Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Risma dan Hegemoni Politik PDI-P

8 Agustus 2016   06:36 Diperbarui: 8 Agustus 2016   10:33 5099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu yang paling santer saat ini di Pilkada DKI Jakarta adalah soal Tri Rismaharini (Risma) yang akan hengkang meninggalkan Surabaya dan ikut bertarung dalam kontestasi politik di Jakarta. Risma yang merupakan kader PDI-P digambarkan sebagai sosok pemimpin yang sukses selama menjadi Walikota Surabaya, sehingga cukup memiliki reputasi yang baik dihadapan publik. Risma bahkan dianalogikan seperti Jokowi yang juga pernah meninggalkan Solo untuk bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta kemudian berhasil mengalahkan calon petahana waktu itu.

Kini Jokowi bahkan meraih sukses sebagai kader partai yang berkesempatan memperoleh keuntungan politik dari seorang gubernur menjadi seorang presiden. Tolok ukur keberhasilan lompatan politik Jokowi dari seorang gubernur menjadi presiden kemudian diproyeksikan kepada Risma untuk menjadi pemimpin masa depan yang juga diharapkan dapat mengulang sejarah kesuksesan yang sama dengan Jokowi, menjadi orang nomor satu di Indonesia.

PDI-P memang merupakan parpol yang saat ini berkuasa, hampir di seluruh daerah di wilayah Indonesia, perolehan kursi kekuasaan politik secara formal banyak didominasi oleh kader dari partai berlambang banteng ini. Beberapa kader partai kemudian dinominasikan sebagai pemimpin masa depan yang pro rakyat, sehingga PDI-P dalam banyak hal “meramu” para petugas partai menjadi  stok pemimpin yang siap dinominasikan kapan saja dan dimana saja.

Nama-nama kader PDI-P seperti Risma atau Ganjar Pranowo disebut sebagai stok pemimpin dari PDI-P yang cukup populer dimata publik, sehingga sangat mungkin dalam rangka mempertahankan hegemoni politik, para pemimpin populer yang pro rakyat yang berasal dari kader partai seperti Risma akan ditugaskan menjadi pemimpin di tempat lain, seperti di Ibu Kota. Persoalan masyarakat Surabaya yang “keberatan” jika Risma benar-benar direstui elite partai untuk berlaga di Pilkada DKI bukanlah persoalan, karena dulu juga Jokowi tetap direlakan masyarakat Solo untuk terjun langsung menjadi kontestan di Pilkada Jakarta.

PDI-P sebagai parpol besar apalagi mendominasi kekuasaan politik, tidak akan mudah begitu saja mengusung calon lain kecuali dari kadernya sendiri. Adalah sangat tidak mungkin secara rasionalisasi politik jikapun calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merapat ke PDI-P akan didukung penuh sebagai calon gubernur oleh partai. Dalam rangka melestarikan hegemoni politiknya, PDI-P tentu akan mengusung kadernya sendiri dan menjadi seteru politik Ahok dalam pilgub DKI Jakarta nanti. Nampaknya, keinginan publik yang begitu kuat agar Risma mau menjadi rival Ahok dalam perhelatan kontestasi politik di Jakarta tinggal menunggu waktu pendeklarasiannya saja. Menempatkan Risma di Jakarta sekaligus menjadi proyeksi politik PDI-P dalam mengulang sejarah keberhasilan Jokowi yang meninggalkan Solo ke Jakarta dan menjadi presiden!

Saya kira ini merupakan rangkaian dari proyek hegemoni kekuasaan politik PDI-P yang terus dibangun dengan mengorbitkan pemimpin-pemimpin masa depan yang dinilai pro rakyat. PDI-P tidak akan mau kehilangan pamornya sebagai partai “wong cilik” yang dianggap lebih merakyat. Dalam rangka melestarikan hegemoni politiknya, PDI-P tentu akan cenderung menghindari kesalahan sekecil apapun dalam menjaga citra partai tetap baik di mata publik.

Pilihan para elite partai dalam mendorong Risma untuk berlaga di Pilkada DKI mendatang merupakan salah satu bentuk penjagaan terhadap citra partai sekaligus mempertahankan hegemoni politiknya. Risma dianggap memiliki magnet politik yang cukup menjual untuk dipilih publik jika harus dihadapkan dengan calon petahana yang juga cukup populer, yaitu Ahok. Dengan demikian, peluang Risma untuk meninggalkan Surabaya jika memang benar direstui PDI-P sangat besar apalagi seluruh kader PDI-P adalah merupakan petugas partai yang harus siap menerima perintah partai.  

Jadi, saya kira tidak ada alasan mengenai keinginan sebagian masyarakat yang tidak rela Risma meninggalkan Surabaya untuk berlaga di Pilkada DKI Jakarta. Yang ada hanyalah, Risma sebagai petugas partai yang tetap akan patuh terhadap perintah dan arahan partai. Risma memang berhasil membangun Surabaya dan dipercaya masyarakatnya untuk tetap melanjutkan pembangunan, tetapi disisi lain, Risma merupakan kader parpol yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme parpol sebagai kendaraan politiknya.

PDI-P adalah parpol pengusung Risma ketika memenangkan Pilkada di Surabaya, sehingga kapanpun, parpol pengusung berhak untuk menominasikan dirinya untuk berlaga di Pilkada manapun, termasuk Jakarta. Kesuksesan seorang pemimpin di daerahnya, bukan karena dirinya sendiri yang memang memiliki kapabilitas dalam memimpin sehingga mendapat simpati rakyat, tetapi mesin politik parpol tetap bermain dalam proses menuju kursi kekuasaan. Parpol pengusung seorang pemimpin politik tidak bisa diabaikan begitu saja, karena parpol berfungsi sebagai mesin-mesin politik yang terus bergerak melestarikan dan menjaga hegemoni politiknya.

Sosok Risma yang banyak meraup keberhasilan selama memimpin Surabaya, memiliki integritas sebagai pemimpin yang bersih, jujur dan tegas, jika benar direstui oleh elite partai pengusungnya, maka Risma akan menjadi rival terkuat Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta mendatang. Disamping itu, sosok Risma dipastikan akan mudah diterima oleh kekuatan partai koalisi yang bergabung dengan PDI-P. Saat ini, melihat kepada sinyal parpol yang akan bergabung dengan koalisi bentukan PDI-P, penempatan Risma sebagai cagub DKI Jakarta hampir dipastikan akan mendapat dukungan seluruh parpol koalisi.

Jika PDI-P berhasil membangun koalisi dengan parpol lain pada Pilkada Jakarta nanti, kemungkinan besar Risma akan mulus didukung seluruh elemen parpol untuk bertarung melawan Ahok. Pilkada Jakarta akan lebih kompetitif dan berimbang jika publik Jakarta hanya memilih dua pasangan calon yang disepakati, yaitu Ahok dan Risma. Sinyal PDI-P yang akan memboyong Risma dari Surabaya ke Jakarta semakin menguat dan desakan publik untuk mendukung Risma di Pilkada DKI Jakarta sebagai lawan calon petahana, Ahok, terus membesar dan semakin sulit dibendung. Tinggal sekarang menanti political will dari elite politik partai berlambang banteng ini untuk menyodorkan seorang pemimpin yang didukung sepenuhnya oleh rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun