Ada hal yang cukup mencengangkan bahkan dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan mengenai doa yang dibacakan seorang politisi Senayan yang berasal dari Partai Gerindra di Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus yang lalu. Doa tersebut dibacakan oleh HR Muhammad Syafi’i di sela-sela sidang tahunan MPR yang dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Doa yang dibacakan politisi Gerindra ini sekilas seperti menohok semua pihak, terutama mereka yang disebut sebagai pemimpin di negeri ini. Padahal, sebuah doa yang dipanjatkan adalah selalu sama dari tahun ke tahun, merupakan ungkapan permintaan seseorang kepada Tuhan dalam hal kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Bagi saya, tidak ada yang salah dalam sebuah doa, karena doa secara umum merupakan permintaan seseorang kepada Tuhannya. Bentuk permintaan bisa apa saja, tergantung situasi dan kondisi yang diinginkan pada saat itu. Doa pun bisa dilakukan siapa saja, tanpa mengenal status, apakah dia orang miskin, orang kaya, pejabat, politisi bahkan seorang penjahat sekalipun.
Doa merupakan inti dari semua ibadah dalam seluruh agama apapun. Ketika seseorang beribadah kepada Tuhannya, pasti tidak akan luput dari segala macam doa yang dipanjatkan. Umumnya doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan pada saat ibadah adalah seluruhnya bermakna kebaikan, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain. Secara umum, tidak ada larangan dalam berdoa, kapan saja, dimana saja dalam kondisi apapun. Hanya saja, dalam ajaran Islam dilarang untuk mendoakan kecelakaan atau kesengsaraan orang lain apalagi dengan “memaksa” Tuhan agar Tuhan dapat mengabulkan doanya.
Ada beberapa bait doa yang dibacakan Syafi’i yang dianggap sebagai hal yang kontroversial, seperti ketika dia membaca bait ini: “Jauhkan kami dari pemimpin yang khianat yang hanya memberikan janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat,”.
Bagi saya, bait dalam doa ini masih bernuansa umum, karena diantara kita pasti sepakat bahwa kita sangat benci dengan kebusukan para pemimpin yang hanya mengumbar janji-janji palsu kepada rakyat. Lebih-lebih lagi jika kita sadar bahwa ada diantara pemimpin kita yang berkhianat, tentu kita berharap bahwa pemimpin seperti ini hendaknya digantikan oleh pemimpin yang adil dan lebih baik.
Bait doa diatas memang sangat politis, karena menggambarkan kebusukan politik yang disimpan oleh seorang pemimpin rakyat tetapi “dilindungi” oleh kekuatan arogansi kekuasaan yang menutupi kebusukannya dan seakan-akan memberikan kesan yang baik dihadapan masyarakat. “Doa politik” yang dibacakan oleh seorang politisi juga sekaligus memberikan warning kepada dirinya sebagai salah satu pemimpin rakyat agar tidak menjadi pemimpin yang berkhianat.
Adalah suatu hal yang aneh ketika ada sebagian kalangan yang melakukan kritik atas doa yang dipanjatkan pada Sidang Tahunan MPR tahun ini. Bahkan, kritik yang diungkapkan oleh seseorang dan cukup heboh di media sosial memberikan atribut “setan” kepada Syafi’i karena doa-doa yang dibacakan hanya menyiratkan keluhan kepada Tuhan. Padahal, secara kodratnya, manusia cenderung berprilaku mengeluh dalam banyak hal dan itu adalah sebuah kenyataan takdir, bukan semata dorongan kemanusiaan.
Kritik terhadap doa yang dipanjatkan seseorang apalagi di depan para peserta Sidang Tahunan MPR bagi saya adalah hal yang aneh dan jarang sekali diungkapkan orang. Terlebih jika doa-doa yang dipanjatkan justru dianggap sebagai “keluhan tak berdasar” sehingga dianggap “doa setan” yang dipanjatkan justru kepada Tuhan. Jika memang ada beberapa pemimpin yang merasa “tersentil” oleh doa tersebut atau bahkan merasa “kebakaran jenggot” ya inilah demokrasi.
Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul dan menyuarakan aspirasi di depan publik dan telah dijamin oleh undang-undang, apalagi aspirasi itu terangkum dalam bait-bait sebuah doa. Bagi saya, doa yang dibacakan Syafi’i yang cukup mencengangkan ini adalah sebuah kritikan yang membangun, baik kedalam maupun keluar. Kedalam, berarti posisi pembaca doa yang merupakan wakil rakyat harus selalu introspeksi dan keluar memberikan warning kepada para pemangku kepentingan agar menjalankan amanat rakyat dengan sebaik-baiknya.
Sebuah doa yang dipanjatkan adalah refleksi dari cerminan hati nurani seseorang kepada Tuhannya terhadap pembacaan kondisi diri dan lingkungan sekitarnya. Doa sekaligus sebuah kekuatan batin yang mendorong seseorang agar ingin berubah ketika “secara fisik” dia memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan Maha Dahsyat dijadikan sebagai sandaran Maha Penolong disaat seluruh daya upaya sudah tidak mampu lagi dipergunakan manusia.