Tidak selamanya bahasa diungkapkan secara verbal dalam bentuk sebuah dialog atau komunikasi dengan orang atau pihak lain. Bahasa yang diungkapkan secara verbal melalui bentuk gramatikal yang tersusun dan dilakukan oleh dua pihak itu merupakan bahasa formal yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. Ini yang umum disebut dialog. Namun, ada kalanya seseorang dalam keadaan “diam” dia juga sebenarnya sedang berbahasa dengan dirinya sendiri. Bahasa diam dilakukan untuk berdialog dengan pikirannya. Saat diam, maka yang aktif adalah bahasa pikirannya dan untuk sementara “bahasa verbal” dia kesampingkan karena seseorang pasti akan mengambil momentum yang sangat tepat kapan eksternalisasi kata-kata dalam bahasa akan disampaikan.
Hal inilah nampaknya yang tercermin dari dalam diri Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Sebagai seseorang yang terlahir dari trah pemimpin besar perjuangan kemerdekaan Indonesia, Soekarno, Megawati nampaknya memiliki masih menyimpan taktik dan gaya politik Kejawen dengan mengedepankan pretensi alus dalam sikap politik. Prilaku alus dalam konteks Jawa mendorong seseorang lebih mengedepankan sikap yang wajar yang diwujudkan melalui pengekangan emosi serta pembatasan ambisi. Kita mungkin dapat melihat dalam penentuan soal keputusan politik PDI-P dalam menentukan cagub DKI Jakarta yang masih harus menunggu restu dari Megawati. Sikap politik Megawati yang tenang seakan-akan menunjukkan kewibawaan seorang pemimpin yang memadukan perasaan discomfort dan insulted sehingga belum saatnya berterus terang tentang siapa yang akan ditunjuk sebagai cagub DKI Jakarta nanti.
Mungkin publik banyak yang sudah mereka-reka, mendahului atau bahkan “memaksa” bahwa si A yang pantas dicalonkan oleh PDI-P sebagai cagub yang akan berlaga di kontestasi Pilkada Jakarta. Publik saat ini tampak merasa “gemas” dengan sikap politik PDI-P yang belum juga mengumumkan secara resmi siapa cagub yang akan diusung oleh mereka. Semua ini akan terselesaikan di tangan kekuasaan ketua umumnya, Megawati. Bagi sebagian orang yang memahami dan mengerti filosofi politik Jawa mungkin tidak aneh dengan sikap Megawati, karena mereka lebih Njawani atau paham secara lebih banyak bagaimana perilaku politik seseorang yang memang lahir, besar dan dididik oleh lingkungan yang kuat dalam budaya Jawa.
Dalam masyarakat Jawa, terdapat pola budaya politik lainnya yang terlihat dominan, seperti menjunjung tinggi ketenangan sikap yang merefleksikan sikap halus dan sopan. Kondisi ini biasanya mendorong seorang pemimpin untuk bersikap lebih mengontrol diri sendiri (self-control) sehingga tampak lebih tenang di muka umum karena lebih memusatkan pada kekuatan dirinya sendiri. Megawati nampaknya ingin menunjukkan ke publik sebagai figur yang berwibawa (powerfull) sehingga banyak orang yang membutuhkan dirinya, bukan dia yang membutuhkan orang lain.
Sebagai pribadi yang berwibawa, maka seorang pemimpin akan cenderung diam, menunggu waktu yang tepat dan tidak memulai membuat manuver. Kewibawaan seorang pemimpin dalam kultur Jawa, terletak bukan pada pengambilan keputusannya yang selalu ditunggu-tunggu banyak orang, tetapi lebih menekankan agar orang lain agar memiliki loyalitas dan kepatuhan kepada dirinya.
Saya berasumsi, bahwa sebenarnya cagub pilihan PDI-P sudah disepakati dan sudah disetujui oleh Megawati, hanya saja tidak sembarangan diumumkan lebih dahulu ke publik. Hal ini jelas dapat dijelaskan oleh situasi kultur dalam masyarakat Jawa yang lebih menekankan loyalitas dan kepatuhan kepada pemimpinnya karena kewibawaan yang melekat dalam dirinya. Disamping itu, dalam pola kepemimpinan dalam masyarakat Jawa, mereka cenderung mementingkan simbol daripada substansi. Sehingga keputusan yang nanti akan diungkapkan secara resmi oleh Megawati tentang siapa kontestan politik pada Pilkada Jakarta bukanlah substansi dalam soal kepolitikan.
Namun demikian, saya juga berasumsi sebagai orang yang kuat dalam hal “kultur Jawa”, Megawati juga pasti akan lebih mempertimbangkan “simbol-simbol” Jawa dalam hal memilih siapa yang akan diusung nanti sebagai cagub DKI Jakarta. Pertimbangannya adalah bahwa Megawati sebagi sosok yang memiliki wibawa dan kharisma dikalangan parpol berlambang banteng ini justru akan susah jika dihadapkan pada sosok pemimpin yang tidak memahami budaya Jawa. Hal ini mungkin sulit diterima oleh orang lain yang berbeda kultur, tetapi pada kenyataannya, politik bernuansa Jawa masih melekat dalam suatu aksioma konvensional yang dianut: “sugih tanpa banda, mglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji-aji, ngono yo ngono ning ojo ngono”. Hal inilah yang membuat kultur dalam kekuasaan politik Jawa agak sedikit unik dan berbeda dengan kultur masyarakat lainnya di luar Jawa.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H