Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tewasnya Santoso Akhir Terorisme di Indonesia?

20 Juli 2016   15:51 Diperbarui: 20 Juli 2016   16:00 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerakan terorisme di Indonesia nampaknya tidak cukup jika hanya melihat pada eksistensi sebuah kelompok kecil bersenjata yang dipimpin Santoso. Kelompok teroris yang menamakan dirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) ini hanya hanya berjumlah kurang lebih 50 orang yang terbagi dalam dua kelompok. Mereka bergerak dalam lingkup kecil di daerah pedalaman Poso meskipun seluruh rerupa kejadian teror yang ada di Indonesia disinyalir melibatkan kelompok kecil pimpinan Santoso ini. 

Operasi militer gabungan TNI/Polri dalam menumpas kelompok ini bahkan terkesan berlebihan, TNI/Polri dengan kekuatan lebih dari 3000 personel dikerahkan untuk menumpas kelompok teroris ini yang operasi penumpasannya telah dimulai sejak Januari lalu. Memang terdengar agak berlebihan jika menumpas kelompok kecil dilakukan dengan kekuatan yang sangat besar oleh negara. Padahal, kelompok seperti ini sangatlah mudah bagi kekuatan militer di Indonesia untuk membasmi tuntas bahkan tanpa harus berbulan-bulan lamanya.

Keberadaan kelompok teroris pimpinan Santoso saat ini dianggap telah lumpuh karena Operasi Tinombala yang dilakukan oleh pasukan gabungan TNI/Polri berhasil menembak mati Santoso pada 18 Juli kemarin. Sisa-sisa kelompok Santoso yang melarikan diri dipastikan akan semakin sulit bergerak apalagi pimpinan mereka dinyatakan telah tewas dalam operasi gabungan tersebut. Jika diukur dari segi kekuatan, sisa-sisa personel kelompok Santoso hanya dapat memilih dua cara: tetap bertahan hidup dalam desakan operasi militer atau menyerahkan diri. 

Perlawanan jika masih tetap dilakukan oleh sisa-sisa kelompok ini sama halnya dengan bunuh diri, kalaupun mereka tetap bertahan, tidak akan mungkin memakan waktu lama hanya bisa dalam hitungan hari saja. Dalam sejarahnya, tidak pernah ada operasi militer dalam menumpas pemberontakan kemudian dihentikan sebelum kelompok itu benar-benar berhasil ditumpas. Oleh karena itu, Operasi Tinombala mengisyaratkan akan terus berlanjut menumpas gerakan teroris Kelompok Santoso, meskipun pimpinan kelompoknya telah dinyatakan tewas.

Kelompok teroris Santoso yang kerap melakukan serangkaian aksi teror memang tumbuh dan berkembang melalui aktivitas radikalisasi dalam mindset setiap pergerakannya. Pemahaman yang salah mengenai konsepsi “jihad” dalam ajaran agama seringkali memicu praktek radikalisasi yang ekstrem dimana mereka menganggap siapapun yang berseberangan dan melakukan perlawanan terhadap mereka adalah kelompok yang harus diperangi. 

Radikalisme dalam memaknai konsep “jihad” hanya sebatas perang, maka wilayah yang tidak mendukungnya akan dianggap sebagai “darul harb” atau daerah yang wajib diperangi, sehingga siapapun harus diperangi, tanpa terkecuali. Apalagi jelas-jelas jika ada kelompok yang terus menerus menekan dan melakukan perlawanan terhadap mereka, maka semakin besar ekspektasi kelompok radikal ini untuk memeranginya. Radikalisasi yang dikembangkan oleh Kelompok Santoso saat ini cenderung bergeser kepada bentuk peperangan terhadap aparat bukan kepada kelompok lainnya yang tidak sejalan dengan mereka.

Radikalisme yang ekstrem tentu akan melahirkan aktivitas terorisme, terlepas berangkat dari pemahaman keagamaan yang salah ataupun bukan. Meskipun aksi radikalisme ekstrem yang berbentuk terorisme saat ini disematkan kepada agama tertentu, itu tidak lain karena terdapat satu mayoritas agama di wilayah tersebut. Padahal, radikalisme dalam sejarah masyarakat manapun tidak melulu berasal dari pemahaman yang salah terhadap agama, tetapi karena adanya unsur lain yang berangkat dari ketidakpuasan terhadap kondisi wilayah atau keberadaan sistem pemerintahannya. 

Radikalisme misalnya pernah muncul sebagai sebuah gerakan massa yang menggulingkan kekuasaan despotik para raja dalam bentuk monarkisme dan berhasil membuat sebuah sistem pemerintahan dalam bentuk lain, seperti demokrasi. Gerakan renaissance dan Revolusi Perancis yang terjadi di Eropa pada abad 14 sampai dengan abad 18 merupakan contoh dari gerakan radikalisme yang pernah ada dalam sejarah masyarakat.

Terorisme di Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai dari beragam bentuk pemberontakan terhadap negara, seperti yang pernah dilakukan oleh gerakan-gerakan separatis-radikal, seperti PRRI/Permesta, DI/TII, GAM atau OPM. Belakangan, terorisme yang menjadi ancaman negara banyak tumbuh dari gerakan-gerakan radikalisme yang menyimpang dari ajaran agama. Umumnya benih-benih radikalisme masuk ke Indonesia belakangan ini, dibawa oleh mereka yang mempunyai pengalaman perang di negara-negara konflik, umumnya di wilayah Timur Tengah. 

Jebolan-jebolan aktivis perang yang pernah di Afghanistan, Pakistan atau Filipina dan wilayah-wilayah konflik lainnya, menaburkan benih-benih radikalisme ekstrem yang diangkat dari tema “jihad” yang mereka dapatkan di sebagian besar wilayah berkonflik tersebut. Santoso, misalnya, semakin memperluas pemahaman radikalismenya ketika bertemu dengan Daeng Koro yang merupakan veteran perang yang dibina oleh kelompok bersenjata di Mindanao, Filipina. Pemaman-pemahaman keagamaan radikal yang ekstrem bisa saja saat ini tidak berhenti di kelompok Santoso yang saat ini masih diburu, tetapi sudah menyebar kepada kelompok-kelompok radikal lainnya.

Gerakan radikalisme yang melahirkan terorisme di Indonesia tidak cukup hanya dilakukan oleh serangkaian aksi militer yang berkesinambungan, tetapi harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat yang ada. Benih-benih radikalisme semestinya dapat diantisipasi melalui pemberdayaan masyarakat dalam memberikan pemahaman-pemahaman keagamaan dan perolehan pendidikan yang benar dan memadai. Umumnya, mereka yang terdeteksi memiliki pemahaman radikal berangkat dari input pendidikan keagamaan yang minim atau pendidikan formal yang kurang memadai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun