Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Tidak Ada Makan Siang Gratis” Soal Pergantian Kepala BIN

4 September 2016   14:19 Diperbarui: 4 September 2016   17:08 2150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakapolri Budi Gunawan. Kompas.com

There is no free lunch”, demikian sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris yang seringkali dikonotasikan terhadap banyak hal, biasanya ketika dihubungkan dengan seseorang yang memperoleh kesempatan dalam mendapatkan privilege untuk sebuah jabatan politik

Privilege atau keistimewaan ini tentunya tidak diperoleh secara gratis, tetapi melalui beragam kepentingan yang dibuat sehingga mempengaruhi seseorang dalam kesempatan dipilih atau terpilih menempati jabatan atau kedudukan secara politik.

Seseorang yang ingin mendapatkan kekuasaan, pasti sudah  membayar mahal atas segala upayanya, baik itu membangun koneksi, kedekatan dengan unsur kekuasaan dan kepentingan atau upaya-upaya transaksional yang dijalankan untuk dapat meraih sebuah jabatan publik. 

Sangat naif jika kemudian ada yang menyatakan, misalnya, “sebuah pergantian itu adalah hal wajar, rotasi itu biasa dalam hal penyegaran kekuasaan” tanpa melihat lebih jauh lagi, bahwa sebenarnya ada unsur-unsur kepantingan yang terlibat didalamnya.

Publik saat ini sedang menyoroti soal pergantian Kepala BIN (KaBIN) yang terkesan “mendadak” dilakukan Presiden Joko Widodo dengan mengajukan calon tunggal Budi Gunawan sebagai pengganti Sutiyoso yang selama 13 bulan ini telah memimpin organisasi intelijen negara. Jika dilihat dari umur masa jabatannya menjadi kabin, Sutiyoso termasuk yang paling singkat diantara kabin lainnya yang pernah ada.

Mantan KaBIN AM Hendropriyono pernah menjabat selama 3 tahun (2001-2004), sebelumnya Syamsir Siregar bahkan 5 tahun (2004-2009) dan Marciano Norman 4 tahun (2011-2015) dan terakhir Sutiyoso hanya 13 bulan (Juli 2015-September 2016). 

Memang, dalam undang-undang soal jabatan kabin tidak disebutkan secara eksplisit berapa lama jabatan yang harus diemban oleh seorang KaBIN, hanya saja ketika jabatan kabin yang diberikan cukup singkat kepada Sutiyoso, dengan alasan senormatif apapun tetap akan menimbulkan banyak pertanyaan di benak publik. 

Hal ini sangat berkaitan dengan tugas KaBIN yang tidak sederhana, bukan hanya berkaitan dengan soal deteksi dini (early warning system) terhadap ancaman negara, tetapi juga tentang menjaga berbagai macam yang berkaitan dengan rahasia-rahasia kenegaraan.

Pertanyaan yang timbul kemudian dengan soal pergantian KaBIN yang sangat cepat adalah, adakah rahasia negara yang bocor? Adakah tindakan teror yang mengancam negara dan sulit terselesaikan? Atau apakah KaBIN yang lama mendeteksi ada tindakan yang membahayakan negara sehingga negara perlu menyelamatkan berbagai kepentingan politiknya? 

Atau bisa saja apakah ada “tekanan politik” yang begitu kuat dalam internal kekuasaan sehingga jabatan-jabatan tertentu yang kurang sreg dengan kekuasaan harus dirotasi dan diganti oleh orang yang lebih akomodatif? Kita tahu bahwa perombakan Kabinet Jilid 2 saja sudah menimbulkan banyak soal di masyarakat, utamanya mengenai kasus dwi kewarganegaraan terhadap Menteri ESDM Archandra sehingga jabatannya sebagai sebagai seorang menteri harus dilepas.

Saat ini kesimpang siuran masih terjadi, apakah Arcandra akan dipanggil kembali oleh presiden ataukah kursi menteri ESDM dibiarkan kosong dan dijalankan  sementara oleh menteri lain. Saya kira, jabatan menteri ESDM sangatlah penting karena berkaitan dengan aset kekayaan negara yang harus dikelola secara bersih dan profesional bukan hanya dikelola secara asal-asalan apalagi banyak kepentingan asing berada dibelakangnya.

Sebagai sebuah jabatan politik, soal kabin memang menjadi hak prerogratif presiden mengenai kapan, siapa, berapa lama dan bagaimana seorang kabin diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Hanya saja, presiden tentunya tidak gegabah mengambil keputusan sebelum mendapat masukan atau pertimbangan dari pihak internal “khusus” berdasarkan pembacaan atas suatu realitas politik dan bukan semata sebatas “urusan pribadi” presiden. 

Oleh karenanya, kalkulasi yang kemudian dihubungkan dengan bagaimana berjalannya sebuah prinsip akomodasi politik, baik dengan mitra politik, pihak oposisi ataupun kekuatan politik di parlemen atau ekstra parlemen akan sangat mewarnai pertimbangan politik bagaimana seorang presiden menunjuk atau memberhentikan seseorang yang berada dalam penguasaan hak prerogratif dirinya.

Jabatan KaBIN adalah jabatan yang “ekstra penting” dan memiliki ekses yang sangat besar terutama dalam menjalankan kepentingan negara. Kita tentu tahu, bahwa negara merupakan representasi dari suatu alat kekuasaan hegemonik, dimana para aktor-aktor politik yang paling berkuasa dalam negara cenderung lebih mudah mengatur, memposisikan, memberikan penekanan agar kepentingan-kepentingan mereka dapat diakomodasi oleh negara.

Sehingga, jabatan seorang KaBIN adalah seseorang yang harus mampu bersikap akomodatif terhadap banyak kepentingan, jika diabaikan, maka dipastikan posisi kabin yang sedang diembannya akan banyak berbenturan dengan kepantingan lain yang lebih kuat dan tentu saja hegemonik. Di sinilah mungkin faktor determinan kenapa seorang KaBIN harus diganti karena bisa saja dia tidak akomodatif terhadap “kepentingan” yang mulai mencoba menekan dirinya.

Saya kira, penunjukkan Budi Gunawan yang merupakan orang dekat Megawati Soekarnoputri, oleh Presiden Jokowi juga tidak bisa bebas nilai hanya sebuah kewajaran dalam soal tradisi dalam rotasi kepemimpinan. 

Budi yang pernah menjadi ajudan Megawati di saat beliau sebagai presiden dan Presiden Jokowi yang juga merupakan kader partai pimpinan Megawati, tentunya bisa saja sedang dalam posisi menjalankan sebuah bargaining

Bargaining politik ini bisa saja berkait dengan soal pengamanan kekuasaan seorang presiden terutama dalam memperoleh dukungan politik untuk keterpilhannya pada masa berikutnya.

Adalah sebuah kenyataan yang wajar dalam kekuasaan politik, bahwa seorang presiden harus mampu bekerjasama dengan banyak pihak dan mampu menjaga dukungan publik untuk memuluskan kepemimpinannya dan berimplikasi pada keterpilihannya pada pemilu berikutnya.  

Jokowi tentunya memiliki ketepatan dalam mengukur pertimbangan politik soal kenapa Budi Gunawan kemudian terpilih dan diajukan sebagai calon KaBIN pengganti Sutiyoso. Sebagaimana diketahui, jabatan KaBIN tidak hanya sekadar dilihat dari soal kecakapan, profesionalisme atau kualitas seseorang dalam pengetahuan soal intelijen secara teknokratik, tetapi ia juga merupakan jabatan politik yang tentunya mempertimbangkan banyak kepentingan.

Sebagai seorang jenderal polisi, Budi Gunawan tentunya sudah memiliki segudang pengalaman dalam segala hal berkait dengan pengetahuan bidang intelijen apalagi Budi sudah berkecimpung puluhan tahun di lembaga yang memiliki kedekatan unsur dengan militer ini. 

Budi Gunawan bisa memberikan harapan baik untuk kelanjutan BIN yang lebih profesional karena kebanyakan sebelumnya jabatan BIN selalu diisi oleh mereka yang berlatang belakang militer bukan dari kepolisian. Publik tinggal menunggu saja, bagaimana proses uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan DPR terhadap calon kabin yang sudah resmi diajukan oleh Presiden Jokowi ini.

Wallahu a’lam bisshwawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun