Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Warna-warni Pemilih di Pilkada Jakarta

30 Agustus 2016   09:04 Diperbarui: 30 Agustus 2016   11:34 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - pilkada. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Tidak seperti wilayah lainnya di Indonesia, pilkada Jakarta sepertinya memiliki daya tarik tersendiri soal bagaimana tipologi para pendukung setiap kontestan jelang perhelatan politik kali ini terbentuk. Padahal, tipologi pemilih rata-rata memiliki kecenderungan yang sama dalam hal memilih di hampir seluruh kontestasi politik yang ada. 

Jakarta sebagaimana diberitakan oleh banyak media, selalu mencerminkan suhu politik yang relatif panas karena memang “cuaca panas” dihasilkan oleh setiap pendukung masing-masing kandidat sehingga mengenal tipologi para pemilih dan pendukung setiap kontestan di pilkada Jakarta justru semakin menarik. Terlihat jelas bahwa emosi politik para pemilih di Jakarta lebih banyak dibentuk oleh apresiasi setiap individunya terhadap beragam informasi politik yang ditangkap secara kognitif oleh alam pikiran mereka sendiri.

Para pendukung dan non-pendukung salah satu kandidat jelang kontestasi politik di Jakarta tidak seluruhnya mengedepankan rasionalitas politik, meskipun Jakarta dianggap sebagai cermin masyarakat perkotaan. Padahal semestinya, masyarakat Jakarta yang secara geografis merupakan wilayah perkotaan, dianggap banyak orang sebagai perwujudan masyarakat yang rasional terutama soal pilihan politik. 

Masyarakat yang cenderung rasional akan memilih kandidat sesuai dengan program kerjanya yang ditawarkan atau mampu memberikan solusi konkret terhadap persoalan masyarakat yang ada, tidak lagi tergantung pada persoalan ideologi apa yang dianut oleh seorang kandidat. 

Namun demikian, ketika solusi konkret dalam persoalan masyarakat belum juga terpecahkan atau program kerja ada yang tidak sesuai dengan harapan publik, para pemilih rasional bisa saja bersikap “subjektif” dalam menilai setiap kandidatnya yang akan dipilih. Subjektivitas pemilih di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur rasional dan non-rasional dalam hal politik. Umumnya, model masyarakat seperti ini membentuk sebuah masyarakat kritis dalam mengapresiasi setiap hal yang bernuansa politis.

Dalam banyak hal, kecenderungan para pemilih yang relatif rasional seperti di Jakarta, dilihat dari apresiasi mereka kepada setiap kandidatnya, dapat dibedakan kedalam dua tipologi. Pertama, para pemilih yang berorientasi kepada “policy problem solving” dan Kedua para pemilih yang cenderung berorientasi “ideology”. 

Meskipun terkadang kedua orientasi ini bisa saja berpadu dan hadir secara bersamaan pada setiap individu pemilih, tetapi seringkali salah satunya akan terlihat nampak lebih dominan. Tipologi pemilih yang disebut pertama biasanya lebih banyak melihat kepada keberhasilan kinerja (back ward looking) atau program kerja yang ditawarkan (forward looking) oleh masing-masing kandidat. 

Kelompok ini cenderung tidak peduli terhadap ideologi apa yang dianut atau nilai-nilai apa yang dapat diambil dari seorang kontestan politik yang akan dipilihnya. Selama mereka yakin bahwa program kerja yang ditawarkan dapat memberikan solusi kepada masyarakat, mereka akan cenderung memilih kandidat yang dalam pandangan mereka mampu bekerja secara lebih baik.

Kelompok pertama yang disebutkan tadi, umumnya diwakili oleh kelompok-kelompok yang tingkat pendidikan dan ekonominya lebih tinggi. Kelompok-kelompok ini biasanya sudah merasa “nyaman” dengan program dan hasil kerja yang telah terbukti berhasil di masyarakat, sehingga memilih kandidat lain yang belum teruji program kerjanya cenderung sulit mereka terima. 

Mereka juga umumnya bukanlah pemilih pemula atau pemilih mengambang (floating voters) dalam masyarakat. Mereka terbentuk sebagai pemilih yang erat kaitannya dengan kondisi awal sebagai pemilih yang banyak mengakses beragam informasi baik dari media atau dari berasal dari kontestan politiknya secara langsung. Kelompok ini cenderung lebih mudah dalam mengakses beragam informasi dan lebih kritis dalam mengolah terhadap seluruh informasi politik yang mereka terima.

Kelompok kedua biasanya lebih mengikatkan diri dalam hal kesamaan atau kedekatan berdasarkan subjektivitas terhadap pribadi kontestan politik, bisa karena kesamaan budaya, nilai, kepercayaan, agama, moralitas, norma atau emosi yang telah terbentuk dalam individu si pemilih. Semakin dekat terhadap ideologi yang ada dalam diri seorang kontestan politik, maka semakin kuat keyakinan para pemilih untuk memilihnya. 

Orientasi ideologi tidak juga diartikan bahwa mereka tidak rasional dalam memilih, karena derasnya arus informasi politik yang mereka terima juga akan menjadikan pijakan rasional ketika mereka harus memilih. Faktor pemilih dalam menentukan pilihan politiknya tidak hanya dipengaruhi secara eksternal dari lingkungan sekitarnya, tetapi setiap pemilih yang berorientasi “ideology” juga dilatarbelakangi oleh asumsi free choice dimana mereka memiliki derajat kebebasan yang tinggi untuk menjatuhkan pilihan akhir politiknya.

Saya melihat, kedua arus utama tipologi pemilih seperti yang telah disebutkan sudah ada perwujudannya dalam konteks realitas pemilih di Pilkada Jakarta. Meskipun terkadang terjadi pembauran antara mereka yang berorientasi problem solving dan yang memiliki keterikatan ideology. Mereka yang berorientasi problem solving juga bisa saja menjadi pemilih yang “skeptis” yang mudah beralih memilih kandidat lainnya karena adanya penguatan ideology atau pemilih melihat ketidakpastian (uncertainty) atas program kerja yang diusung salah satu kandidat yang telah ada. 

Terkadang para pemilih juga dapat menilai secara ex post mengenai kinerja yang telah dijalankan para kandidat tetapi tidak mampu memenuhi solusi persoalan di masyarakat. Kondisi masyarakat yang semakin kritis dalam sebuah komunitas perkotaan akibat derasnya beragam arus informasi, membuat para pemilih berpikir ulang untuk menentukan pilihan politiknya. Emosi politik setiap individu pemilih akan ditentukan oleh banyak faktor dalam hal ini, baik oleh kesadaran ideologi secara internal atau melihat realita problem solving secara eksternal.

Untuk kasus pemilih dalam konteks Indonesia, khususnya Jakarta, perpaduan antara orientasi problem solving dan kedekatan ideology tampaknya bisa menjadi sebuah “kekuatan baru” dalam memetakan tingkat partisipasi politik masyarakat pada saat pemilihan. Hal ini yang seharusnya juga dipikirkan oleh para kontestan politik untuk lebih memahami karakter pemilih yang ada dalam lingkungan sekitarnya. 

Karakter individu pemilih ternyata memiliki warna-warni kekhasan yang tidak sekedar didorong oleh faktor environment-determinist berdasarkan interaksi dengan lingkungan, penyerapan informasi atau orientasi terhadap sikap dan perilaku para kontestan politik, tetapi juga terdapat unsur “free choice” yang secara subjektif ada dalam diri pemilih. 

Dengan demikian, para kontestan politik tidak harus menjelaskan secara spesifik sisi rasionalitasnya melalui penguatan program kerja atau tawaran solusi persoalan masyarakat, tetapi juga harus dapat menarik para pemilih kritis yang masih mengikatkan dirinya secara ideologis.

Belakangan ini para pemilih di Jakarta dihadapkan pada kondisi yang cukup pelik antara realitas problem solving yang dijalankan melalui program kerja salah satu kandidatnya tetapi masih belum dapat menyelesaikan solusi kemasyarakatan secara menyeluruh dan pilihan atas kesamaan ideologi yang terlihat cenderung menguat.

 Disinilah letak sulitnya membaca bagaimana para pemilih yang semakin kritis pada akhirnya memberikan pilihan politik mereka nanti. Para kandidat tentunya, harus semakin cerdas bagaimana mengelola para pemilih kritis ini agar mereka dapat dipertimbangkan sebagai kandidat yang masih layak dipilih secara politik oleh masyarakat.

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun