Ada hal yang menarik dari wacana diluncurkannya gagasan Full Day School (FDS) yang dicanangkan Kemendikbud yang baru beberapa hari dilantik, yakni FDS diharapkan dapat menguatkan pendidikan karakter yang akan diterima oleh peserta didik tingkat dasar dan menengah (SD dan SMP). FDS yang menuai pro dan kontra di masyarakat sebenarnya sebuah penerjemahan dari konsep Nawacita yang digulirkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, yaitu terpenuhinya 80 persen pendidikan karakter dan 20 persen pendidikan keilmuan/keterampilan.
Tidak ada yang salah dari sebuah wacana, apalagi masih berupa penafsiran terhadap sebuah konsep. Dalam konsep Nawacita Jokowi-JK terdapat pada poin 8 dimana revolusi karakter bangsa dapat dibentuk melalui penyesuaian kurikulum pendidikan sehingga pendidikan formal dapat melahirkan semangat budi pekerti yang tertanam dalam jiwa setiap peserta didik.
Mendikbud yang baru ini nampaknya mencoba melakukan reinterpretasi terhadap konsep revolusi karakter dan pembentukan budi pekerti dalam konsep pendidikan nasional. Reinterpretasi ini sudah sesuai pada track-nya dengan mengadopsi konsep Nawacita mengenai pembangunan karakter dalam pendidikan nasional, kemudian bentuk nyata yang paling memungkinkan dan rasional adalah berbentuk FDS.
Jadi, sebenarnya wacana FDS seharusnya tidak dianggap sebagai barang baru karena konsep secara umumnya sudah tertuang dalam program Nawacita yang menjadi patokan dalam menjalankan atau menggulirkan sebuah kebijakan. Nawacita dalam hal ini dianggap sebagai “undang-undang dasar” yang menjadi induk dari seluruh kebijakan yang akan digulirkan setiap elemen dalam pemerintahan Jokowi-JK. Semestinya, yang harus di kritisi adalah “undang-undang dasar”nya bukan wacana kebijakan yang akan digulirkan.
Semestinya, kita dapat menempatkan secara benar dalam area apa sebuah wacana itu bermain. FDS merupakan wacana yang melibatkan aktivitas sharing (saling berbagi dan tukar-menukar) pendapat dan perasaan. Sebuah wacana akan menjadi medium bagi sebuah proses dialog antarindividu dalam rangka memperkaya wawasan dan pemikiran untuk sampai kepada kebenaran yang lebih tinggi.
Anehnya, FDS yang masih menjadi wacana, justru seakan-akan ditempatkan menjadi sebuah “kebijakan yang salah” atau ditafsirkan terlalu jauh tidak melihat kepada konsep bangunan awalnya yang sudah secara eksplisit diurai dalam Nawacita. Lagipula, FDS merupakan bentuk nyata yang paling rasional untuk mengurai carut-marut pendidikan kita yang selama ini berjalan. FDS tidak ada kaitannya dengan kepentingan agama tertentu atau mengadopsi dari pendidikan tertentu, namun ia merupakan sebuah solusi jangka panjang untuk membangun dan memperkuat sistem pendidikan nasional di Indonesia.
FDS sebenarnya dapat menjadi terobosan baru dalam memacu perkembangan mentalitas peserta didik. Hal ini bisa dibuktikan dengan model pendidikan yang sudah dilaksanakan di Korea Selatan. Sistem pendidikan di Negeri Ginseng ini sedikit lebih ekstrem dengan menerapkan sistem waktu belajar yang panjang di sekolah, mulai dari tingkat SD sampai SMA. Untuk tingkat SD dengan rentang umur 13-14 tahun, mereka bersekolah mulai pukul 08.00 sampai 17.00, untuk level SMP dengan rentang umur 16-18 tahun dimulai sejak pukul 08.00-19.00.
Dan yang paling ekstrem adalah tingkat SMA yang belajar mulai dari pukul 08.00 sampai dengan 22.00. Namun demikian, sistem pendidikan yang berbasis FDS di Korea Selatan ternyata sanggup membawa negeri ini berada pada peringkat kedua setelah Finlandia dari 10 negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Korea Selatan ternyata mampu memberikan terobosan baru bagi kemajuan dunia pendidikan dan berhasil menjadi negara yang sering dicontoh soal peradaban dan pendidikannya. Padahal, sejak tahun 1990-an, Indonesia dalam soal peradaban masih berada di atas Korea Selatan peringkatnya, namun sekarang telah terbalik secara drastis. Yang terjadi saat ini adalah bangsa kita banyak meniru “style” bahkan budaya masyarakat disana dengan menjamurnya K-Pop dan sinetron-sinetron berbau Korea dan bahkan anak-anak sekolah masa kini bahkan lebih mengenal artis atau aktor asal Korea dibanding artis-artis lokal negeri sendiri.
Saya kira, sebagai sebuah wacana yang mengacu kepada sebuah interpretasi atas teks yang tertulis dalam konsep Nawacita, FDS bisa menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan yang semakin terpuruk di Indonesia. Hanya saja, memang banyak yang perlu dikaji mengenai akibat yang tentu saja berdampak baik secara ekonomi-sosial jika FDS benar-benar menjadi sebuah kebijakan. Kajian terpenting dalam hal ini adalah kesiapan tenaga pengajar, tambahan berbagai macam biaya, kurikulum yang akan diterapkan dan tentunya kesiapan dari lembaga pendidikan itu sendiri.
FDS dapat disosialisasikan terlebih dahulu atau dapat diujicobakan kepada sekolah yang memang telah siap dan mendapat persetujuan pemerintah. FDS tentu bukan sebuah kebijakan yang “kira-kira” apalagi sampai coba-coba atau mengada-ada. Meskipun seharusnya, ada alternatif lain yang semestinya diajukan pemerintah selain merumuskan wacana FDS ini, sehingga akan menjadi pembanding mana yang lebih kuat dan cocok untuk karakter pendidikan di Indonesia.