Sama halnya dengan gerakan “anti rokok” dan wacana menaikkan harga rokok yang baru menguat sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu, padahal industri rokok sudah semakin besar dan memberikan kontribusi terhadap negara trilyunan rupiah. Jangan-jangan dibalik seluruh kampanye yang menyuarakan anti rokok sudah ditunggangi kepentingan asing yang berkeinginan menguasai bisnis tembakau yang cukup menjanjikan di Indonesia. Kampanye tentang kebaikan untuk tidak merokok bahkan dianggap sebagai “corong” kapitalisasi industri sampai-sampai seorang budayawan kawakan menyebut mereka yang beretorika menggalang anti rokok sebagai “nabi-nabi palsu” di era kapitalisme modern seperti saat ini.
Meskipun demikian, saya tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap murah atau mahalnya harga rokok di Indonesia. Karena ketika rokok mahal sekalipun, pasti masih ada cara lain untuk mengakali harga rokok yang melambung tinggi. Sampai banyak juga yang mengkhawatirkan justru akan banyak bermunculan rokok-rokok “palsu” yang dijual murah kepada masyarakat.
Bahkan yang lebih parah lagi, rokok-rokok akan ditimbun mulai sekarang, sama halnya dengan kasus ketika BBM akan naik, para pengusaha “abal-abal” kemudian memanfaatkan situasi demi mengeruk keuntungan secara pribadi, menimbun dan menjual harga rokok ketika harganya sudah meroket. Marilah berfikir cerdas dan bijak, bahwa rokok bukan biang keladi dari meningkatnya realitas kemiskinan dalam masyarakat Indonesia, tetapi masih banyak hal-hal lain yang memicu mengapa tingkat kemiskinan di Indonesia susah sekali mengalami penurunan.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H