontestan berdasarkan kedekatan (proximity) yang dianggap memiliki kesamaan serta kedekatan sistem nilai dan keyakinan. Unsur “kedekatan” yang ada dalam setiap individu pemilih di Jakarta dengan para kontestannya akan menentukan pada akhirnya kepada siapa para pemilih di Pilkada Jakarta akan menentukan pilihan politiknya. Kedekatan-kedekatan yang dimaksud bisa saja berasal dari tipologi pemilih rasional dan sekaligus juga non-rasional.

Para kontestan politik dalam Pilkada Jakarta yang terdiri dari tiga pasangan calon, masing-masing mengklaim memiliki pemilih atau pendukung dengan unsur ketertarikan kepada masing-masing kontestan berdasarkan kedekatan. Karena secara psikologis, perilaku pemilih akan ditentukan pilihannya berdasarkan kesamaan (similiarity) dan daya tarik (attraction) kepada setiap kontestan yang ada. Calon gubernur petahana Ahok-Djarot, misalnya pasti telah memiliki data soal siapa pemilih mereka, begitu juga pasangan Anis-Sandi dan Agus-Sylvia.

Untuk pasangan cagub-cawagub  yang disebut terakhir ini terlihat lebih banyak mengandalkan kekuatan “daya tarik” karena memang mereka merupakan wajah baru dalam dunia politik. Daya tarik para pemilih kepada pasangan yang disebut terakhir ini kemungkinan besar karena ketokohan SBY, di mana Agus memang anak sulung dari Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi pengusung utama kontestan. 

Nampaknya, perjuangan politik yang ekstra berat harus dilakukan oleh kontestan politik dukungan Demokrat, PAN, PKB dan PPP ini agar mampu secara cepat meraup pemilih tidak hanya berdasarkan daya tariknya, tetapi didasarkan atas kesamaan terhadap setiap problem solving yang ada di masyarakat.

Petahana Ahok-Djarot lebih merepresentasikan aspek rasionalitas yang ada dalam setiap individu pemilihnya, karena pada umumnya ketika dihubungkan dengan orientasi politik para pendukungnya cenderung mendasarkan mereka pada kesamaan dalam hal pemecahan masalah (problem solving). Kita tahu, bahwa sebagian besar para pendukung Ahok lebih tertarik kepada cara-cara dirinya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di Ibu Kota. 

Penyelesaian kasus-kasus korupsi, birokrasi, banjir, kemacetan, ketertiban dan berbagai aspek penyelesaian masalah sosial di Jakarta relatif memiliki kesamaan dengan apa yang diinginkan oleh mereka yang saat ini menjadi pendukungnya. Walau demikian, terkadang aspek non-rasional juga bisa masuk dalam tipologi pemilih Ahok-Djarot, karena setiap keputusan politik tidak akan seluruhnya berdasar murni rasionalitas, sebab alasan-alasan non logis seperti emosi, keyakinan atau ideologi juga bisa berpengaruh dalam diri individu pemilih. Hanya saja, mungkin kadar rasionalitasnya bisa lebih tinggi dibanding non-logisnya.

Rasionalitas dalam dunia politik juga didukung oleh adanya kalkulasi, statistik, probabilitas atau bahkan model game theory dalam segala hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan politik. Kita bisa lebih banyak melihat, bagaimana sudah sejak awal, petahana bermain “game” dengan isu-isu elektabilitas atau popularitas yang kemudian banyak dilansir oleh media. 

Kondisi ini dalam banyak hal tentu akan berpengaruh terhadap segmentasi pemilih berdasarkan kecenderungan rasional. Kecenderungan rasionalitas seperti ini jelas akan membentuk individu pemilih yang kritis, penuh perhitungan dan cenderung berupaya memaksimalkan setiap utilitas. Jadi, pemilih rasional umumnya mampu memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya (cost) politik. 

Dukungan kekuatan politik Ahok-Djarot yang direpresentasikan melalui PDI-P, Golkar, Nasdem dan Hanura yang dijadikan basis pemilihnya, termasuk bagian dari upaya politik dalam memaksimalkan keuntungan dan sekaligus penekanan terhadap biaya politik. Ahok sudah sejak awal memaksimalkan cara-cara rasional dengan menekan serendah-rendahnya biaya politik dan parpol pendukungnya mencari keuntungan dengan memaksimalkan utilitas yang dimiliki petahana.

Anies dan Sandi sebagai sebuah kekuatan politik yang dianggap sebagian kalangan sebagai penantang terkuat calon petahana kemungkinan besar juga didukung oleh para pemilih berdasarkan kesamaan terhadap pemecahan masalah antara masyarakat pendukung dengan kontestan, sekaligus bahwa Anies sebenarnya memiliki daya tarik yang cukup menjanjikan sebagai alternatif pemimpin Jakarta. Sebelum dinyatakan sebagai calon gubernur yang diusung oleh dua parpol, Gerindra dan PKS, Anis sudah lebih dulu masuk bursa cagub dengan elektabilitas cukup tinggi. Ini artinya, ekspektasi warga Jakarta terhadap mantan Mendikbud ini, tidak hanya didasari oleh kesamaan karakteristik, melalui kecocokan program kerja,

 tetapi juga didasari oleh ketertarikan terhadap Anis sebagai sosok bersahaja, cerdas, jujur, bersih dengan pengalaman yang juga mumpuni dalam birokrasi. Bahkan dalam beberapa hal, Anis-Sandi terlihat memainkan isu-isu sentimen kedaerahan dengan selalu terlihat memakai busana khas Betawi yang bisa saja dalam rangka membangun “legitimasi” kepada warga asli Jakarta yang saat ini mulai terpinggirkan oleh kepongahan industrialisasi kota.

Para pemilih Jakarta sebagai manusia sejatinya merupakan makhluk rasional sekaligus non rasional. Keduanya bisa menyatu dalam diri pemilih di setiap pengambilan keputusan politik. Adalah terlalu sederhana ketika memahami bahwa misalnya para pemilih yang berada dalam lingkungan kota besar seperti Jakarta hanya mewakili para pemilih berdasarkan cara pandang mereka yang rasional. 

Kenyataannya, banyak di banyak tipologi masyarakat bahwa kecenderungan memilih justru sangat dipengaruhi oleh faktor non rasional yang dimiliki setiap individu pemilih. Umumnya, para pemilih akan menggunakan cara-cara non rasional yang mereka miliki, seperti intuisi, sistem nilai, keyakinan atau anggapan umum yang ada dalam masyarakat. 

Stereotipe yang terbentuk secara umum dalam masyarakat, baik yang diciptakan oleh beragam hasil survey mengenai elektabilitas atau popularitas kontestan bisa saja merupakan aspek non rasional yang menggerakan kognitif individu pemilih untuk melakukan shortcut dalam pilihan politiknya.

Asumsi saya, munculnya tiga pasangan cagub-cawagub di Pilkada DKI 2017 (bukan dua pasangan) akan lebih banyak memecah tipologi pemilih berdasarkan kedekatan pemilih dengan para kontestannya. Apalagi didukung oleh konstelasi politik di Jakarta yang belakangan justru mengedepankan emosi politik bukan asumsi-asumsi rasionalitas yang dibangun. 

Tidak berhasilnya kata sepakat antarparpol pendukung non Ahok misalnya, juga merupakan perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada emosi politik, bukan kalkulasi ekonomi yang mengedepankan prinsip untung-rugi. 

Oleh karena itu, wajar jika para aktor pengambil keputusan ini masih didasari oleh sistem nilai dan keyakinan (beliefs) yang selama ini mereka pegang. Tidak semua pemilih di Jakarta dibekali oleh seperangkat informasi yang lengkap dan menyeluruh terhadap kualitas para kontestan yang ada, sehingga para pemilih akan lebih menggunakan “keyakinan” mereka dalam hal memilih. 

Seseorang bisa saja memilih si Z ketimbang “Z” karena keyakinan mereka yang mendorong bahwa si Z lebih baik daripada si “Z”. Semoga Pilkada Jakarta tahun depan dapat melahirkan pemimpin yang tulus, cerdas, bijak, adil sehingga mampu memberikan keyakinan yang kuat kepada warganya untuk terus maju.

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun