Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Indonesia “Mendadak” Gay?

2 September 2016   11:16 Diperbarui: 4 April 2017   17:34 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ditengah menguatnya penolakan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan kaum Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) yang juga sedang disorot dunia, kini justru dihebohkan oleh sebuah kabar menarik sekaligus mengerikan, bahwa sebenarnya telah ada dan mungkin sudah menjamur prostitusi gay di Indonesia. Para Mucikari menjajakan kaum adam bahkan ada yang dibawah umur sebagai pelampiasan seks yang diperuntukkan bagi komunitas penyuka sesama jenis. Padahal, sebagai sebuah komunitas tersendiri, semestinya mereka para kaum gay bisa menikmati sensasi seksualitasnya bersama kaum sejenis yang telah terbentuk dalam komunitasnya. Tetapi mereka malah cenderung “jajan” diluar dan menyasar kelompok anak-anak yang justru secara psikologis insting seksualitas mereka ini masih normal, bukan penyuka sesama jenis.

Fenomena prostitusi gay yang baru terkuak ini menjadi menarik, karena memang baru kali ini terungkap ke permukaan publik. Padahal umumnya, prostitusi identik dengan kegiatan bisnis “esek-esek” yang didalamnya terjadi transaksi “kenikmatan” antarlawan jenis, laki-laki dan perempuan. Prostitusi sendiri memang telah menjadi bagian dari masyarakat dimanapun, meski keberadaannya dianggap sebagai “masalah sosial” sehingga perlu dibenahi melalui pendekatan manusiawi. Lalu, jika terjadi prostitusi yang menjajakan laki-laki kepada sesama laki-laki, bagaimana membenahinya? Apakah bisa dengan pendekatan manusiawi? Saya kira akan sangat sulit ketika kelompok sosial seperti ini diberikan pembenahan secara sosial, apalagi agar mereka kembali berperilaku normal seperti kaum adam pada umumnya.

Belakangan ini, kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak dibawah umur sudah sangat  mengkhawatirkan di Indonesia. KPAI bahkan merilis selama 2013-2014 kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak mencapai 100 persen setiap tahunnya, baik mereka menjadi korban atau pelaku. Sungguh sebuah fenomena yang semakin mengerikan soal nasib masa depan anak-anak Indonesia nantinya. Anak-anak yang seharusnya menjadi tunas bangsa dan menjadi generasi penerus kita, justru terjerembab dalam perilaku yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan, menjadi pemuja libido yang tak terkendali. Yang lebih mengerikan, para anak yang memiliki orientasi seksual secara normal, bisa jadi menyimpang karena dipaksa melayani hasrat seksual kaum penyuka sesama jenis atau gay yang praktek prostitusinya mulai terbongkar. Ulah komunitas penyuka sesama jenis ini justru akan menciptakan psikologi anak-anak malah “mendadak” gay karena terbiasa dengan orientasi seksual mereka yang dipaksa menyimpang.  

Dalam kajian disiplin psikologi, kaum homoseksual atau gay bisa masuk dalam kategori “menyimpang” secara orientasi seksual, karena memang insting seksualitas mereka justru lebih bergairah dengan sesama jenis dan pada tahap tertentu, mungkin bisa merasa “jijik” dengan lawan jenis. Perilaku semacam ini disebut invert yaitu kecenderungan berbeda seseorang sehingga bisa benar-benar terbalik (absolutely invert) dari fithrah kemanusiaan sesungguhnya. 

Oleh karenanya, banyak kalangan yang menilai bahwa perilaku homoseksual sangatlah bertentangan dengan naluriah kemanusiaan sehingga telah melanggar norma-norma agama dan budaya yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Ketika sudah bertentangan dengan budaya, norma dan kepercayaan masyarakat, maka sangat wajar jika kemudian ada resistensi yang begitu kuat dalam masyarakat untuk menolak segala bentuk perilaku penyimpangan seksual seperti itu.

Saya kira, terkuaknya kasus prostitusi gay di Bogor beberapa waktu yang lalu justru semakin menambah kuat kekhawatiran sebagian besar masyarakat terhadap perluasan komunitas LGBT di Indonesia. Bagaimana tidak, kelompok ini ditengarai sudah seringkali mempropaganda masyarakat dari semua lapisan dan golongan agar dapat mengakui dan menerima mereka sebagai “komunitas legal” yang wajar. 

Propaganda bahkan dilakukan tidak hanya melalui kegiatan-kegiatan resmi, seperti aksi sosial atau kegiatan kemasyarakatan yang sengaja dilakukan dalam rangka penguatan identitas mereka sebagai “kelompok sosial baru” yang juga bermasyarakat. Kegiatan propaganda bahkan seringkali dibuat “terselubung” melalui berbagai macam media yang menyasar anak-anak dibawah umur dan belum begitu paham bagaimana orientasi seksual mereka. Kekhawatiran masyarakat justru adalah masuknya “orang-orang baru” kedalam komunitas mereka sehingga mereka bertambah banyak, salah satunya yang dijalankan melalui prostitusi penyuka sesama jenis.

Ternyata dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) no 1 tahun 2016 yang memberikan pemberatan hukuman terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tidak begitu berpengaruh terhadap berkurangnya fenomena kejahatan seksual. Hal ini terbukti dari terbongkarnya prostitusi gay yang melibatkan anak-anak di Bogor yang bisa jadi dapat menguak prostitusi sejenis yang telah ada di daerah lainnya. 

Anehnya, pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan ini juga menjadi kontroversial di tengah masyarakat, antara mereka yang mendukung dan menolak. Para dokter yang tergabung dalam organisasi IDI bahkan menolak melakukan “suntik kebiri” kepada pelaku kejahatan seksual karena dinilai bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Kementrian Kesehatan malah keberatan karena harga untuk suntik kebiri sangat mahal, bisa mencapai Rp 180 juta untuk 3 kali suntik, sehingga harus menambah ekstra anggaran.

Indonesia memang berada dalam kondisi yang serba darurat, dari darurat korupsi, narkoba, asap  dan belakangan, darurat kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak dibawah umur. Kondisi darurat memang sudah seharusnya ditangani dan diselesaikan dengan kebijakan yang juga darurat, seperti pemberatan hukuman, memberi efek jera atau sampai hukuman mati bila perlu. Untuk menegakkan hukuman yang membahayakan kelangsungan hidup kemanusiaan, memang harus diberikan semaksimal mungkin kepada pelakunya tanpa harus melihat secara linier terhadap penegakkan HAM di Indonesia. 

Kejahatan seksual, apalagi yang melibatkan anak-anak juga adalah pelanggaran HAM berat, karena telah mencabut hak yang seharusnya melekat pada diri seorang anak, seperti hak mendapatkan pendidikan, kasih sayang orang tua, penghargaan dari masyarakat dan lingkungan dan hak menyelesaikan cita-citanya yang tertunda. Untuk kasus prostutusi gay, saya kira banyak pasal berlapis yang dikenakan kepada pelakunya. Karena penyebaran informasi yang dilakukan dalam bertransaksi menggunakan media sosial, berarti pelaku bakal terjerat pasal UU ITE dan UU Pornografi. Pelaku yang menyasar anak-anak untuk kejahatan seksual maka akan berhadapan dengan pasal-pasal dalam UU Perdagangan Orang dan UU Perlindungan anak. Semoga hukuman maksimal dapat memberantas segala macam kejahatan seksual ini yang semakin mengkhawatirkan dan berdampak terhadap kemajuan masa depan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun