Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Kepemimpinan Politik Jelang Pilkada Jakarta

21 Agustus 2016   10:45 Diperbarui: 21 Agustus 2016   11:10 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca kondisi politik jelang perhelatan kepemimpinan dalam Pilkada Jakarta saat ini adalah persoalan ketiadaan stok calon pemimpin yang mampu diterima oleh semua pihak, khususnya oleh kalangan partai politik (parpol). Dominasi petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang akan maju dalam pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta seakan sulit sekali dicarikan lawan tandingnya. Koalisi parpol “gemuk” yang didukung tujuh kekuatan politik partai, yakni PDI-P, Gerindra, Demokrat, PKB, PKS,PAN dan PPP hingga saat ini masih menghadapi pilihan sulit, hanya Gerindra yang secara resmi menyatakan Sandiaga Uno sebagai cagub yang diusulkan untuk berlaga di kontestasi politik Jakarta. Beberapa parpol lain, termasuk PDI-P masih belum secara resmi menyepakati siapa yang akan menjadi seteru Ahok pada kontestasi Pilkada Jakarta nanti.

PDI-P sebagai parpol pemilik suara terbanyak di DPRD DKI dan seharusnya dapat mengusung cagub sendiri ternyata juga sulit menentukan siapa yang akan dijagokan untuk melawan calon petahana, Ahok pada Pilkada Jakarta. Keputusan politik PDI-P terjebak pada persoalan klasik, bahwa seorang cagub yang akan maju dalam sebuah Pilkada harus mendapat restu dari ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Selama belum ada restu dari Megawati, sia-sialah seluruh rumor mengenai calon yang sempat beredar di kalangan publik sebagai cagub DKI Jakarta.

Memang, rumor yang sempat menguat di ranah publik mengenai Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) yang pernah  memperoleh sinyal dari Megawati untuk diusung menjadi cagub DKI, ternyata tidak seluruhnya benar dan bahkan belakangan ini terkesan mentah lagi. Realitas politik di negeri ini, nampaknya masih didominasi oleh kepentingan para elit, bukan kepentingan yang berasal dan lahir secara murni dari masyarakat. Hal ini seperti terlihat dari proses timbul-tenggelamnya rumor dukungan kepada siapa PDI-P sebagai parpol terbesar dalam menjatuhkan pilihannya untuk dinominasikan sebagai calon orang nomor satu di DKI Jakarta.

Melihat realitas politik secara nasional, khususnya dalam Pilkada Jakarta, hampir seluruh parpol sedang mengalami krisis kepemimpinan politik. Hal ini diakibatkan oleh keberadaan para politisi yang lahir tidak lagi by design tetapi kebanyakan by accident. Ketika terdapat para pemimpin politik, seperi bupati/walikota atau gubernur yang lahir by design itupun sudah sukses dalam membangun wilayahnya masing-masing, sehingga sulit untuk dinominasikan ke tempat atau wilayah lain yang belum begitu dikenal oleh mereka.

Sebut saja, Risma, Ganjar Pranowo, Suyoto, Ridwan Kamil dan beberapa nama lainnya adalah contoh politisi by design yang masing-masing dianggap sukses di wilayahnya. Padahal, masyarakat yang semakin kritis saat ini cenderung memilih politisi by design karena lebih mudah mengukur keberhasilan para pemimpinnya berdasarkan program-program kerja yang relatif nyata dan telah dibuktikan dalam masyarakat.

Meskipun realitas masyarakat lebih melihat dan memilih kualitas para pemimpinnya berdasarkan aspek by design, tetapi belum tentu para elit politik yang ada dalam masyarakat juga lahir by design, karena masih banyak para elit yang lahir dan besar by accident dalam hal politik. Jika dahulu Soekarno adalah seorang politisi yang lahir by design karena memang sejak masih usai belia, Sang Proklamator ini sudah terjun dalam praksis politik dan ditempa oleh sekian banyak pelajaran politik dari sekian banyak mentornya.

Namun kemudian anak-anak dan keluarganya tidak semuanya lahir by design seperti Soekarno. Sehingga kemudian wajar, ketika mereka yang dianggap sebagai trah Soekarno yang lahir by accident hanya mampu memanfaatkan situasi kemasyarakatan yang masih condong berorientasi ketokohan untuk diarahkan dan diatur sesuai dengan keinginan para elitnya.

Orientasi ketokohan yang ada dalam sebuah masyarakat politik akan mudah dilihat dari parpolnya, bagaimana cara pendukungnya memilih orientasi. Jika suatu parpol, para pendukungnya masih dimanfaatkan sebagai objek politik oleh para elitnya dan mereka cenderung berorientasi ketokohan, maka bisa dipastikan partai seperti ini belum sepenuhnya modern karena orientasi ketokohan akan membentuk kondisi masyarakat yang cenderung tidak kritis. Dalam model seperti ini, masyarakat hanya dibuat menunggu dan menerima apapun sesuai dengan keputusan elitnya.

Saya melihat dalam situasi perpolitikan nasional saat ini, kondisi masyarakatnya masih berada dalam cara pandang berdasarkan orientasi ketokohan, belum sepenuhnya berorientasi pada program kerja. Hal ini membuat sulitnya memunculkan pemimpin-pemimpin yang lahir by design, tetapi umumnya by accident karena ketokohannya: sebagai artis, pemimpin terkenal di daerahnya, pengusaha kaya, atau dikenal berdasarkan survey. Kondisi seperti ini sesungguhnya menyulitkan lahirnya pemimpin by design yang seharusnya dapat dipersiapkan secara matang oleh masyarakat atau parpol yang siap dijadikan stok sebagai pemimpin masa depan.

Kecenderungan pragmatisme masyarakat dalam hal kepolitikan ternyata juga pada akhirnya berujung miskinnya stok pemimpin politik nasional yang “moncer” by design. Inilah yang kemudian terlihat dalam masa perhelatan kekuasaan politik di Jakarta, parpol yang cenderung berorientasi tokoh terlihat gamang dalam menentukan siapa yang layak menjadi penantang Ahok di Pilkada Jakarta nanti. Ahok merupakan politisi yang lahir by design, sehingga penantangnya pun harus seorang politisi yang juga by design secara politik.      

Dinamika politik masyarakat saat ini cenderung berada dibawah hegemoni para elit, mereka tidak bisa berbuat banyak sebelum ada kebijakan atau keputusan yang ditentukan oleh para elitnya. Para elit memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam menjalankan seluruh aktivitas politik yang menggerakan seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun